Pembatas buku memang tanda suatu
batas. Dia membelah satu pagina dari pagina yang lain. Membaginya jadi dua.
Membuat suatu teritori antara yang "yang telah diketahui" dan
"yang belum diketahui". Juga, karena itu dia sekaligus tanda keterbatasan.
Dia membelah dua dimensi, dua dunia jadi tegas; rasa ingin tahu dan
pengetahuan.
Tepat di antara titik itulah,
pembatas buku yang seringkali punya ukuran mini itu, akhirnya jadi pengingat,
bahwa manusia pada dasarnya makhluk yang harus sadar batas. Yakni, dengan kata
lain, pembatas buku, entah dengan tampilan yang sering kali lucu, malah bisa
berarti hal yang serius.
Itulah sebabnya, pembatas buku
barangkali penting. Dia bukan sekedar penyambung ingatan terakhir ketika
manusia punya ikhtiar terus menerus mengeja aksara. Tapi, secara pelanpelan dia
menanamkan suatu sikap sabar, suatu nilai yang mengintrodusir manusia agar tahu
apa arti suatu waktu. Yakni, di situ suatu proses kadang perlu, bahwa suatu
rasa tabah atas waktu adalah jalan kecil yang mesti dilewati.
Maka dari itu siapa menyangka,
pembatas buku memang semacam jangkar bagi kapal yang sedang berlabuh panjang.
Dia jadi besi tua yang sering kali dilempar ke dasar samudera dalam, menjadi
tungkai penghubung antara lelautan yang dalam dengan perut kapal yang terapungapung
di atasnya. Siapa sangka, pembatas buku akhirnya begitu penting, kapal rasa
ingin tahu dan samudera ilmu pengetahuan, akhirnya menjadi tegas batasnya.
Dulu, ikhtiar pencarian ilmu
pengetahuan ditulis di atas perkamenperkamen; kulitkulit domba atau sapi yang
dijadikan kertas. Atau di atas papirus yang diambil dari alangalang air yang
banyak tumbuh di Eropa Selatan atau Afrika Utara. Di atasnya seluruh penemuan
atas ilmu pengetahuan dicatat, disimpan, dan dirawat. Batas di situ berarti
batas perkamen itu sendiri. Kala suatu tulisan habis dicatat akibat perkamen
yang juga terbatas ruangnya, maka dengan sendirinya batas juga berlaku di situ.
Barangkali lewat itu muncul
batasan ilmu pengetahuan, bahwa ilmu (yang ditulis) seluas apa yang ada (ukuran
ruang perkamen). Jadi, ilmu hanya mungkin ketika dirinya diungkapkan di atas
medan yang tersedia. Ilmu, hanya tersampaikan sejauh dia menempati ruang
sebagai wadahnya. Akibatnya, ilmu paralel dengan apa yang ada. Belakangan yang
"ada" ini berkembang menjadi dari "dunia yang teramati",
"dunia yang dipikirkan", sampai "dunia yang
terimajinalkan", suatu "alam" yang maha luas. Suatu dunia yang
tak kenal batas.
Tapi akibatnya, manusia sering
kali salah, ilmu bukan apa yang ada di suatu "alam" tak terpemanai, ilmu
hanyalah hasil tangkapan dari "ada" yang maha tak mengenal batas itu.
Ilmu, kata orangorang Yunani adalah hasil dari "legein"; suatu aktifitas mengikat sesuatu, mengumpulkan
sesuatu. Belakangan, dari kata itulah logos diambil.
Makanya, orangorang berilmu
pasti tahu batas. Dia tahu di mana posisi yang layak sebagai makhluk pencari.
Seperti kapal, dia kenal bahwa dirinya hanyalah titik kecil di atas samudera
luas maha dalam. Dan jangkar, besi tua yang sering jadi tungkai agar kapal
tidak terbawa arus, adalah ikatan yang mengingatkan antara dua dunia yang
begitu berbeda.
Kadang, buku dan pembatasnya
mengajarkan ikhtiar untuk mau masuk di dalam ruang refleksi. Buku kalau mau
disebut "wakil" dunia tak terbatas, adalah medan lapang buat
orangorang berpikir. Dari situ, ikhtiar keilmuan terbangun dan membentuk sikap
seorang pembaca. Akibatnya, seorang pembaca buku jadi orang yang selalu membuat
jarak, tidak terburuburu atas suatu soal. Dia jadi orang yang tabah menghadapi
soal, bukan seorang reaksioner.
Akhirakhir ini banyak orangorang
tak kenal batas. Bahkan, akibat tak tahu batas, sikapsikapnya menjadi seperti
seorang raja. Kita tahu watak seorang raja di mana pun berada adalah orang yang
menghilangkan batas. Akibatnya ukuranukuran jadi tiada arti. Bahkan karena itu
dia jadi ukuran itu sendiri.
Orangorang yang kerap lupa batas
seringkali abai bahwa dunia bukan sematamata ruang kosong yang lapang dikuasai.
Di sana banyak orangorang hidup dengan batasbatasnya sendiri. Banyak orang
menjalani harihari dengan beraneka ragam cara dan tata, suatu dunia yang jamak.
Dengan kata lain, suatu dunia yang dimiliki bersama, yakni suatu tempat di mana
suatu batas perlu untuk ada. Yakni tiada lain untuk jadi pengingat bahwa
"dunia mereka" tak harus sama dengan "duniaku".
Tapi, dunia yang jamak itu bukan
berarti harus ada pembedaan. Yang mungkin penting diingat ialah suatu hasrat
persamaan kadang jadi pemicu pembelahan. Hasrat persamaan, kadang jadi penghancur
suatu tanda keterbatasan. Karenanya hasrat persamaan adalah tanda kedangkalan
paham batas.
Memang di saat menghadapi suatu
pagina berlembarlembar jadi semacam cermin dunia yang beragam. Di hadapan
lembaranlembaran itu sama artinya sebagai dunia yang sering kali dihadapi,
sebuah dunia yang belum dan harus dikenali. Dan, di situlah pembatas buku jadi
berarti; dia jadi jangkar pengingat bahwa ada dunia yang belum tersentuh untuk
diketahui. Juga, bahwa manusia memang tak selamanya bisa sekaligus melahap segalanya
tanpa jedah.
Syahdan, maka itu perlu titik
tempat berhenti sejenak, karena yang dipunyai manusia hanyalah sesuatu yang
terbatas. Akhirnya, kita bisa mengerti dari batas itu yang diperlukan hanya
sikap yang mau bersabar dan rendah hati, yakni dunia "di sana" begitu
besar dari yang kita ketahui.