lukisan sialan

Kebiasaan ketika tulisan saya terbit di media cetak, saya cepatcepat membingkainya. Itu cara saya mengungkapkan kegembiraan. Hitunghitung ajang gagahgagahan. Terutama buat hiasan di dalam kamar.

Pernah suatu waktu ketika tulisan pertama terbit di media cetak, saya tidak sempat melihatnya. Nanti saya tahu ketika melihat langsung melalui versi onlinenya. Saat itu bahagia bukan main. Pertama kalinya tulisan saya dimuat.

Namun kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Saya ingin, waktu itu tulisan pertama di media cetak akan saya abadikan. Caranya ya digunting dan dibingkai. Tapi sayang, saya terlambat tahu. Koran yang memuat tulisan saya berlalu begitu saja. Saya tak sempat memilikinya.

Sampai akhirnya saya mencobanya kembali. Tulisan demi tulisan saya buat. Lembar per lembar saya kirim. Penolakan demi penolakan saya alami. Itu sering terjadi, namun ini wajar. Tapi saya tak ingin menyerah. Saya yakin suatu saat tulisan saya pasti dimuat. Ini hanya soal waktu.

Beberapa media cetak saya coba. Akhirnya suatu hari tanpa didugaduga tulisan saya nongol. Saya hapal betul gambar muka di kolom itu. Itu foto saya. Itu tulisan saya. Di kolom opini, dia nangkring dengan tulisan seseorang yang lain. Puki mak! Bahagia bukan kepalang. Rasanya bukan main.

Cepatcepat saya membelinya. Saya baca kembali. Saya senang walaupun ada beberapa perubahan oleh editor koran bersangkutan. Itu tidak berpengaruh. Saya masih punya hati yang berbungabunga. Hati yang dirundung pelangi.

Saya pulang menggunting dan membingkainya. Itu tulisan kedua saya yang pertama saya bingkai. Kali ini akhirnya tuntas keinginan saya. Puas hati saya. Walaupun bukan tulisan pertama, tapi tak apalah. Yang kedua juga spesial. Seperti saya, anak kedua.

Akhirnya makin sering saya mengirim tulisan. Alhamdulillah beberapa kali dimuat. Jadinya saya punya beberapa bingkai tulisan. Itu kebiasaan yang saya lakukan. Seperti saya bilang tadi untuk mengungkapkan kebahagiaan.

Makanya kalau di kamar, saya narsis sendiri. Memandang pajangan tulisan saya yang digantung. Senyamsenyum sendiri. Adik saya biasa kesal. Katanya kalau sudah banyak tidak usah dibingkai, cukup dikumpul saja dalam satu map. Tapi saya tetap bersikukuh, setiap terbit akan saya bingkai.

Sekarang kalau tulisan terbit, saya cukup menyimpannya saja. Tidak dibingkai lagi. Cukuplah beberapa saja dibingkai. Soalnya saya tidak pernah lagi mendapatkan bingkai. Selama ini bingkai yang saya pakai hasil rampasan dari temanteman. Lagian semua itu sudah cukup.

Hingga berbulanbulan saya tidak tinggal di kamar. Saya belakangan banyak nginap di bunker. Jadinya saya jarang pulang. Baru kali ini akhirnya saya berkesempatan pulang. Ini karena panglima besar datang dari Bulukumba. Tapi ketika di kamar, saya lihat beberapa tulisan saya dikudeta oleh buah tangan Fajar, adik saya. Dia senang melukis dan menggambar. Sekarang gambarnya yang dibingkai. Menutupi tulisan saya.

Justru sekarang dia yang gagahgahan. Dengan gambar sialannya itu.