BUKU filsafat tertua di dunia berupa dialog. Buku karangan Platon, misalnya. Politeia/The Republic, buku yang mengulas filsafat politik, menggunakan dialog sebagai strategi literernya.
Sesungguhnya di dalam dialog ada dua elemen penting yang dikandung: pertanyaan dan jawaban. Dua elemen ini bukan sekedar metode, melainkan esensi filsafat itu sendiri.
Melalui dua hal itu ilmu
pengetahuan berkembang. Bahkan pertanyaan jauh lebih penting dari jawaban.
Akhirnya dengan pertanyaan, sejarah maju meninggalkan kabut kejumudan.
Karib filsuf Levinas, Jacques
Rolland, menyatakan, bertanya adalah suatu proses berpikir. Ketika seseorang
bertanya, maka di situ ada proses berpikir. Di peristiwa itu, ada soalsoal yang
bakal dipecahkan. Ada pemahamanpemahaman yang digugat. Dan, kemudian akal
bekerja.
Zaman berkembang, dan malang dunia
hari ini adalah masa yang banyak menyingkirkan pertanyaan. Orangorang
berbondong duduk di hadapan guru untuk menemukan jawaban. Anakanak muda sulit
lepas dari gawainya berselancar dengan sekali klik. Bila
di layar kaca, ketika sebuah forum pendidikan ada pertanyaan, maka sesungguhnya pertanyaan itu juga sudah dipesan sebelumnya.
Jamaknya fenomena itu bukanlah simptom alami. Tradisi menelan jawaban adalah gejala yang sudah lama dialami dari model belajar selama ini. Bahkan, ilmu di dalam tradisi pendidikan kita selalu diandaikan sebagai
paket yang sudah fix. Ilmu bukan terdiri dari pernyataanpernyataan terbuka yang
patut digubris dengan deretan pertanyaanpertanyaan kritis. Perlakuan ilmu yang
demikian, sama halnya dengan iman yang harus diterima dalam doktrin agamaagama.
Kebudayaan menelan jawaban paralel dengan merebaknya budaya bisu.
Kritisisme justru dianggap anomali. Apalagi bangsa ini secara
kultural masih terus dibayangbayangi oleh suatu paradigma yang sudah dibangun
di dalam rezim yang hegemonik. Selama tiga dekade, di dalam rezim yang
hegemonik itu, imajinasi dan kreativitas berpikir adakalanya bisa diartikan
sebagai modus untuk membangkang.
Di mata pendidik a la rezim
hegemonik, orangorang semacam itu akan dianggap sebagai anak yang tidak patuh.
Ini persis seperti desain peristiwa penciptaan Adam. Di sana, ada sang penanya
yang menggugat. Sang Iblis dengan rasa ingin tahunya memiliki hasrat menguak
tujuan penciptaan Adam. Pasca kejadian itu Iblis di anggap menyimpang, dan
akhirnya disingkirkan.
Malangnya, proses edukasi selalu
mengambil inspirasi dari peristiwaperistiwa agama semacam itu. Agama memang
baik, tapi nampaknya ilmu selalu disinonimkan sebagaimana doktrin dalam agama.
Ilmu selalu dibangun atas dasar relasi struktural yang hirarkis. Dan ketika
suatu hirarki terbangun, maka sesungguhnya di situ telah berlaku kekuasaan.
Relasi struktural semacam itu
dinyatakan Henry A. Giroux sebagai derivasi persepsi tradisional konservatif
yang memandang tatanan hirarki adalah suatu yang tebangun alamiah. Giroux
mempercakapkan relasi itu digunakan dalam struktur pengetahuan antara pendidik
dan peserta didik. Pendidik sebagai posisi pada lapisan atas, sementara peserta
didik harus rela dilapis bawah. Di dua lapis itulah pengetahuan diturunkan
tanpa terbangun momentum dialog, sehingga pengetahuan diselenggarakan tanpa
melalui momenmomen kritis.
Henry A. Giroux adalah pemikir
pendidikan kritis yang mengandaikan bahwa penyelenggaraan pendidikan sudah
diberlangsungkan dengan logika pasar. Kapitalisme tidak saja bergerak melalui
matra ekonomi, melainkan menyusup melalui pendidikan dengan mengubah polapola
kebudayaan di dalamnya. Atas dasar hukum efisiensi, pendidikan hanya ditimbang
berdasarkan kekuatan modal . Giroux mendaku pendidikan yang diselenggarakan
berdasarkan hukumhukum pasar, akan mereduksi hakikat pendidikan itu sendiri.
Hilangnya kemampuan bertanya
akhirnya hanya merepetisi/mengulang pengetahuan yang ditransformasikan. Ini artinya
pengetahuan hanya akan menjadi pernyataanpernyataan anti perubahan. Malah
pengetahuan yang tidak disertai pertanyaanpertanyaan kritis justru akan
melegitimasi status quo. Maka jangan heran untuk mengucapkan
kemajuan dalam pengajuanpengajuan pembangunan kebudayaan, orangorang susah
melek karena tidak diawali dengan tindak kritisisme pertanyaan.
Sikap kritis untuk bertanya didaku
Bambang Sugiharto sudah dimiliki semenjak kanakkanak. Namun, guru besar ilmu
filsafat di Universitas Parahyangan Bandung itu bilang, ketika anakanak sudah
mulai masuk ke dalam institusi pendidikan, rasa ingin tahu sang anak justru
menjadi tumpul oleh sistem pendidikan yang tidak humanis. Pendidikan yang tidak
humanis disebutnya adalah model pendidikan yang membunuh rasa ingin tahu
menjadi manutmanut.
Malu bertanya sesat di jalan,
begitu pepatah sering diucapkan. Sebenarnya frasa itu mau menerangkan bahwa
keberanian adalah kualitas jiwa untuk bertanya. Barangsiapa tidak berani
bertanya, tunggu saja akan menemukan jalan buntu. Di situ betapa pentingnya
keberanian sebagai elemen dasar dari ilmu pengetahuan. Keberanian bertanya
berarti ada keinginan mencari tahu lebih jauh sebagai fitrah dasar manusia.
Hilangnya budaya tanya anehnya
berbarengan dengan betapa massifnya perkembangan informasi. Bahkan hampir di
setiap saat, secara otomotatis mesin telepon pintar dipenuhi notifikasi tentang
informasi yang terus berkembang. Bisa dibilang hampir semua informasi berada
dalam satu genggaman. Tapi itu semua justru tidak mengikutkan suatu kultur
bertanya untuk mempertanyakan kebenaran dari suatu informasi secara kritis.
Hasrat untuk mencari kebenaran
tidak saja perlu bagi filsafat seperti yang dinyatakan Alain Badiou, filsuf
kontemporer Perancis. Tapi itu penting bagi kita yang dikepung berjuta
informasi. Betapa banyaknya informasi datang tanpa refleksi. Dan betapa sedikitnya
informasi yang kita terima menjadi pengetahuan. Sebab tanpa budaya tanya,
informasi yang dicerap hanya berupa pernyataanpernyataan tidak berbobot.
Sampai di sini, apapun informasi yang datang pada Anda, sempatkanlah untuk
bertanya. Sesungguhnya bertanya itu bukan tabu.