Bulan Februari segera
berakhir. Besok sudah Maret. Awal Februari bahrulamsal for literacy pertama
kalinya gelar bincangbincang ringan, soal novel “Titisan Cinta Leluhur” dan
“Djarinah” karya perempuan Bantaeng, Atte Sherlynia Maladevi. Waktu itu
penyertanya juga seorang perempuan; Jusnawati. Dia diundang agar mau bicarakan
karya tulisnya yang terbit di koran Fajar. Saat itu isinya tentang dua novel
tadi. Kalau boleh bilang dia meresensinya.
Soal bagaimana persisnya
forum mini itu, sudah sempat saya ulas di bawah tajuk “Yang Tinggal dari
‘Geliat Atte dalam Dua Novel.’” Saya sebagai penanggung jawab penuh page
bahrulamsal for literacy merasa harus menulisnya. Biar bagaimanapun ini salah
satu metode menjaga semangat literasi.
Kala Maret nanti
bahrulamsal for literacy sudah punya agenda. Barangkali di dua minggu pertama.
Kali ini soal pemikiran Hannah Arendt, perempuan filsuf abad 20. Perkara yang
mau dibincangkan soal manusia dan kebebasan. Penyertanya seorang muda; Muhajir.
Muhajir, saya kira cukup
familiar. Terutama buat kawankawan dekat. Dia alumni UNM, pegiat filsafat dan
ilmu pendidikan. Akhirakhir ini ikut terlibat di kelas menulis PI. Juga sempat
nimbrung di HMI MPO Makassar. Pemuda asal Pangkep ini sudah sering diundang di
pelbagai forum. Kali ini saya mengajaknya. Senang hati dia mengiyakan.
Mengapa Hannah Arendt? Dua
hal jawabannya. Pertama, Muhajir sedang membaca buku ihwal Hannah Arendt.
Kedua, agar kawankawan bisa berkumpul ocehoceh soal manusia dan kebebasan.
Belakangan ini banyak
perkara ruang publik yang dipolitisir. Kelompokkelompok banyak bermunculan
mencuri hakhak publik. Mekanismenya lewat paradeparade, baris berbaris, wacana
publik dikotori kepentingan kelompok. Yang publik akhirnya jadi bising karena hasrat
menguasai. Yang sosial akhirnya jadi privat.
Ruang publik sejatinya
medan konstelasi wacana, ide, dan pemikiran. Salurannya tentu lewat
praktikpraktik pertukaran budaya, ekonomi, kemudian pendikan. Di situ
orangorang bebas melakukan pertukaran demi mengembangkan potensi
kemanusiaannya. Namun malang itu jadi terhambat akibat kepentingan kelompok
tertentu. Ini yang tidak fair.
Yang problematis dari itu,
di mana tempatnya kebebasan? Bukankah kebebasan itu tidak dimungkinkan jika ada
pihak yang dominan? Bukankah jika ada dominasi justru itu berarti penguasaan?
Lantas siapakah yang menguasai? Berhakkah suatu kelompok berkuasa atas kelompok
lain? Kalau sudah begitu, apakah kebebasan itu keharusan individual atau
konstruksi kelompok? Kalau kebebebasan itu ada, lantas bagaimana
mengembangkannya? Semua ini jadi soal. Ini perkara yang harus dijawab tuntas.
Masalahmasalah ini saya
kira tengah terjadi. Ruang publik tibatiba berubah jadi dominasi privat. Skala
nila atas agama, ras, dan suku kerap jadi ukuranukuran publik. Orangorang lupa
bahwa ada yang namanya kepentingan bersama. Ada yang namanya nalar publik.
Itulah mengapa ada politik.
Mekanisme yang dipakai untuk mengatur banyak orang. Saluran kolektif yang
keluar dari ikatan parsial. Perlu ada politik universal. Barangkali pula
politik yang otentik.
Politik otentik, kirakira
inilah yang diperlukan. Kalau Arendt bilang, politik otentik itu adalah ruang
yang mengadaikan manusia terbebas dari hirarki, kungkungan kekuasaan. Setelah
itu diperlukan tindakan untuk masuk ke dalam ruang publik sebagai manusia yang
otentik, merdeka dan otonom.
Soal manusia kadang juga
jadi pelik. Bebaskah manusia, atu justru jadi “benda” di bawah suatu wewenang.
Jika bebas, bagaimana jika dia hidup dalam kelompok? Apakah penting mengutamakan
kelompok, atau justru kepentingan pribadi? Kalau mengutamakan kelompok, apakah
masih berartikah manusia itu punya kebebasan? Tidakkah bisa keduaduanya? Lantas
bagaimanakah caranya?
Perkara di atas kadang
harus menyinggung termaterma yang akrab dengan filsafat. Dari situ baru
kemungkinankemungkinan ditemui; budayakah, ekonomikah, politikkah, atau bahkan
agama. Mungkinkah manusia bebas dari ikatan semua itu. Manusia yang tidak
terikat hukumhukum sosialnya. Manusia yang par excellence bebas?
Kirakira semacam itulah yang mau diomongkan. Sambil sesekali menyeruput segelas kopi hangat. Saya kira ini cara yang paling sederhana bagaimana mengucapkan semangat literasi di tengah situasi kiwari.
Kirakira semacam itulah yang mau diomongkan. Sambil sesekali menyeruput segelas kopi hangat. Saya kira ini cara yang paling sederhana bagaimana mengucapkan semangat literasi di tengah situasi kiwari.
Bahrulamsal for literacy
bukan organisasi. Bukan juga komunitas. Makanya tak ada kepentingan apapun di
balik kegiatannya. Toh kalau ada, barangkali cuman ajang hebohhebohan. Sekali
lagi ini hanya cara saya menyelenggarakan perbedaan. Di sekitar saya banyak
orang senang berdiskusi, lewat bahrulamsal for literacy saya kumpulkan. Kita
bisa ngopi bareng sambil bincangbincang serius. Atau bincangbincang serius
sambil ngopi bareng.
Banyak yang mengira
kegiatan seperti ini berskala besar. Padahal ini hanya forum mini. Yang datang
sejauh ini hanya sampai sepuluh orang. Makanya ini bukan forum besar seperti
organorgan tertentu sering bikin. Ini murni tindakan individu, bukan kolektif
organisasional.
Akhirul kalam, sampai jumpa
di awal Maret.