Ini Kala. Buletin yang baru terbit dua
pekan. Sebenarnya agak berani menyebutnya buletin karena tampakannya sederhana.
Saya lebih ingin menyebutnya selebaran. Sebab memang dasarnya Kala hanya
lipatan dari selembar kertas. Hanya format tulisannya saja yang terbagi dua
secara horizontal.
Kala mengingatkan saya kepada
selebaranselebaran kertas di masa perjuangan dulu. Kepada makna itulah saya
ingin Kala diartikan. Selebaran yang punya maksud membangun perspektif
kemerdekaan. Yang bertujuan menyebarkan informasi kepada sesama pejuang.
Agaknya itu terlalu berlebihan.
Walaupun hari ini masa telah berganti rupa. Tidak ada lagi letusan peluru.
Bedil yang diacungacung. Meriam yang mengoyak rubuh. Bambu runcing yang
melubangi tubuh. Hari ini masa yang berbeda. Orangorang lebih ingin mengangkat gawainya
daripada ikut berperang.
Tapi saya kira orangorang yang merintis
Kala berbeda. Mereka punya sudut pandang lain. Peperangan boleh berakhir, tapi
pertempuran masih saja tetap terasa. Itulah mengapa perlu alat perjuangan.
Bukan bedil, tapi media tulis.
Dari
situ Kala lahir. Agar suarasuara tidak bergerak di tempat. Sejak kelas literasi
bergulir, baru kali ini media tulis mirip pamflet ini coba dihadirkan. Karena
itulah baru dua kali Kala terbit. Tapi semangat kami besar, bukan dua, tapi
seribu edisi. Begitulah semangat kadang menggebugebu.
Kala diniatkan juga bisa menampung
tulisan kawan peserta kelas literasi Paradigma institue. Menurut kami, penting
membuat wadah bagi kawankawan peserta agar lebih giat menulis. Kalau dianggap
layak berdasarkan standar Kala, tak ada salahnya dimuat. Sekaligus ini ajang
belajar bagi tulisan yang ingin dilempar ke publik yang lebih luas.
Kala dikelola manual. Tidak ada alat
cetak khusus. Yang dipakai hanya mesin print seadanya. Itupun tintanya malah
sering mampet dan berwarna merah. Jadi bukan kesengajaan kalau tintanya
berwarna merah. Ini tidak ada sangkutpautnya dengan organ komunis manapun.
Begitu juga dengan tanda bintang sebelum kata Kala, itu hanya aksesoris. Toh
kalau disebut punya hubungan dengan organ kayak komunis, itupun beberapa
anggotanya yang pernah nimbrung di organ kiri.
Diterbitan perdana Kala diisi dua
tulisan. Pertama dari Sulhan
Yusuf, judulnya Bersua Seno Gumira Ajidharma. Kedua tulisan saya sendiri di
bawah tajuk Menulis itu Dua Hal. Kemarin terbitan kedua, Muchniart Azsebagai penulis
dengan cerpennya Rinduku dan Bulir-Bulir Padi. Muhajir Ajir dengan
esainya: Menggeledah Ruang, Mengintip Kekuasaan.
Diterbitan kedua, Putri Reski Ananda menyumbangkan
beberapa syair dari blognya. Laila Majnun dan Pengikut Cinta, dua puisi yang ia
iyakan untuk dipakai kali ini. Selebihnya bisa dibaca langsung. Entah kalian
bisa mendapatkannya dari mana. Yang kami ingin, Kala bisa digandakan siapa pun.
Hitunghitung ongkos produksi yang terbatas.
Kala barangkali tak punya arti apaapa bagi banyak orang. Bahkan barangkali akan dianggap sampah. Itu wajar karena mereka musuh pencerahan. Orangorang kontraproduktif. Yang seperti ini lebih baik mati saja. Mereka tidak sadar Indonesia justru merdeka salah satunya karena selebaran seperti ini. Panjang umur perjuangan. Panjang umur literasi.
Kala barangkali tak punya arti apaapa bagi banyak orang. Bahkan barangkali akan dianggap sampah. Itu wajar karena mereka musuh pencerahan. Orangorang kontraproduktif. Yang seperti ini lebih baik mati saja. Mereka tidak sadar Indonesia justru merdeka salah satunya karena selebaran seperti ini. Panjang umur perjuangan. Panjang umur literasi.