Sudah tiga pekan terakhir saya memiliki semacam
rutinitas yang sulit dihindari. Semenjak kelas literasi sesi kedua PI dibuka,
saya mau tak mau harus berjibaku dengan Kala. Kala harus terbit di tiap pekan.
Dia buletin sederhana yang digagas kelas literasi PI. Ada semacam keharusan moral
agar Kala terus terbit. Maklum ini buletin baru yang kami rintis.
Karena manajemen buletin yang terhitung baru,
maka tak ada semacam tim kerja yang dipunyai Kala. Praktis karena saya menjadi
ketua kelas, saya pula yang berkewajiban mengurusinya.
Makanya tampilan Kala tidak seperti buletin
umumnya. Kala hanya selembar kertas yang dilipat menjadi dua bagian secara
horizontal. Karena itu Kala bisa dibilang selebaran. Itupun dikerja dalam
format word. Tapi karena ingin dibilang keren, kami menyebutnya buletin.
Format sederhana Kala hanya mampu menampung dua
tulisan dengan batasan 500 sampai 700 kata. Itupun kadang ada tulisan yang
sampai 1000an kata. Kalau sudah begini, saya harus bekerja ekstra agar kertas
kwarto yang dipakai bisa menampung semua tulisan yang bakal terbit.
Kadang kalau masih ada ruang kosong,
saya akan menyelipkan beberapa puisi agar tidak siasia. Ini bisa dilakukan
kalau memang tulisan yang masuk tidak menyetor tulisan yang panjangpanjang. Ya
kalau panjang, sudah pasti hanya dua tulisan saja yang bakal saya masukkan.
Selebihnya barangkali hanya bagian kotak kecil sebagai semacam iklan yang diisi
pengunguman redaktur.
Seperti yang saya bilang Kala tidak punya tim
kerja. Toh kalau ada itu hanya berlaku bagi kelas literasi. Jadinya setiap
minggu saya harus mencari minimal dua tulisan agar Kala bisa terbit. Sumber
tulisan tidak jauhjauh, semuanya dari karya kawankawan peserta kelas literasi
PI.
Dulu saya sempat bekerja di salah satu harian
surat kabar di Makassar. Sebagai wartawan saya pasti melihat langsung bagaimana
redaktur bekerja di hadapan meja kerjanya. Bagaimana redaktur mengedit tiga
sampai empat tulisan selama semalam. Apalagi redaktur yang dapat jatah mengedit
kolom opini. Dia harus pandaipandai memilih tulisan dan jeli melihat
perkembangan kejadiankejadian yang sedang berlangsung.
Ketika saya mendapat piket kerja, saya juga
terkadang mendapat tugas mengedit beritaberita yang bakal naik cetak. Jadi
sebelum file berita dikirim ke percetakan, saya ditugaskan untuk memeriksa kembali
apapun jenis kesalahan dari penulisan. Mulai dari kesalahan ketik, istilah,
huruf sampai tanda komanya, semuanya harus diedit sebelum naik cetak.
Sekarang ketika Kala sudah memasuki pekan
keempat, pekerjaan itu rasarasanya saya alami kembali. Maklum Kala secara
defenitif belum memiliki redaktur, apalagi editor. Sehingga dua pekerjaan itu
harus saya lakukan di tiap akhir pekannya.
Maka jadilah saya redaktur karbitan, orang yang
mengelola tulisan kawankawan sekaligus mengedit sedikitsedikit tulisan yang
dianggap “menyimpang.” Selama mengerjakan tugas ini saya merasa bak sedang
mengelolah semacam majalah mingguan yang super tenar. Mingguan yang setiap
orang menunggu dibaca.
Tapi nyatanya ini hanya Kala, selebaran yang
sungguh sangat sederhana. Buletin yang barangkali dibaca hanya sekitar duapuluh
orang. Namun, dari yang saya alami, ini pekerjaan besar. Setidaknya bagi saya
yang ingin meningkatkan kualitas teknik menulis. Karena itu dengan senang hati
tiap akhir pekan saya bisa belajar dari beragam jenis tulisan yang saya baca.
Karena belum memiliki tim redaksi yang mapan,
Kala untuk sementara tidak memasang target wacana apa yang bakal jadi topik
tiap minggunya. Saya sempat ditanya, apakah tiap minggu Kala bakal mengangkat
satu topik tertentu? Saya bilang, itu target yang terlalu tinggi untuk buletin
semacam kala. Saat ini kala hanya punya satu tujuan, menerbitkan tulisan
kawankawan peserta literasi PI.
Pertanyaan kawan itu, lebih disebabkan
oleh banyak faktor. Setidaknya ada satu faktor yang paling menentukan, yakni
sampai saat ini belum ada yang mau mengirimkan tulisannya hanya untuk
diterbitkan Kala. Redaksi Kala bukan seperti redaksi mediamedia besar yang
menerima ratusan tulisan dari pembacanya sehingga dengan gampang menentukan
topik apa yang bakal diterbitkan. Apalagi Kala tidak menerima tulisan dari
pihak luar.
Makanya, tiap akhir pekan saya harus mencari
tulisan siapa lagi yang bakal dipakai Kala. Seringkali pula saya harus membuka
beberapa blog kawankawan mengintip beberapa tulisannya. Kalau cocok, baru
kemudian saya hubungi meminta tulisannya. Karena itulah, di satu sisi
keberlangusungan Kala sangat ditentukan sejauh apa kawankawan sering menulis.
Di situlah nyawanya.
Saat saya mengedit tulisan kawankawan, saya
seperti dijarkan menulis. Saya termasuk orang yang minim membaca, makanya
ketika menerima tulisan kawankawan saya bisa membaca sekaligus diajak melihat
seberapa jauh tehnik menulis saya.
Dalam mengeditori tulisan yang masuk setidaknya
ada empat hal yang saya jadikan aturan main. Pertama koherensi. Aturan ini saya
pakai untuk memindai seberapa kuat hubungan asumsi dari kalimat yang dipakai
penulis. Entah itu dari kalimat per kalimat, maupun paragraf per paragraf.
Kedua, saya harus melihat struktur kalimat. Pada
bagian ini, saya terkadang banyak berhatihati karena berhubungan ini langsung
dengan gaya menulis seseorang. Sangat tidak mungkin saya mengubah jenis kalimat
seperti gaya menulis yang ditunjukkan Nietzsche yang metafor dan simbolis. Juga
bagi gaya tulisan sastrawi yang belakangan banyak digandrungi.
Yang ketiga, saya harus jeli melihat seberapa
tepat penggunaan istilahistilah. Terkadang di bagian ini saya sering menemukan
pengguanaan istilah yang bukan semestinya. Juga terkadang ada penulis yang lupa
memiringkan istilah jika itu berbahasa asing. Kalau yang ini akan sangat mudah
ditemukan sepanjang saya terus membaca.
Terakhir adalah kesalahan pengetikan atau ejaan.
Bagi penulis pemula bagian ini akan sering tak sengaja dilakukan. Bahkan saya
juga sering melakukannya, terutama kesalahan ketik. Makanya di sesi ini saya
harus banyak menghapal katakata baku. Misalnya kata silahkan mestinya ditulis
silakan sebagai bentuk bakunya. Di bagian ini tidak seperti level yang pertama,
kemampuan matalah yang dipakai. Jeli melihat ejaan yang menyimpang.
Saya terkadang harus merasa sebagai musuh
penulis. Perasaan ini kebalikan dari keyakinan saya, penulis pasti punya musuh;
editor. Menjadi editor dan penulis dua hal yang saya rasa punya tanggung jawab
yang berbeda walaupun tujuannya sama. Namun ketika mengedit tulisan kawanakawan
saya harus tegategaan ketika sampai menghilangkan beberapa paragraf yang tidak
relevan. Ini kerap kalau pengertian yang dimaksud sudah dibahas di kalimat atau
paragraf sebelumnya. Atau memang keterbatasan ruang yang dimiliki.
Kalau sudah begitu ada rasa bersalah memotong
beberapa bagian tulisan. Saya seperti dokter amputasi ketika melakukan itu.
Membuang bagian tubuh yang membusuk dan akan berbahaya bagi tubuh. Apalagi ini
tulisan buah pikiran si penulis. Yang saya anggap anakanak ruhani, yang tak
bisa diperlakukan semenamena.
Tapi apa daya kalau misalnya anak yang lahir
justru kembar siam, saya mau tak mau membedahnya agar dapat selamat. Walaupun
saya bukan dokter, saya merasa harus melakukan itu.
Baiklah, intinya saya sedang menyukai pekerjaan
baru ini; mencari dan mengedit tulisan. Jadi jika ada yang mau menggantikan
posisi saya biarkanlah saya menikmatinya dulu sembari Kala sudah bisa bertahan.
Saya senang mengerjakannya, hitunghitung saya belajar di tiap akhir pekan.
Terakhir pekerjaan ini bisa dibilang dapat
dipakai sebagai gagahgagahan. Kalau suatu saat ada yang bertanya apa pekerjaan
saya, dengan bangga akan langsung dijawab redaktur. Redaktur mana? Kala, jawab
saya. Urusan setan dia mau cari tahu apa itu Kala. Apalagi kalau mengganggap
media harian. Pokoknya Kala. Sekaligus alternatif agar tidak menyebut
mahasiswa. Mahasiswa itu bukan pekerjaan Bung. Apalagi meyakininya sebagai
profesi. Saya capek mengisi biodata kalau menyebut pekerjaan mahasiswa.
Sekalikali bolehlah, redaktur mingguan Kala.