Merawat Benci

Entah mengapa saya perlu merawat benci. Terutama kepada orangorang tertentu. Ini penting bagi saya. Tujuannya untuk membuat rivalitas.

Agak susah memang mau bilang sehat. Di dalam satu kecenderungan yang sama, orangorang butuh pecut. Dan pecut saya rasa emoh. Mungkin jumawa kalau saya jauh lebih bisa.

Rasa sinis, atau mungkin benci, tentu tak mungkin saya umbar. Apalagi saya nyatakan terbuka. Efek sosialnya akan buruk. Saya suka menyembunyikannya. Bagi saya, tak penting orangorang tahu. Lagian buat apa orang yang saya siniskan tahu. Tidak penting.

Saya rasa memang harus demikian. Hidup memang ajang saing. Bahkan agama nyatakan lomba di jalan kebaikan. Tapi, entahlah yang saya punyai ini suatu kebaikan. Atau janganjangan tidak etis. Merawat sikap sinis. Menjaga rivalitas.

Saya belakangan ini belajar menulis. Bisa dibilang itu saya lakukan karena berusaha ambil jalan literasi. Soal menulis sudah lama saya lakukan. Cuman, gairah menulis belum seperti kayak sekarang. Kiwari, seperti ada hasrat mau menulis terus. Apa saja. Yang penting saya suka.

Di dunia literasi inilah saya menanam pohon sinisme. Saya mendefinisikan rival. Memetakan lawan. Dan, benci atau rasa tidak suka jadi sumbernya. Di sini saya kira, saya jadi orang yang jahat. Tapi, apalah arti jahat sesungguhnya, kalau itu sudah jelma aksara. Di dalamnya kejahatan bisa jadi baik, atau sebaliknya.

Saya yakin, di luar sana banyak orang yang tak suka saya. Saya maklum. Juga, saya bisa saja tak suka beberapa orang. Itu wajar.

Jadi ini hanya problem biasa. Hanya soal pribadi saya.

Dalam beberapa lingkait, konflik memang penting. Terutama konflik laten. Dengan itu aktifitas manusia diselenggarakan. Saling membangun relasi. Kasih sayang, senyuman. Namun, juga cemburu. Semua itu kualitaskualitas pribadi yang timbul tenggelam di balik hubungan sosial. Tanpa itu, tak ada manusia. Barangkali hanya mahluk jernih tanpa cela. Manusia, mahluk yang penuh cela, dan tentu celah.

Jadi tak usah merasa lengkap. Manusia mahluk yang butuh kerja sama. Karena itulah dia jadi utuh. Keutuhan ini biasanya ditemukan dalam bentukbentuk ikatan kolektif. Bisa keluarga, komunitas, organisasi, partai, atau juga negara. Hubungannya bisa ketemu karena agama, hobi, suku, latar belakang, ilmupengetahuan, ideologi, cinta, dan macammacam. Tapi hakikat di balik hakikat, semua itu digerakkan atas peristiwa berhadaphadapan; persitegangan; permusuhan; konflik.

Saya merasa, yang harmoni hanya akan melihat yang baik. Ikatan yang terlalu dekat bikin susah objektif. Saya butuh dasar penolakan, sikap berbeda agar punya cara lain. Apalagi kalau soal penilaian. Seorang kawan butuh musuh agar kejahatannya tampak. Seorang lawan butuh kawan agar kebaikannya muncul.

Antonio Gramsci bilang, bersamasama sekaligus menentang. Itu dia sebut skandal kontradiksi. Inilah yang saya maksud. Bersama sekaligus menentang. Saya bangun rivalitas. Saya bangun skandal pertentangan.

Agak susah mau bilang tidak ada persaingan. Itu terlalu naif. Hubungan macam mana pun selalu mengandaikan dua sumbu. Dua ujung yang berbeda. Di dua ujung itu masingmasing berdiri. Berjalan ke arah yang berlawanan dan menengok ke belakang, siapa yang telah panjang mengambil garis. Saat itulah persaingan sudah dimulai. Sejak berdiri di atas garis.

Banyak orang purapura rendah hati. Membikin diri dengan semangat moralitas tertentu. Bicara soalsoal krusial. Mengajarkan hal ihwal substansial. Namun sial, di waktuwaktu tertentu mengucap perpecahan, bikin benteng dengan menjelekjelekkan. Bicara universal, tapi parsial. Di kawankawan dekat omong bual. Menyudutkan kelompokkelompok tertentu dengan dalildalil. Itu banyak. Membuat orangorang jadi marginal.

Di lingkungan macam itulah persaingan membentuk permukaan. Kadang kehidupan bersama jadi risih dengan cara seperti itu. Itu tidak sehat. Yang semacam itu tidak normal.

Saya memilih yang sudah saya kemukakan. Membangun konflik imajiner antara beberapa orang. Dengan sinis. Terkadang benci. Namun bukan permukaan.

Sejarah sastra Indonesia saya kira sedikit banyak dibentuk dengan semacam sikap sinis. Jika semenjak mula tak ada sikap semacam itu, sastra Indonesia bakal sulit berkembang. Pertarungan wacana sulit maju. Konsepkonsep sastra bakal mandeg. Kebudayaan jadi stagnan.

Yang dibutuhkan dari itu sikap dewasa. Mentalitas raja. Mau menerima masukan, begitu pula kritik. Saya kira kritik datang karena pendirian yang berbeda. Akan sulit menemukan kemajuan jika berada di dalam lingkungan yang memuja kesamaan. Kritik hanya mungkin jika berbeda prinsip. Beda pandangan.

Saya kira benci lebih punya manfaat sejauh memberikan sikap berbeda. Barangkali karena itulah cinta sering dinyatakan buta. Cinta hanya dibutuhkan setelah tahap kritis. Cinta hanya bermanfaat kala pasca konflik. Sikap bencilah yang bikin orang mau berkomentar soal celah, karena cinta kadang buat orang banyak diam.

Hidup itu proses. Saya kira ini yang harus dimaknai. Di dalam proses tak ada yang final. Benci bisa jadi suka, juga sebaliknya. Orangorang banyak membangun rasa cinta antara sesama, tapi ada juga orangorang yang khusyuk sebar benci. Saya bukan orang jenis ini, yang suka tebartebar rasa benci.

Saya akhiri saja tulisan ini. Tibatiba tulisan ini mau berhenti saja. Saya menulis ini di dua kesempatan, di saat pagi hari dan malam hari. Agak susah saya mau menyambung dua keadaan yang sudah berbeda dalam satu tulisan. Rasanya sudah berbeda. Gambargambar di kepala saya sudah berubah.

Terakhir, saya kira merawat benci tak selamanya jahat, dia hanya buruk.