Bertanya itu Bukan Tabu


Henry A. Giroux 
Kritikus budaya dan Amerika . Salah satu teoritikus pendiri pedagogi kritis di Amerika Serikat 
Giroux terkenal karena karya perintisnya dalam pedagogi publik, studi budaya, studi pemuda, pendidikan tinggi, studi media  dan teori kritis. 
Pada 2002 Routledge menyebut Giroux sebagai salah satu dari lima puluh pemikir pendidikan terkemuka di zaman modern.

BUKU filsafat tertua di dunia berupa dialog. Buku karangan Platon, misalnya. Politeia/The Republic, buku yang mengulas filsafat politik, menggunakan dialog sebagai strategi literernya.

Sesungguhnya di dalam dialog ada dua elemen penting yang dikandung: pertanyaan dan jawaban.  Dua elemen ini bukan sekedar metode, melainkan esensi filsafat itu sendiri.

Melalui dua hal itu ilmu pengetahuan berkembang. Bahkan pertanyaan jauh lebih penting dari jawaban. Akhirnya dengan pertanyaan, sejarah maju meninggalkan kabut kejumudan.

Karib filsuf Levinas, Jacques Rolland, menyatakan, bertanya adalah suatu proses berpikir. Ketika seseorang bertanya, maka di situ ada proses berpikir. Di peristiwa itu, ada soalsoal yang bakal dipecahkan. Ada pemahamanpemahaman yang digugat. Dan, kemudian akal bekerja.

Zaman berkembang, dan malang dunia hari ini adalah masa yang banyak menyingkirkan pertanyaan. Orangorang berbondong duduk di hadapan guru untuk menemukan jawaban. Anakanak muda sulit lepas dari gawainya berselancar dengan sekali klik. Bila di layar kaca, ketika sebuah forum pendidikan ada pertanyaan, maka sesungguhnya pertanyaan itu juga sudah dipesan sebelumnya.

Jamaknya fenomena itu bukanlah simptom alami. Tradisi menelan jawaban adalah gejala yang sudah lama dialami dari model belajar selama ini. Bahkan, ilmu di dalam tradisi pendidikan kita selalu diandaikan sebagai paket yang sudah fix. Ilmu bukan terdiri dari pernyataanpernyataan terbuka yang patut digubris dengan deretan pertanyaanpertanyaan kritis. Perlakuan ilmu yang demikian, sama halnya dengan iman yang harus diterima dalam doktrin agamaagama.

Kebudayaan menelan jawaban paralel dengan merebaknya budaya bisu. Kritisisme justru dianggap anomali. Apalagi bangsa ini secara kultural masih terus dibayangbayangi oleh suatu paradigma yang sudah dibangun di dalam rezim yang hegemonik. Selama tiga dekade, di dalam rezim yang hegemonik itu, imajinasi dan kreativitas berpikir adakalanya bisa diartikan sebagai modus untuk membangkang.

Di mata pendidik a la rezim hegemonik, orangorang semacam itu akan dianggap sebagai anak yang tidak patuh. Ini persis seperti desain peristiwa penciptaan Adam. Di sana, ada sang penanya yang menggugat. Sang Iblis dengan rasa ingin tahunya memiliki hasrat menguak tujuan penciptaan Adam. Pasca kejadian itu Iblis di anggap menyimpang, dan akhirnya disingkirkan.

Malangnya, proses edukasi selalu mengambil inspirasi dari peristiwaperistiwa agama semacam itu. Agama memang baik, tapi nampaknya ilmu selalu disinonimkan sebagaimana doktrin dalam agama. Ilmu selalu dibangun atas dasar relasi struktural yang hirarkis. Dan ketika suatu hirarki terbangun, maka sesungguhnya di situ telah berlaku kekuasaan.

Relasi struktural semacam itu dinyatakan Henry A. Giroux sebagai derivasi persepsi tradisional konservatif  yang memandang tatanan hirarki adalah suatu yang tebangun alamiah. Giroux mempercakapkan relasi itu digunakan dalam struktur pengetahuan antara pendidik dan peserta didik. Pendidik sebagai posisi pada lapisan atas, sementara peserta didik harus rela dilapis bawah. Di dua lapis itulah pengetahuan diturunkan tanpa terbangun momentum dialog, sehingga pengetahuan diselenggarakan tanpa melalui momenmomen kritis.

Henry A. Giroux adalah pemikir pendidikan kritis yang mengandaikan bahwa penyelenggaraan pendidikan sudah diberlangsungkan dengan logika pasar. Kapitalisme tidak saja bergerak melalui matra ekonomi, melainkan menyusup melalui pendidikan dengan mengubah polapola kebudayaan di dalamnya. Atas dasar hukum efisiensi, pendidikan hanya ditimbang berdasarkan kekuatan modal . Giroux mendaku pendidikan yang diselenggarakan berdasarkan hukumhukum pasar, akan mereduksi hakikat pendidikan itu sendiri.

Hilangnya kemampuan bertanya akhirnya hanya merepetisi/mengulang pengetahuan yang ditransformasikan. Ini artinya pengetahuan hanya akan menjadi pernyataanpernyataan anti perubahan. Malah pengetahuan yang tidak disertai pertanyaanpertanyaan kritis justru akan melegitimasi status quo. Maka jangan heran untuk mengucapkan kemajuan dalam pengajuanpengajuan pembangunan kebudayaan, orangorang susah melek karena tidak diawali dengan tindak kritisisme pertanyaan.

Sikap kritis untuk bertanya didaku Bambang Sugiharto sudah dimiliki semenjak kanakkanak. Namun, guru besar ilmu filsafat di Universitas Parahyangan Bandung itu bilang, ketika anakanak sudah mulai masuk ke dalam institusi pendidikan, rasa ingin tahu sang anak justru menjadi tumpul oleh sistem pendidikan yang tidak humanis. Pendidikan yang tidak humanis disebutnya adalah model pendidikan yang membunuh rasa ingin tahu menjadi manutmanut.

Malu bertanya sesat di jalan, begitu pepatah sering diucapkan. Sebenarnya frasa itu mau menerangkan bahwa keberanian adalah kualitas jiwa untuk bertanya. Barangsiapa tidak berani bertanya, tunggu saja akan menemukan jalan buntu. Di situ betapa pentingnya keberanian sebagai elemen dasar dari ilmu pengetahuan. Keberanian bertanya berarti ada keinginan mencari tahu lebih jauh sebagai fitrah dasar manusia.

Hilangnya budaya tanya anehnya berbarengan dengan betapa massifnya perkembangan informasi. Bahkan hampir di setiap saat, secara otomotatis mesin telepon pintar dipenuhi notifikasi tentang informasi yang terus berkembang. Bisa dibilang hampir semua informasi berada dalam satu genggaman. Tapi itu semua justru tidak mengikutkan suatu kultur bertanya untuk mempertanyakan kebenaran dari suatu informasi secara kritis.

Hasrat untuk mencari kebenaran tidak saja perlu bagi filsafat seperti yang dinyatakan Alain Badiou, filsuf kontemporer Perancis. Tapi itu penting bagi kita yang dikepung berjuta informasi. Betapa banyaknya informasi datang tanpa refleksi. Dan betapa sedikitnya informasi yang kita terima menjadi pengetahuan. Sebab tanpa budaya tanya, informasi yang dicerap hanya berupa pernyataanpernyataan tidak berbobot. Sampai di sini, apapun informasi yang datang pada Anda, sempatkanlah untuk bertanya. Sesungguhnya bertanya itu bukan tabu.