kalau kala buat kitakita

Ini sudah Jumat. Dari kemarin saya sering membuka email. Tujuannya mau lihat apakah sudah ada tulisan masuk. Tapi, sampai detik sekarang, belum ada.

Minggu lalu di kelas menulis PI sudah dibilang kalau jelang akhir pekan kawankawan bisa diingatkan. Maksudnya, soal tulisan. Jadi bila redaksi kekosongan tulisan, ada kawankawan yang bisa mengisi.

Kala, sudah sering dibilang, adalah media kolektif. Kepunyaan jamaah kelas menulis PI. Dengan sendirinya kawankawan yang terlibat punya peluang tulisannya dimuat. Apalagi memang dikhususkan buat karya kawankawan. Jadi konsepnya gampang, kawankawan menulis, Kala punya banyak stok.

Cuman, saya pikir kawankawan bisa lupa. Makanya perlu diingatkan. Siapa tahu ada beberapa tulisan yang bisa dimuat. Sembari di satu hal kawankawan menyiapkan tulisan buak kelas menulis besok.

Kemarin sempat belum terang, soal jumlah kata yang dimuat Kala. Saya bilang Kala minimal menerima tulisan 500-700 kata. Bisa juga paling maksimal 900. Tapi, itu jika hanya menampung satu puisi.

Juga, selama ini Kala mengkhususkan tulisan genre esai dan prosa. Bukan berarti genre tulisan lain tidak diterima. Selama dua jenis ini masih ada, maka tulisan itulah yang dipakai Kala. Sikap Kala ini tidak dengan sendirinya memandang model tulisan lain jauh lebih tidak baik dari jenis tulisan lain.

Kala menaruh prinsip, genre esai dan prosa adalah dua jenis tulisan yang bisa memadukan unsurunsur sastra dan ilmiah dalam satu tulisan. Sebab itulah dua genre ini dikhususkan, bukan diutamakan. Makanya, sampai pekan keenam, Kala masih memadukan dua genre ini di setiap terbitannya.

Soal tema, Kala bebas menerima tajuk apapun. Tidak ada tendensi atas suatu wacana. Akan jauh lebih baik kalau suatu soal menyitir isuisu aktual. Berusaha memproblematisir menjadi tulisan. Misal kemarin, Kala sudah memulai dengan isu LGBT. Saya kira banyak problem yang bisa diangkat jadi karya tulis. Pintarpintarnya saja kawankawan mengolahnya dari sudut pandang tertentu.

Sembari menunggu tulisan masuk, di edisi enam, baru satu puisi yang siap Kala muat. Saya kira masih ada dua hari. Banyak waktu bagi penulis Kala mau mengirim tulisannya. Kita tunggu saja.

Omongomong soal Kala, media ini masih sangat muda. Juga sangat sederhana. Cetakannya saja masih pakai print manual, kemudian dicopy, diperbanyak. Karena itulah Kala masih menaruh perhatian kepada sistem jejaring. Di tangan kawankawanlah Kala berlipat ganda. Soalnya, dari cetakannya sendiri, Kala hanya mampu dibuat 10-15 eksemplar. Makanya, kawankawan sendirilah distributornya.

Kala, karena itu bukan apaapa kecuali kawankawan turut andil. Satu hal yang menjadi visi Kala semenjak pertama dirumuskan, Kala bisa merembes masuk di lingkungan akademik tertentu, terutama kampus. Tidak ingin kalah dari media jumat, kalau bisa Kala juga ada di pintu masuk masjidmasjid. Jadi bacaan alternatif. Tapi, kalau yang ini bukan target utama. Hanya becandaan saja.

Kalau mau serius, Kala harus bisa jadi pemantik. Ajang sikut dengan semacam semangat berwacana. Ukurannya yang cuman selembar tak bisa jadi bacaan utama. Tulisan di dalamnya hanya bisa sebagai catatan sederhana atas suatu tema. Prosa di dalamnya hanya bisa jadi pelepas penat kalau pembaca mau bacaan pinggiran. Kala hanya bisa memancing, bukan menyimpulkan.

Itulah mengapa, di Kala tak ada simpulan apa pun. Mana mungkin dengan format yang begitu sederhana, Kala beraniberani menyimpulkan suatu perkara. Esaiesainya saja hanya sampai 700 kata, tidak mungkin mengambil suatu sikap akhir menyimpulkan. Padahal mengambil kesimpulan adalah tindakan terakhir dari diskursus. Kalau berdiskursus berarti banyak tahap diskusi. Kala bukan media macam itu. Kala bukan jurnal.

Kala ibaratnya hanya korek api. Dia hanya jadi bagian kecil suatu jejaring yang lebih besar. Itupun kalau mau dianggap bagian. Soalnya Kala hanya ecekecek. Toh paling jauh, Kala bermanfaat di kalangan yang terbatas. Bisa jadi pemancing diskusi ringan kala akhir pekan. Bukan buat semua orang. Itu jauh dari harapan. Kala hanya untuk kitakita saja.

Radarada malu mau bilang Kala itu buletin. Sepengetahuan kami, buletin itu punya banyak pagina. Disusun banyak tema. Memuat banyak penulis. Bahkan ditunjang dengan diskursus tertentu. Kala, menurut saya lebih cocok disebut selebaran belaka. Paling banter minibuletin.

Tapi, kalau Kala disematkan visi dan semangat kolektif yang besar, saya kira Kala bisa jadi buletin. Saya yakin semangat itu manifes di setiap aksara kawankawan. Buktinya Kala sudah jalan jelang dua bulan. Walaupun masih tampak sederhana. Sungguh sederhana.

Satu hal yang bisa jadi bocoran, Kala itu selebaran yang rentan. Musim hujan begini jangan cobacoba membacanya di luar. Tintanya luntur. Maklum cetakannya belum berkualitas. Nanti saja itu disoalkan.

Di luar hujan malah tambah deras. Tak tahu kapan mau berhenti. Saya yakin, kawankawan banyak yang memilih tinggal di rumah. Banyak bisa dilakukan; mulai dari tidur panjang; menonton film favorit; membaca buku; mainmain gawai; atau memilih menulis. Yang terakhir saya kira jauh lebih baik. Terutama kalau itu untuk Kala. Kalau itu tulisan untuk kitakita.