Subjek Sinis

Kalau percaya terhadap pikiran Marx, di bawah kekuasaan kaum pemodal tersemat ideologi yang menipu. Di balik ideologi, suatu rekayasa dibuat demi meraup kewenangan penuh. Ideologi ditaruh untuk mengelabui. Realitas yang terang jadi abuabu. Orangorang yang hidup di bawahnya tak banyak tahu, kalau mereka bekerja hanya untuk menopang satu kekuasaan tetap bertahan.

Ideologi sudah dirumuskan Marx dengan defenisi yang terang: kesadaran palsu. Dalam kalimat yang lain, ideologi adalah sesuatu yang kita ketahui adalah sesuatu yang menipu namun tetap melakukannya. Lakilaki tahu kalau rokok berbahaya secara medik, tapi kesadaran atas mode bilang lain. Lakilaki akan macho sembari menghisap rokok. Perempuan muda sadar kalau mau dapat tubuh indah, salah satu caranya lewat operasi plastik. Operasi plastik butuh banyak uang, tapi atas keindahan semuanya rela dilakukan. Ideologi disebut ideologi karena punya selimut kepalsuan. Atas nama mode dan keindahan, rokok dan operasi plastik diakui sebagai cara hidup yang normal.

Marx bilang, ideologi bekerja di dalam masyarakat. Lewat analisisnya masyarakat tersubordinasi atas kepemilikan dibidang ekonomi. Melalui jejaring hubungan produksi, masyarakat diesklusikan sampai ke titik alienatif. Namun, sejauh Marx menempatkan perhatiannya kepada masyarakat, analisisnya mengalami jalan buntu untuk mengeksplisitkan cara bekerja ideologi di tingkat individu. Apalagi soal bagaimanakah ideologi mempengaruhi kesadaran individu dalam waktu relatif lama.

Dititik itulah Zlavoj Zizek mengisi kekosongan analisis Marx. Bahkan memberikan pengertian lebih maju tentang ideologi. Bagi Zizek, yang ilutif dari ideologi bukan dari aspek “kesadaran,” melainkan “tindakan.” Karena itulah seorang lakilaki tetap merokok walaupun tahu dampak rokok terhadap kesehatan. Juga perempuanperempuan yang tetap menyiksa diri dengan program diet ketat, walaupun itu menyakitkan. Ideologi menjadi begitu kokoh akibat bekerja sampai kepada tindakan untuk berbuat, bukan sekedar pengetahuan tentang tindakan. Analisis Zizek ini dimungkinkan mengetahuinya melalui unit analisis yang dia ambil dari teori subjek yang dimiliki Lacan.

Ada tiga bentuk tatanan untuk memasuki pemahaman Lacanaian, yang menyituasikan posisi individu ditingkatan mental dan perilaku. Pertama, tatanan imajiner, kedua simbolik dan ketiga The Real. Di tahapan imajiner, perkembangan kesadaran manusia dilalui dengan cara yang salah. Terutama di tahap ini, sang aku mengalami fase cermin yang memberikan citra distorsi yang bukan aku. Melalui gambaran dalam cermin, sang aku mengira apa yang di dalam cermin adalah pantulan diri yang sebenarnya, padahal itu hanyalah pantulan yang tidak mewakili sang aku. Di tahap inilah, sang aku mengalami pembentukan diri dari aku yang salah.

Disorientasi yang dialami "sang aku" kala fase cermin, juga dialami saat "aku" mengalami fase simbolik. Fase simbolik berupa tatanan bahasa, logika, simbol, sosial maupun budaya merupakan tatanan yang dibentuk atas dasar diferensiasi. “Ibu” hanya bisa dipahami sebagai lawan dari “Ayah,” sementara “Ibu” sebagai tatanan makna yang lain tidak dimungkinkan sejauh itu tidak diperlawankan dari “Ayah.” Tatanan simbolik sama halnya fase cermin, adalah situasi perkembangan yang mengarahkan keterputusan terhadap “aku” yang sejati. Lantas di manakah “aku” yang sejati? Apakah mungkin memiliki “aku” yang murni jika semenjak awal,  kesadaran bermula dari “aku” yang terdistorsi?

Agak sulit mau bilang kalau “aku” sejati sudah dimiliki dari awal, tapi selalu ada keterasingan primordial akibat dari fase cermin. Keterasingan yang primordial ini selalu menyangkal pembingkaian yang diberikan tatanan simbolik sebagai modus dari pengertianpengertian yang diterima. Kecenderungan untuk mengelak inilah yang dimaksud The Real, suatu mekanisme penolakan dalam diri agar tidak takluk atas defenisidefenisi disekitar sang diri. Di celah inilah, The Real selalu melakukan perlawanan terhadap segala upaya pendisiplinan yang diberikan tatanan simbolik.

Namun sayang, kemungkinan melakukan perlawanan tak pernah diajukan di dalam situasi yang disebut nonideologis. Padahal Zizek bilang melalui penolakanpenolakan yang dimiliki The Real-lah suatu perlawanan dimungkinkan. Kaum pekerja bisa melakukan perlawanan hanya dengan keluar dari stigma simbolik yang inklud di dalamnya kekuasaan, dengan cara mencarinya dari kemungkinankemungkinan yang diberikan The Real. Kaum perempuan hanya bisa melawan dominasi tatanan patriarki hanya karena penolakan yang diberikan The Real agar tidak disituasikan ke dalam posisi yang subordinat.

Kemungkinan yang tidak ditemukan itulah yang disebut Zizek sebagai subjek sinisme. Subjek sinis diandaikan sebagai subjek yang berada dalam relasi ideologis yang mengetahui jejaring kekuasaan tengah berlangsung, namun malah terlibat dan ikut dengan wacana yang diberikan oleh kekuasaan.  Boleh dikata dari pengertian inilah pengertian dasar ideologi yang diwacanakan Marx yakni “mengetahui namun tetap dilakukan.” Terangnya, subjek sinis itu orang yang mengetahui realitas yang terdistorsi, tapi tetap berpegang pada situasi yang salah dan tidak menolaknya.

Subjek sinis banyak ditemui diberbagai bidang kehidupan. Di bidang politik, dia bisa disematkan kepada politisi yang tahu betul situasi perpolitikan yang salah, namun tidak menolak untuk memperbaiki, atau malah ikut terlibat di dalamnya. Seorang guru yang tahu kalau di sekolahnya ada penggelapan uang, namun ikut mendiamkan karena tahu uang yang dimaksud sudah terlebih dahulu dinikmatinya. Bisa juga mahasiswa yang punya kesadaran kritis untuk melawan ketidakadilan, namun sering berbuat tidak senonoh terhadap adikadik yuniornya. Atau seorang agamawan yang sadar banyak terjadi kemaksiatan, namun diam saja tanpa pernah mengajukan kritik terhadap kezaliman yang terjadi.

Syahdan, ketika situasi demikian, di antara subjek yang sinis, siapakah juru selamat yang bisa membawa situasi ketahap yang kritis? Maksudnya, seperti pengajuan Marx ataupun Zizek, perlu ada kritik terus menerus terhadap keberlangsungan ideologi yang semakin massif mendistorsi kenyataan.