yang gagal dari gadis di bangku taman

Pertama, sebuah karya sastra, terutama cerpen adalah cerita yang menggambarkan suatu alur latar belakang. Terutama “sejarah” tokohnya. Banyak saya dapati, setiap cerpenis mengolah latar belakang tokohnya dari deskripsi ceritanya itu sendiri. Bahkan melalui dialog tokoh di dalamnya, pembaca secara pelanpelan mengetahui seperti apa karakter, pembawaan, sampai struktur masyarakat yang melingkupinya. Cerpencerpen Putu Wijaya, misalnya, sering memperlihatkan latar belakang tokohnya dari dialogdialog yang dilakukan tokohnya itu sendiri.

Bahkan suatu sejarah dapat diketahui berdasarkan nama tokohnya itu sendiri. Nama Minke yang digunakan Pramoedya di dalam tetralogi buruhnya, bukanlah suatu kebetulan belaka. Melalui nama yang dipakainya, Pram ingin menunjukkan suatu ragam persoalan bangsa yang dikenali dari kesalahan penyebutan nama. Bagi pembaca tetralogi buruh, pasti akan mendapatkan kesan yang implisit bahwa nama Minke adalah kesalahan pendengaran Minke sendiri dari sebutan yang disematkan kepadanya yang arti sebenarnya merujuk kepada Monkey sebagai kata yang sebenarnya.

Pram ingin bilang, melalui Minke, bahwa suatu kesadaran kebangsaan yang menolak tunduk atas gaya penjajahan tertentu di mulai dari penyelesaian atas nama yang salah. Ini mirip bagaimana teoriteori poskolonial menyadarkan manusia bahwa kesadaran atas diri bukan melalui negara bekas penjajahnya, melainkan ditemukan dari dalam bangsa itu sendiri. Artinya, Minke ketika ingin memulai suatu kesadaran baru, harus menyadari untuk keluar dari penyematan yang salah terhadapnya.

Ketika memulai membaca Gadis di Bangku Taman karya Muhajir, kekosongan yang pertama adalah ketidakberanian penulisnya dalam memberikan nama pada tokohnya. Kesalahan ini begitu fundamental karena tanpa nama, pembaca akan gagal memahami suatu karakter tokoh. Apalagi novel yang hanya dipusatkan pada si lakilaki, tidak dengan gamblang memberikan suatu gambaran selain hanya ia sebagai anak seorang ibu yang memiliki kucing yang sekaligus pengangguran.

Tidak diberikannya nama kepada tokoh cerita, menandakan Muhajir adalah orang yang gagal menghidupkan karakter tokohnya. Saya percaya, pengarang yang baik adalah pengarang yang telah siap dengan karakter tokohnya beserta bubuhan namanya. Sebab nama, seperti saya bilang adalah penanda suatu struktur kehidupan yang dari itu pembaca dapat masuk lebih jauh untuk mengenal sang tokoh. Kesalahan elementer yang di alami Muhajir ini, akhirnya memiliki dampak yang fundamental kepada keseluruhan isi ceritanya.

Hal yang sama juga terjadi pada si gadis. Seperti yang terjadi pada sang lelaki, tak ada riwayat sedikitpun yang diuraikan penulis untuk menghidupkan sang tokoh perempuan. Nama, di dalam cerpen ini adalah unsur penting yang tidak dimiliki sebagai pembangun suasana tokohtokohnya. Sang gadis yang disebut di dalam judul, hanya seperti orang tanpa identitas yang tak jelas asal muasalnya. Bahkan untuk menerka seperti apa karakternya, pembaca akan sulit menelusurinya. Di sini, adagium apalah arti sebuah nama tak bisa diajukan sebagai pembelaan bagi penulisnya.


Kedua, di saat menandai cerpennya dengan judul Gadis di Bangku Taman, pembaca akan tergerak kepada suatu tempat yang penuh bungabunga, kupukupu, tanah rerumputan, kicauan burung, pepohonan hijau, kolam kecil dengan air mancurnya, serta beragam simbolsimbol yang terkait dengan taman. Namun, tidak satupun semua itu akan ditemukan dari cerita berlatar taman ini. Toh kalau ada penanda bahwa si gadis betulbetul berada di taman adalah tangkai pohon mangga yang dipakai si lelaki saat mengusir kucing yang disebut Muhajir korengan. Itupun penggunaan tangkai mangga hanya dipakai sebagai intrumen bagi akitivitas si lakilaki di saat menggoda sang wanita.

Begitu pula yang mengherankan, keberadaan kucing korengan yang ada begitu saja di samping sang gadis. Bagi saya, keberadaan kucing korengan justru mengganggu suasana taman yang dihadirkan Muhajir. Kehadiran kucing korengan juga membuat tanda tanya bagi pembaca, taman kota macam apa yang dimaksudkan Muhajir sebenarnya. Kucing korengan jelas penanda yang eksplisit yang membuyarkan kemasukakalan bahwa kejadian pertemuan itu terjadi di taman kota.

Kegagalan dari konteks ini, penulis tidak berhasil menghidupkan suasana taman yang menjadi medan pertemuan tokoh berlangsung. Padahal salah satu indikator keberhasilan cerpen adalah kemampuannya membangun “kerangka ruang” yang hidup di dalam ceritanya. Muhajir, dari perspektif ini tidak mampu menghidupkan suasana ceritanya, terutama untuk mendesain interior taman dalam ceritanya, dengan sarana simbolsimbol semacam bunga, warnawarni, daun, rerumputan, dan sebagainya.

Sejauh ini, penandaan yang kosong untuk merujuk kepada taman, menyebabkan cerita bisa saja berganti setting di mana pertemuan antara si lelaki dan si gadis terjadi. Dengan kata lain, taman bukanlah hal yang penting dalam cerita yang ditulis Muhajir. Satusatunya yang menguatkan bahwa pertemuan itu digambarkan terjadi di taman adalah hanya pada judulnya saja. Selebihnya cerita hanya terfokus kepada si lelaki yang mengantarkan pembaca kepada keberadaan sang gadis.

Ketiga, dialog. Banyak cerpenis sering kali menyusun dialog yang didasarkan pada pengalaman kenyataan. Dialog biar bagaimana pun adalah salah satu unsur cerita yang bisa dipakai untuk mengajak pembaca memahami apa yang sedang terjadi. Kalau boleh dibilang, justru dialog adalah cara cerpenis menunjukkan watak orangorang, keadaan sosial, maupun pandangan dunia tertentu, yang dijadikan sebagai ruang refleksi pembaca. Melalui dialog tokohnyalah, pengarang mengajak pembaca untuk bersamasama berpikir dan bermenung tentang keadaan yang sedang di hadapi. Syahdan, melalui dialog cerita, pengarang juga membangun dialog pembaca dengan kehidupannya.

Sementara dalam Gadis di Bangku Taman, dialog yang disusun Muhajir adalah dialog yang justru ganjil. Penyematan dua nama filsuf membuat dialog antara si lelaki dan si gadis menjadi dibuatbuat. Saya tidak sepakat dengan seorang komentator di lini masa facebook yang menyebut itu pilihan yang tepat. Bagi saya, pencatutan perkataan salah satu filsuf yang dikutip adalah kesengajaan yang dipakai secara terpaksa untuk memberikan deskripsi bahwa sang lakilaki menyenangi hal ihwal yang berbau filosofis.

Penceritaan di saat sang gadis mengkoreksi kesalahan si lelaki menyebut nama filsuf, mengindikasikan keganjilan yang lain. Sang gadis, di dalam cerita itu tak pernah digambarkan sedikitpun sebagai perempuan yang pernah bersentuhan dengan filsafat. Walaupun itu mungkin saja terjadi bagi perempuan manapun, tetapi bagi si gadis yang tibatiba membenarkan kesalahan sang lelaki menyebut nama filsuf adalah suatu keganjilan yang paling terang.

Walaupun begitu, dialog yang terjadi memberikan suatu gambaran penghubung antara gadis dan si lelaki agar tidak terkesan kaku. Hal ini ditunjukkan Muhajir dari yang disebutnya percakapan cair yang telah menyentuh segala hal tanpa menyertakan durasi berapa lama percakapan itu terjadi. Tapi tetap saja, hal itu menjadi siasia karena dari dialog yang terjadi, terkesan malah kecenderungan penulis yang muncul dari perbincangan tokohnya. Hal ini akibat dari kegagalan pertama sebab tidak mampu menciptakan karakter tokohnya dari awal, termasuk penggunaan nama. Akibatnya, justru karakter Muhajirlah yang mendominasi sang tokoh dengan kecenderungan filsafatnya.

Terakhir, unsur konflik. Jika ada konflik dalam cerita ini, itu hanya ditampakkan penulis dari pertikaian sang lelaki dengan ibunya melalui seekor kucing. Persitegangan ini nampaknya kurang dipahami penulis karena ditempatkan di awal cerita. Akan jauh lebih baik jika konflik yang terjadi disisipkan di bagian tengah sebagai inti cerita. Malah dalam cerpen ini, konflik yang terjadi hanya sisipan belaka yang tidak terjadi dari dua tokoh utama yakni sang lelaki dan sang gadis. Sehingga kesan dari cerita ini kurang proporsional dalam mengolah konflik. Dari hal ini sepertinya penulis lupa bahwa konflik di dalam cerita menjadi unsur yang penting bagi seorang pembaca.

Alhasil, walaupun ditutup dengan ending yang lumayan tak didugaduga, cerpen ini adalah cerita yang seolaholah hanya menginginkan suatu peristiwa berlangsung begitu saja. Padahal jika melihat dari akhir cerita yang menunjukkan nasib sang gadis yang ditinggal pergi kekasihnya, pada bagian ini jauh lebih baik menjadi olahan penulis dalam merekonstruksi ceritanya. Semua pembaca sastra pasti akan terpikat bila sebuah cerita memasukkan unsurunsur cinta di dalamnya. Terlepas dari itu semua, cerpen ini tidak ada salahnya di baca dengan segala konsekusensinya. Terutama di saat kita harus mengapresiasi keberanian Muhajir membangun cerita.