Pantas mamak datang.
Ternyata hari ini libur. Semenjak kemarin dia sudah bilang akan datang. Saya
iyakan saja. Dari Bulukumba, bersama adiknya tiba saat sore hari.
Otomatis mamak libur ngajar.
Hari imlek dia manfaatkan jenguk nenek. Sudah berbulan dia tidak bertemu
ibunya. Pasti dia rindu. Nenek saya memang tinggal satusatunya. Makanya
perhatian begitu besar kepadanya.
Kemarin mamak tanya.
Hubungannya dengan tesis saya. Saya bilang sedang diproses. Kapan selesainya.
Bilang saya mungkin pertengahan tahun. Bulan juli agenda wisuda di kampus. Di
bulan maret saya kurang yakin.
Mamak juga ingin bertemu
Fajar, adik saya. Dia jarang pulang. Mamak sering menelpon Fajar, cuman jarang
diangkat. Ima bilang hapenya rusak. Padahal Fajar punya dua hape. Karena itu
mamak datang. Sekalian mengecek adik saya.
Mamak
juga cerita tentang keadaan rumah. Di kampung rumah sedang direnovasi. Katanya
tinggal ditegel. Kamar saya juga sudah bisa ditempati. Saya hanya senyum
mendengarnya. Katanya bukubuku bawa saja ke Bulukumba. Nanti dipajang di
almari. Saya bilang nanti saja. Saya masih suka melihat tumpukan buku.
Saya cerita ke mamak
tentang Mochtar Pabottingi. Saya bilang kemarin dulu dia menerima permintaan
pertemanan. Saya katakan, "terimakasih sudah di konfirm. Salam dari
keluarga di Bulukumba" Pak MoƧhtar balas dengan ucapan doa bagi sekeluarga
di Bulukumba. Mendengar itu mamak senyamsenyum. Lain kali kalau sempat katakan
dari cucu Jennang di Barebba, bilang mamak. Dia pasti tahu. Kata mamak terakhir
dia datang saat kakaknya meninggal.
Mamak bilang sudah baca
bukunya. Saya hanya bilang baru sedikit. Tidak sempat. Saya tanya kenapa rambut
Mochtar putih, padahal terlihat muda. Mamak bilang memang begitu keturunan.
Bapakmu saja rambutnya putih. Seperti sepupunya. Mendengar itu saya khawatir.
Janganjangan belum tua saya sudah punya rambut putih.
Fajar juga sering omong.
Barangkali dia kesal. Bukubuku saya banyak mengambil tempat. Katanya sama, bawa
saja ke Bulukumba. Saya tolak permintaannya. Dia malah ngoceh, kalau begitu
rapikan susunannya. Sudah banyak debu bertumpuk. Saya acuh saja.
Fajar pernah membuatkan
lemari. Dia kumpul kayukayu bekas. Digergaji dipaku. Disusun. Seharian dia
berjibaku. Dengan keringat, dan kejengkelan. Tak lama almari jadi. Setelah itu
bukubuku diisi di dalamnya. Saya senang. Dia duduk di pintu, merokok.
Sayang bukubuku terus
berdatangan. Saya membeli, dan mengoleksi. Fajar diam saja. Dia sudah tahu.
Seiring waktu buku semakin banyak. Sampai sekarang. Terus bertambah.
Mamak kalau datang di
kamar, sering mengambil buku. Kadang tanpa saya tahu. Dia membaca bukubuku
berbau agama. Pernah dia mengambil buku tentang kopi. Barangkali karena
sampulnya. Atau memang isinya. Dia bawa pulang ke Bulukumba. Mungkin untuk
bapak. Di rumah bapak sering minum kopi. Mamak yang sering bikin.
Kali ini tidak ada susu
dibawa mamak. Kalau datang dia sering bawa sekaleng susu. Katanya biar bisa
dicampur kopi. Mamak hanya bawa beras. Bilangnya biar bisa saya bawa ke bunker.
Saya iyakan saja. Soalnya beras di bunker tinggal sedikit.
Pagi tadi mamak sudah
membangunkan. Shalat shubuh katanya. Saya bangun. Fajar bangun. Shalat shubuh.
Setelahnya dari dapur muncul suarasuara. Orangorang juga sudah bangun. Air
mengalir, barangkali berudhu. Saya lanjut tidur. Fajar keluar merokok. Dia
memang kuat merokok. Mamak tahu itu. Tapi Fajar sudah besar.
Setelah itu mamak
menggoreng pisang. Juga bikin teh. Tante Uni memasak. Puang Hera memotong
sayur. Puang Aty tidak ada. Katanya dia ke Palopo. Bisa jadi urusan kampus.
Saya abaikan saja.
Saya bilang mau keluar
mengurusi berkas. Cuci foto. Scan KTP. Ijazah dan transkip nilai. Dan membikin
surat peemohonan. Mamak bilang jangan lupa makan dulu. Dia sering cemas.
Katanya saya jarang makan. Tidak seperti Fajar, kuat makan.
Tapi saya masih sibuk
edit tulisan. Masih ada tiga tulisan belum rampung. Saya juga berencana bikin
paper. Untuk diskusi tanggal 12 nanti. Saya jadi pembicara, soal Karl Marx.
Belum lagi harus baca buku, dan sedikit diskusi.
Nenek sudah mandi. Juga
sudah buang air. Diumurnya yang renta dia masih kuat cebok sendiri. Padahal
nenek sudah tak kuat berjalan. Kadang dia dibopoh, agar tak jatuh tibatiba.
Nenek sudah banyak lupa tentang anakanaknya. Namanamanya, bahkan orangnya. Kami
hanya maklum. Bahkan sering dibuat bercanda.
Setelah mandi saya tanya
mamak. Tentang buku yang dibacanya. Ketika di Bulukumba, mamak ambil satu buku
saya. "Tiada Ojek di Paris" karya Seno Gumira Ajidharma. Dia sering
membacanya kalau istirahat. Saya heran. Tumben. Katanya isinya bagus. Katanya
jangan dibawa dulu. Biar mamak baca sampai habis. Begitu katanya.
Namun mamak lupa. Saya
tidak tahu apa sudah tuntas dibaca. Intinya mamak tidak membawanya. Saya
mengangguk saja. Tidak apaapa. Yang penting tidak semua buku diambilnya. Lagian
kalau diambil pasti hanya di rumah. Tidak hilang. Seperti bukuku yang lain.
Ketika beranjak berangkat
saya duduk sebentar dengan nenek. Sudah lama saya tidak melihatnya. Dia sedang
duduk di teras rumah. Sendirian. Itu memang kebiasaannya. Barangkali mencari
udara segar. Saya menghampirinya. Duduk di sebelahnya.
Agak lama dia memandang
saya. Nenek bilang "igako anak?" Saya ketawa. Mamak yang melihat juga
ketawa. Saya bilang dengan suara agak keras, " oppota pungnek" Nenek
hanya senyamsenyum. Bahkan ketawa. Giginya sudah habis. Ompong.
Saya berpamitan. Nenek
ketawa lagi. Saya salim tangannya. Kulitnya keriput. Cincin dijari manisnya.
Saya cium keningnya beberapa saat. Baunya harum. Itu karena sudah mandi. Saya
pamitan kepada mamak. Saya salim. Saya cium keningnya juga. Tidak bau apapa.
Hanya bau rambutnya. Saya suka bau rambutnya. Bau khas mamak.
Saya beranjak ke atas
motor. Sebelumnya ucap salam. Dan berangkat pergi. Sekarang, di waktu magrib,
mamak juga barangkali sudah berangkat pulang. Mudahmudahan tidak ada buku yang
dibawa pulang. Saya khawatir sebab dari pagi ada buku yang dipegangnya. Saya
tak tahu itu buku siapa. Mudahmudahan bukan punya saya.
---
Nb: Yang merayakan Imlek,
selamat.