Sinisme Sang Filsuf

Akhirnya cara menjawabnya harus dimulai dari seorang nama tua: Platon. Platon, yang filsuf itu punya pandangan tentang Philosopher-King. Tatanan masyarakat baginya harus diatur oleh seorang filsuf. Manusia yang punya kualitas kontemplatif. Seorang filsuf diandaikan sebagai kepala masyarakat. Sang filsuf dengan begitu, dengan kualitas kebaikannya jadi kelas ideal bagi Platon.

Boleh jadi,  jika mau sedikit kritis, semesta pemikiran Platon, terutama pemosisian sang filsuf sebagai puncak teratas hirarki sosial, berangkat dari semacam sinisme. Bagaimana pun idealnya sang filsuf, profesi yang lainnya selalu secara hirarkis di bawah posisi sang filsuf. Pertama, konsekuensinya, semesta pandangan Platon masih melihat tatanan terdiri dari kelaskelas. Akibatnya, hanya sang filsuflah sebagai manusia yang mampu menjamin kebenaran, kebebasan, keindahan, dan kejujuran, sedang yang lain hanya bagian yang subordinat.

Dari konteks negara kota (Polis), yang mengikuti tatanan tiga tingkatan, kaki-badan-kepala, sang filsuflah yang ideal sebagai kepala negara. Akibatnya, politik dianggap sebagai pekerjaan yang derivatif. Bahkan kalau mau bincang politik, seseorang harus mengambil optik filsafat. Artinya dengan terang optik akal budi, sang filsuflah yang punya tugas mengurusi kehidupan politik. Bagi Platon seorang negarawan haruslah seorang filsuf. Begitu kirakira maunya.

Akibat dari itu muncul pembelahan. Sang filsuf berbeda dengan orang biasa adalah orang yang punya tugastugas penting kenegaraan (das sein). Sebaliknya, orang biasa hanya mengurusi soalsoal cetek kehidupan seharihari (das sollen). Sang filsuf tugasnya lebih utama bersentuhan dengan akal budi, tatanan abstrak yang menuntut konsentrasi tingkat tinggi. Melalui itu negara diatur dan diberlangsungkan. Sedangkan orangorang biasa hanya mengikuti hasil refleksi sang filsuf.

Sinisme kedua, Platon punya kelompok elit intelektual. Yang ini dikenal sebagai Hekademia (akademia), kelompok intelektual yang hidup terpisah dengan polis, masyarakat umum.  Ini yang dibilang Hanna Arendt, perempuan pemikir politik abad 20,  sebagai sikap elitis. Sikap ini dinyatakannya sebagai cara kaum terdidik untuk mengungkapkan kebebasan elitis yang hanya dipunyai khusus selain dari masyarakat umum.

Kebebasan ini paralel dengan waktu luang yang tidak dimiliki masyarakat umum terutama kaum budak. Waktu luang yang dipunyai ini, secara epistemik memberikan syarat material dan pemikiran kepada kaum terdidik untuk asyik tenggelam dalam percobaanpercobaan pemikiran kontemplatif. Implikasinya, secara politik, kaum terdidik jauh dari kecenderungan banyak orang yang hidup secara berbeda. Itulah sebabnya, kecenderungan politik kaum terdidik lebih mengutamakan kebebasan sebagai sarana akal budi untuk berpikir, dibandingkan tuntutan material lainnya yang memang bukan bagian dari kehidupannya seharihari.

Karena itu kaum terdidik selalu memuja kebebasan sebagai tujuan sikap politiknya. Pun kalau mereka terlibat dengan suatu perjuangan politik, itu hanyalah anasir dari tuntutan kebebasan yang dikehendaki. Akibatnya, sikap politik kaum terdidik seperti ini adalah sekaligus sikap elitis atas hirarki yang menempatkan kaum terdidik sebagai kelas tertentu. Mengacu sejarah perubahan dunia, hampir semua perjuangan politik dengan nama demokrasi adalah hasil dari tuntutan kebebasan kaum terididik.

Sang filsuf atau kaum terdidik dengan previlage tertentu dengan begitu adalah kelas yang lahir dari pemisahan sejak awal yang ditunjukkan Platon dengan Hekademianya. Posisi akademia yang berjarak dengan tatanan Polis, bukan sekedar kesenjangan secara demografis, melainkan juga menggambarkan betapa jauhnya “hal ihwal kaum terdidik” dengan “tetek bengek masyarakat umum”.  Pemilahan ini akhirnya menjadi skema tatanan sejarah masyarakat yang membagi masyarakat atas “kepemilikan ilmu”,  yang sudah dimulai Platon.

Imbas dari berjaraknya dunia intelektual dengan aktifitas seharihari masyarakat, juga mengakibatkan perubahan objekobjek ilmu yang bergerak dari “partikularitas” peristiwa seharihari menjadi “universalitas” hal ihwal keilmuan. Ilmu akhirnya tidak tertuju pada ikatanikatan sosial masyarakat dengan kebutuhankebutuhan mendasarnya, melainkan sibuk menyoal hububunganhubungan proposisi demi tuntutan ilmu itu sendiri.

Sinisme sang filsuf juga tampak dari antagonisme filsafat atas sastra. Sikap ini dimulai Platon dengan memandang sastra sebagai bidang ilmu yang hanya menjiplak kenyataan. Sastra dibilangnya tak mampu menjadi perangkat manusia menangkap kenyataan “yang ideal”.  Sastra dengan model yang lebih banyak dibentuk lewat gaya bahasa, dianggap hanya “bermainmain” tanpa bisa memberikan kebenaran yang bersifat ideal. Anggapan ini didaku Platon karena melihat sastra hanya sibuk berkutat pada soal bentuk, bukan “isi” seperti yang disebut Platon hanya bisa ditemukan dalam filsafat.

Universalisme filosofis yang jadi horison pikiran Platon, dengan sendirinya menolak bentukbentuk partikularitas yang diajukan dari gaya berfilsafat Aristoteles. Bahasa akhirnya, melalui gaya Platon, harus memikul beban makna yang universal untuk menyebut “ideal type” yang dibilangnya hanya dimungkinkan melalui filsafat. Sastra yang sering kali menangkap halhal partikular, bukanlah objek filsafat itu sendiri. Akibatnya, universalisme yang diharapkan Platon, sebenarnya adalah pelecehan terhadap kenyataan yang bisa saja terjadi dengan beragam kemungkinan dari kejadiankejadian seharihari yang partikular.

Yang terakhir adalah soal konsep form yang terkenal itu. Platon, membagi dua dunia. Dalam imajinasi pemikirannya dia meyakini suatu dunia baqa yang tak tersentuh sejarah. Suatu tatananan yang tak berubah dan bergerak.  Di sana jiwa bebas mengenali bentukbentuk ideal. Platon menyebutnya archetype, yakni bentukbentuk ideal dari sesuatu yang tampak di dunia. Dunia archetype adalah dunia yang sebenarnya, karena di sanalah “sesuatu yang ideal” bersemayam. Di sanalah yang esensil. Platon menyebut dunia itu Alam Idea, dunia sebelum tubuh tercipta.

Melalui konteks itulah Platon menyebut dunia tubuh adalah bayangbayang. Bukan yang esensil akibat mudah berubah, kumpulan yang mudah hancur. Tubuh dia bilang adalah kuburan Jiwa. Tubuh, adalah sebab jiwa tak mampu mengenal kembali yang ideal pasca dia turun kedalam kubangan serat daging. Akibatnya, tubuh harus ditinggalkan, jiwa harus lurus mengacu ke dalam yang universal esensil, dunia asali nun jauh “di atas” sana.

Monisme Platonian ini diamdiam akhirnya menyimpan sikap sinis terhadap dunia tubuh. Dunia seharihari, akhirnya menjadi tatanan yang tak layak dirundung soal. Sebab yang terkandung di dalamnya hanyalah sementara belaka, hanya bayangbayang semata. Hirarki dua dunia ini berimplikasi hanya menempatkan alam archetype  sebagai satusatunya realitas yang layak diperjuangkan.

Syahdan, sinisme sang filsuf ibarat sikap keras Platon atas filsafat sebagai satusatunya jalan mendedah dunia. Dan, saya kira, sikap semacam itu adalah bentuk lain dari totalitarianisme epistem yang mengklaim bahwa filsafatlah satusatunya ibu pengetahuan. Filsafat karena menjadi satusatunya rahim ilmu bermula, maka dialah yang punya semacam wewenang menentukan jalan sejarah pengetahuan. Sampai kiwari,  hanya filsafatlah yang disebut jalan kebahagiaan, jalan kebijaksanaan, atau bahkan jalan keselamatan. Kalau sudah begitu, siapa yang bisa menolak filsafat?