Bahasa dibilangkan lebih dibentuk atas dasar pembedaan.
Maksudnya tak ada kaitan semantik antara “ayam” dengan maknanya sebagai hewan
berkokok berkaki dua. Tak ada hubungan inheren antara “ayah” dengan artinya
sebagai lelaki yang memiliki anak. Kata “ayah” hanya bisa terpahami jika
dibedakan dengan “ayam.” Ini dinamai prinsip difference oleh
Ferdinand de Sausurre,
seorang scholar bahasa. Juga, dakunya, hubungan antara makna dengan bahasa
justru bersifat semenamena. Jadi kata “sedekah” yang didalilkan untuk merujuk
suatu iktikad baik menyumbangkan sebagian harta, hanya arti yang ditempatkan
begitu saja sebagai maknanya. Bisa saja besokbesok, “korupsi” memiliki makna
yang menggamit/sama dengan arti dari kata sedekah.
Kata “ayat”, “sayat”, “mayat”, “dayat”, dengan begitu tak
memiliki arti yang tetap, karena prinsip pembedaan dan kesemenamenaan, arti
“ayat”, “sayat” bisa digontaganti tergantung pengguna bahasa. Makna keduanya
bisa ditukarkan satu sama lain, seperti juga pada kata “mayat” menerima arti
makna “dayat”. Sehingga kalau disusun dalam “mayat dayat di sayat ayat” akan
sulit menemukan suatu
arti lengkap dari penggabungan kalimat demikian. Apabila ditinjau dari
hubungan sintagmatiknya, makna kalimat itu akan mengalami gangguan jika hubungan
semantik di dalamnya telah berubah akibat prinsip pembedaan dan kesemenamenaan.
Dalam kasus ini, makna suatu bahasa akan sulit dipahami kalau hubungan semantik
dan sintagmatiknya tidak defenitif secara maknawi.
Sulit kiranya menemukan penggunaan bahasa yang setiap
waktunya mengalami perubahan secara semantik. Komunikasi menjadi simpang siur
akibat pemaknaan yang berubahubah. Bahkan secara sintagmatik, suatu tatanan
bahasa tak akan mungkin memberikan arti tertentu apabila hubungan semantik
antara kata dengan maknanya tidak stabil. Makanya perlu ada semacam kesepakatan
untuk menyetujui “bangku” berarti tempat duduk, bukan tubuh yang terlantar
sebagai arti dari “bangkai”. Kalau makna “bangkai” tertukar dengan arti kata
“bangku”, bayangkan bagaimana kita akan menggunakannya dalam kehidupan
seharihari. Ketika orang mengatakan “silakan duduk di bangku yang disediakan”
bisa jadi orangorang enggan melakukannya lantaran menyangka yang dimaksud
adalah “silakan duduk di mayat yang disediakan”.
Tapi dipikiran saya,
apakah memang ada hubungan semantis antara term “word”, “work”, dan “word”.
Tentu ini tidak dilihat dari kesamaan bunyi belaka, melainkan kalau ditilik
dari makna yang dikandung, bisa saja memang sedari awal ketiga term ini dimulai
dari satu pengalaman yang sama. Atau bisa saja, memang tak ada hubungan apaapa
diantara kata yang dimaksud. Dengan kata lain, kesamaan bunyi di antaranya
hanya kebetulan belaka.
Kalau melihat asalusulnya,
terkadang suatu kata mendapatkan maknanya dari suatu peristiwa yang
mendahuluinya. Kata “bom” misalnya, disebut bom karena suara yang dikeluarkan
dari sesuatu benda yang meledak. “Tokek” disebut tokek karena diambil dari
suara yang dikeluarkan hewan yang menyerupai cecak. Begitu pula “cecak” itu
sendiri diambil sebagai nama dari bunyi yang dikeluarkan hewan yang merayap di
dinding. Dari “bom”, “tokek”, dan “cecak” adalah beberapa kata yang diambil
dari bebunyian sebagai namanya.
Bagi namanama semisal hewan
akan mudah kita temukan hubungan bunyi dengan kata itu sendiri sebagai dasar
penamaan. “Jangkrik” binatang malam yang sering mengeluarkan bunyi krik, krik,
krik, diambil dari bunyinya sebagai nama untuk membedakannya dengan kecoa. Sama
halnya hubungan antara suara mengembik dengan kambing sebagai namanya. Namun
bukan saja hubungan antara bunyi, kaitan antara peristiwa alam juga
sering menjadi latar belakang dinamakannya sesuatu. Nama Subhan misalnya
diambil atas terjadinya peristiwa awal pagi bagi anak yang lahir diwaktu fajar.
Atau kata “fajar” itu sendiri yang dipakai untuk menandai seseorang yang memang
lahir di waktu yang sama sebagai namanya.
Bisa dibilang makna suatu
kata tidak sendirinya dikandung dari kata itu sendiri. “Panas” misalnya, tidak
dengan sendirinya mengandung hawa 100 derajat celcius di dalam katanya.
Maksudnya, makna panas itu sendiri hanya dipahami bukan dari kata “panas”,
melainkan “suatu peristiwa” yang ditangkap di dalam pemikiran kita. Atau
secara semantik makna kata “panas” hanya bisa ditemukan kepada “wujud luar”
yang mengalami titik didih 100 derajat celcius. Sehingga hubungan antara kata
“panas”, “peristiwa dalam pikiran”, dan “wujud luar” yang mengalami titik didih
100 C, yang membentuk suatu makna.
Kata sabotase dalam bahasa
Inggris, dalam sejarahnya diambil dari peristiwa buruh Inggris yang bergerak
protes atas kontrak yang tidak memberikan waktu istirahat yang diinginkan. Kata
sabotage merujuk pada sepatu boot buruh Inggris yang dimasukkan beramairamai
untuk menghentikan aktivitas mesin pabrik melalui corongcorong uap mesin.
Dengan tujuan membuat mesin berhenti bekerja, situasi akhirnya berubah dengan
waktu kosong yang dipunyai untuk beristirahat. Mulai saat itu aksi berupa
memasukan sepatu boot disebut sabotage. Hingga hari ini kata sabotase dipakai
untuk menunjuk suatu tindakan yang bertujuan mengganggu suatu sistem bekerja.
Sekarang apa kiranya kaitan
antara word, work, dan world. Apakah ketiga kata ini berasal dari satu
peristiwa yang sama. Misalnya, word dalam tingkatan tertentu berarti juga work.
Sementara work yang berarti mengelolah, meramasramas, mengusahakan, pada arti
lainnya bisa berarti world. Mungkin ini agak terkesan mengadangada, tapi dalam
satu rangkaian proses tertentu ketiga kata ini memiliki relasi yang sama.
Seorang penulis, bisa mengafirmasi ketiga kata ini dalam usahanya membangun
suatu rangkaian kerja. Word yang merupakan bahan kerja penulis, sesuatu yang ia
tata, diusahakan dalam rangkaian work yang merupakan bentuk kerja darinya yakni
menulis. Sementara dari hasil word (tulisannya) dia membangun suatu dunia
pemaknaan.
Artinya, tanpa berkesimpulan, word, work, dan world punya persamaan dunia. Dengan kata lain ketiga kata ini bisa jadi berangkat dari satu peristiwa yang sama. Tapi jika kita mengandaikan bahwa prinsip kata selalu didasarkan kepada prinsip perbedaan, maka kemungkinan semacam di atas tak dapat diterima. Sampai di sini, saya kira jika kita mau kembali ke asalusul bagaimana dunia (simbol) kita terbentuk, maka mau tak mau kita harus kembali melihat seperti apa dunia pertama kali diucapkan dengan sistem kata yang kita punyai. Ini berarti kita harus menengok bagaimana kata itu pertama kali dipakai untuk menyebut dunia.
Artinya, tanpa berkesimpulan, word, work, dan world punya persamaan dunia. Dengan kata lain ketiga kata ini bisa jadi berangkat dari satu peristiwa yang sama. Tapi jika kita mengandaikan bahwa prinsip kata selalu didasarkan kepada prinsip perbedaan, maka kemungkinan semacam di atas tak dapat diterima. Sampai di sini, saya kira jika kita mau kembali ke asalusul bagaimana dunia (simbol) kita terbentuk, maka mau tak mau kita harus kembali melihat seperti apa dunia pertama kali diucapkan dengan sistem kata yang kita punyai. Ini berarti kita harus menengok bagaimana kata itu pertama kali dipakai untuk menyebut dunia.