catatan kelas menulis PI, pekan 7

Pekan ke tujuh, kelas menulis PI agak molor. Hampir dua jam. Kesepakatannya, kelas harus dibuka pukul satu siang. Minggu lalu masih menumpuk beberapa tulisan, makanya perlu tambah waktu. Tapi, kelas dimulai sekira pukul tiga. Kawankawan satu persatu datang. Kelas mulai ramai.

Yang buka kelas Heri. Saya, yang diplot jadi ketua kelas memilih bagi tugas. Kebiasaan ini agaknya perlu, sembari mengedukasi kawankawan, bahwa kepemimpinan tidak mesti diampu sendiri. Saya kira kepemimpinan harus jadi kolektif. Maksudnya: agar tidak dominan.

Soal kepemimpinan, agaknya mesti diujicobakan, terutama sifatnya yang kolektif. Kelas menulis PI sebenarnya sudah digerakkan sistem. Persona, yang sering jadi motor bukan rumus paten. Di kelas menulis, fungsi diutamakan tinimbang sosok. Fungsi adalah pokok.

Itulah kenapa, kepemimpinan harus dipengalamanbersamakan. Kawankawan bisa silih berganti, jadi ketua, sebagai fungsi. Artinya, kelas tetap berjalan tanpa digerakkan status, tapi peran yang bisa disematkan kepada siapa saja.

Sudah jadi tradisi, kritik karya tulis jadi prioritas. Empat belas naskah digeledah, sekalikali didedah. Awalnya, kawankawan sudah mendedah karya tulisnya, macammacam. Tapi, hanya ada dua genre; esai dan cerpen. Tajuknya yang purnaragam, soal tulisan yang menyitir falsafah dasar manusia, sampai Nietzsche, filsuf yang menganggap dirinya dinamit itu. Puisi, yang kerap jadi bahan omongan, kali ini absen.

Yang pokok dari pekan ini nampaknya karya tulis Sulhan Yusuf. Sudah ghirahnya barangkali, pendiri PI ini menulis esai. Ini bukan pengecualian bahwa puisi juga jadi pilihan literasinya. Cuman, esainya kali ini digadang punya bentuk baru. Bilangnya, setiap paragrafnya bisa mandiri bila berdiri sendiri.

Ini mirip, sebut saja air. Rumus kimiawinya, air dibentuk hidrogen dan oksigen yang masingmasing bisa lepas dan berdiri sendiri. Namun, kesemuanya jadi unsur baru tanpa meleburkan masingmasing identitas. Hidrogen tetaplah hidrogen, dan oksigen hanyalah oksigen walaupun bersatu dalam air. Masingmasing otonom.

Tulisan Sulhan Yusuf, diberi judul "Pendidikan Literasi dan Politik." Kalau tidak salah disusun oleh duabelas paragraf. Kalau dibilang setiap paragraf bisa mandiri, artinya bila dicomot satu paragraf tidak mengubah inti gagasan secara keseluruhan. Begitu juga lain sisi, paragraf yang sudah dicomot, jadi gagasan baru yang bisa dikembangkan. Kirakira begitu yang diajukan saat Sulhan mendedah karya tulisnya.

Saya kira, ini soal baru. Pasalnya, kalau dilihatlihat, struktur paragraf tulisan kawankawan pakai pola linear. Model ini gaya konvensional, yakni setiap paragraf dibiarkan bergerak berdasarkan kaidahkaidah garis lurus. Skemanya seperti linearitas bilangan asli; 1-10. Akibatnya, jika angka 2 atau 7 dicopot, maka runutannya akan berhamburan. Pikiran akan merasai agaknya ada yang tidak inklud dalam hitungan.

Dari obrolan pasca kelas, diketahui kalau macam tulisan Sulhan Yusuf, bukannya tanpa pola, justru seperti yang disebutnya memakai pola zigzag. Pola ini nampak jelas kalau hubungannya dilihat dari skema paragraf satu dengan paragraf tiga, paragraf dua dengan empat, lima dengan tujuh, enam dengan delapan, sembilan berpasangan dengan paragraf sebelas, begitu seterusnya.

Tidak semua tulisan habis digeledah. Soalnya waktu dirasa minim. Akibatnya, simpulannya dibuat mapat jadi dua garis besar; EYD, dan konten tulisan. Dua hal ini memang setua kehadiran karya tulis. Kalau mau ditarik ke belakang, ke masa filsuffilsuf, soal gaya dan isi sudah problematik. Makanya, saya kira ini juga jadi perkara laten di kelas menulis PI. Memang sudah dari sononya perkara ini dimulai. Jadi, agaknya perlu sikap sabar. Soal EYD dan konten hanya soal waktu belaka. Lamalama akan punah sendirinya.

Cuman ada wantiwanti, kalau EYD bukan lagi harus jadi kasus primer. Ini perkara elementer, artinya kawankawan harus punya sikap serius berbenah diri. Kawankawan harus disiplin mengajukan kritik internal kalau tulisan yang dilahirkan sudah layak baca. Salah satu ukuran layak baca, tidak ada lagi dosa purba EYD. Bersih.

Jelang magrib, sisa waktu, dipakai obrolobrol lepas, tapi jelas. Pertama, lagilagi soal kasus Saut Situmorang. Tak jelas siapa yang mulai, tibatiba saja sudah diomongkan. Agaknya, beberapa kawankawan belum tahu soal ini, makanya ada sedikit ulasan kalau kasus ini sedang masa persidangan dengan Saut tersangkanya. Juga sempat diungkap ulang kronologis polemik yang disulut buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh." Dua, bahkan tiga nama disebut; Denny J.A, Fatin Hammama, dan Saut sendiri, yang sedang bersengketa hukum.

Tapi, setidaknya ada dua poin genting buat kawankawan. Pertama, menjadi sastrawan, atau profesi apapun butuh proses panjang. Tidak ada usaha karbitan menjadi profesi yang dimaui. Segala butuh disiplin dan ketekunan. Di balik, misalnya, Pramoedya Ananta Toer, ada beriburibu peristiwa untuk disebut sastrawan besar. Di setiap profesi, selalu mengandung pertaruhan waktu. Barangsiapa gigih, dia tuai hasil.

Kedua, puisi esai yang lekat dengan jenis baru Denny J.A. Ini perkara baik untuk bisa masuk di wacana yang lebih luas. Maksudnya, lewat model yang diperkenalkan Denny J.A, puisi esai, kawankawan bisa sekaligus mengumbar macammacam jenis atau bentuk puisi. Atau, bahkan mempersoalkan apakah yang ditulis Denny J.A merupakan puisi? Kalau iya, adakah model semacam itu sebelumnya? Kalau tidak, kenapa disebut puisi esai? Apa itu puisi esai? Dsb.

Obrolan juga sempat singgung politik sastra. Ini agak peka, perkara bawabawa mazhab sastra. Di kelas menulis, soal ini kurang dapat perhatian. Ini hanya perbincangan orangorang tertentu. Kelas menulis prinsipnya tak hirau soalsoal macam itu. Toh kalau ada, lagilagi itu hanya melibatkan segelintir orangorang. Kelas menulis terbuka segala macam mazhab kesusastraan, mulai dari realisme sampai lirisme. Dari humanisme universal hingga sastra sebagai panglima.

Pasca makan malam bersama, kelas menulis PI lakukan evaluasi. Yang utama ihwal keseriusan membangun tradisi membaca dan menulis. Juga, bagaimana kawankawan banyak membaca karangan penulis ternama, tujuannya agar bisa membangun sudut pandang. Begitu juga cerpen, bagi yang senang menulisnya bisa bereksperimen seperti apa konflik menjadi unsur utama cerita. Bagaimana menciptakan karakter, membangun plot, dan menutup cerita dengan ending memesona.

Kala juga jadi sorotan, terutama soal jumlah tulisan yang mau dimuat . Selebaran ini, sekali terbit sampai edisi ke tujuh hanya menurunkan dua tulisan. Jika dua tulisan menyisakan kolom kosong di halaman terakhir, redaksilah yang mengisi. Keadaan ini sudah tiga pekan terjadi, yang artinya tugas redaksi harus mengisinya. Ini akibat minimnya tulisan yang masuk ke meja redaksi. Walaupun tulisan selalu diambil dari karya kawankawan, tetap saja minim. Makanya, mulai pekan depan sudah ada mekanisme menentukan tulisan siapa layak muat. Ini sekaligus menjadi ajang saing, internal kelas menulis tentunya.

Yang baru dari Kala, mulai terbitan minggu depan, kolom yang sering diisi redaksi akibat ruang kosong akan diampu langsung Sulhan Yusuf. Halaman terakhir ini mirip Catatan Pinggir Tempo yang ditulis Goenawan Mohammad, atau Catatan Dahlan Iskan di kolom koran besutan Jawa Pos. Artinya, pria berkepala plontos ini harus menulis sekira 500 kata tiap akhir pekan di kolom yang direncanakan mengambil nama "Unjuk Rasa."

Akhir kelas, kawankawan menaruh perhatian soal swasembada di sektor ekonomi. Keputusan menerapakan iuran dirasa perlu akibat kebutuhan kelas. Kebijakan ini sekaligus jadi indikator seberapa jauh perhatian kawankawan terhadap keberlangsungan kelas menulis PI. Alokasinya bisa banyak hal, mulai air minum, langganan koran, sampai ongkos produksi selebaran Kala. Selebihnya barangkali hanya buat kebutuhan teknis.

Yang terakhir, ada kesadaran membuat website. Pilihan ini masih mau dibicarakan kembali, berhubung Icha punya pengalaman membuat website. Soal kelanjutannya, agaknya jadi tanggung jawab Icha, kawan yang sudah dua pekan terlibat kelas menulis PI. Kalau diamanahkan dia siap. Kelas sepakat.

Awal maret, seorang kawan merasai tulisan pertamanya terbit. Saya kira, bagi penulis manapun, tulisan pertama tembus surat kabar punya kesan yang sulit dilukis. Tapi, kalau ibarat warna, hati Ishak Boufakar sudah berubah jadi warna lapislapis pelangi yang tetiba tumpah, meleleh dan saling menindih. Teradukaduk. Bercampur. Warnawarni.

Syahdan, ini awal Maret yang panas. Seperti akhir Februari yang basah, awal Maret jadi deret pekan yang menyulut asa. Tidak boleh seret, besok, di pekan yang lain, kertas masih banyak kosong. Tulislah, semampunya saja.