Saya punya pikiran aneh bahwa seorang penulis
itu sebenarnya adalah orang yang sakit. Pikirannya selalu menjadi musuh
terbesarnya untuk ditaklukkan. Musababnya, di dalam kepala seorang penulis, dia
selalu memelihara dua hal: benci sekaligus cinta. Dengan benci dia menulis.
Melalui cinta dia bertahan dengan katakata yang minim.
Jadi sebenarnya seorang penulis itu adalah
orang yang malang. Kepalanya penuh dengan bibit penyakit yang dibawanya tiap
saat. Penyakit itulah musuhnya, sekaligus di dalamnya mengandung obat
penawarnya; cinta itu tadi.
Makanya seorang penulis dengan sendirinya
adalah orang yang kuat sekaligus lemah. Dia mudah tersentuh, itulah
kelemahannya. Dia kuat karena selalu menanggung beban derita.
Saya juga menduga, sang penulis sejatinya
adalah seorang yang sepi. Bahkan dari ini saya berkeyakinan bahwa karakter
penulis yang sebenarnya adalah orang yang introvert. Dia selalu menyenangi
sudut sempit kesepian. Atau senang merayakan kesunyian. Makanya itu kenapa
menurut saya, seorang penulis memiliki teman yang sedikit, tapi mempunyai
sahabat yang setia.
Orhan Pamuk setidaknya contoh yang paling jujur bagaimana penulis
menjadi orang yang bisa hidup berlamalama di dalam pojok kesunyian. Selama
delapan tahun ia mengurung diri di perpustakaan keluarganya hanya untuk
menemukan ilham seorang penulis. Dan kita tahu, dari titik gelap bergelut
dengan bukubuku, Orhan Pamuk menjadi salah satu sastrawan besar.
Orhan Pamuk, saya pikir betulbetul mengerti
apa arti kesunyian bagi terang ilham seorang penulis.
Untuk itu, dari sudut ini, saya berani
menimbangnimbang bahwa seorang penulis memiliki kelebihan di bawah satu tingkat
seorang rasul. Musababnya sederhana belaka, selayaknya rasul, sang penulis mau
bersetia di dalam peristiwa kesunyian. Dia mau berkawan dengan kesunyian dan
menjadi nabi bagi karya tulisnya.
Ali Syariati juga saya pikir adalah contoh yang bisa diajukan bagi
kasus ini. Terutama ketika dia mengalami keterasingan dari dirinya sendiri. Ali
Syariati bukan seperti yang diduga Marx yang mengalami penjarakan antara
dirinya dengan barangbarang produksi dan masyarakatnya, melainkan dia terasing
justru dari sesuatu yang intim bahkan dari dirinya itu sendiri; kesadarannya.
Keterasingan Ali Syariati saya yakin adalah keterasingan yang juga banyak dialami oleh hampir sebagian
penulis. Bahkan apa yang dialami Ali Syariati masih kurang dibandingkan dengan
penulispenulis yang memilih bunuh diri akibat keterasingan yang menganga di
dalam batinnya.
Ernest Hemingway adalah nama besar yang kita
ketahui mengalami peristiwa yang sulit diterima akal sehat. Ia menderita dan
kemudian mati dengan cara mengedor kepalanya. Dia meninggal dan karyanya
menjadi umur panjang bagi usia Hemingway yang harus berhenti.
Ali Syariati dan Ernest Hemingway adalah
tipikal penulis yang mengandung keresahannya dengan dua cara yang berbeda. Ali
Syariati menemukannya di dalam cinta, tetapi Hemingway saya tak tahu.
Cinta memang kekuatan yang mendesak. Itulah
yang menyebabkan Ali Syariati dapat keluar dari kerisauan akutnya. Melalui sajaksajak
Jalaluddin Rumi, Ali Syariati menemukan kekuatan cinta yang dimaksud. Saya tak
tahu apa yang bersemayam di kepala dan pusat batin ideolog Iran itu saat
membaca teksteks Rumi. Yang saya duga, saat itu Ali Syariati tidak sedang
membaca teks, justru dia membaca kenyataan.
Itulah yang membuat Ali Syariati selamat dari
rongrongan kegalauan batinnya. Dari kenyataan yang vulgar dari teksteks Rumi,
dia bisa jadi menemukan kekuatan yang paling purba dimiliki manusia; pasrah
menerima dan mau membaca kenyataan.
Kemampuan inilah yang kuat dimiliki seorang
penulis. Pasrah dan mau membaca kenyataan. Bukan teks. Itulah kenapa seorang
penulis saya percayai sebagai seorang yang sakit. Sebab kenyataan itu adalah
derita. Bahkan penderiaan adalah hakikat kenyataan itu sendiri. Dari sini saya
bisa tahu, betapa bahagianya seorang penulis ketika menyungging senyum pasca
aksaranya lahir. Tapi banyak yang tak tahu, bahwa di belakang itu ada hati dan
pikiran yang menanggung kesakitan bertubitubi. Dia rela menampung dan mengerami
kesakitannya demi melahirkan anakanak idenya.
Sebab itulah saya heran bila ada penulis yang
membenci aksaranya. Pasalnya yang ia benci sejatinya adalah anak rahim
pikirannya. Walaupun itu bukan disebut sebagai anak jadah, karena tulisan yang
lahir dari rahim pikiran tak mengenal haram atau tidak. Toh kalau kita mau
menyebut itu anakanak pikiran, yang bisa berlaku adalah sempurna tidakkah ia
mengalami perkembangan. Baik tidakkah kita merawatnya.
Seorang penulis pasti tahu aktivitas yang
mirip ibu itu. Setelah ia mengalami kesakitan, mengandung, dan melahirkan anak
idenya, sebagaimana di dalam rahim, seorang penulis tidak berhenti merawat
tulisannya. Dia harus menjaga tumbuh berkembanga tulisannya. Termasuk dalam hal
ini adalah usaha editing yang dilakukan pasca penulisan. Aktivitas literasi
semacam ini akhirnya membuat saya paham bahwa anak tulisan tidak dengan
sendirinya sempurna, melainkan bertahap setingkat demi tingkat.
Makanya saya mulai berpikir kembali bahwa
kematian seorang penulis adalah konsekuensi inheren ketika suatu karya selesai
dituliskan, bisa diterima. Bahkan mau menyebut eksistensi penulis mati ketika
tulisan telah menjadi kabar di hadapan publik. Asal usulnya jelas, penulis
harus mengambil peran ibu untuk mendampingi tulisannya. Dia tidak layak
melepaskan anaknya tumbuh berkembang dengan sendirinya. Untuk itulah sang
penulis hadir secara berdampingan dengan tulisannya. Sampai kapanpun.
Melihat penulis harus berkerja dengan
demikian, maka saya semakin yakin bahwa penulis adalah kutukan abadi bagi
penderitanya. Pertama dia akan menjadi seorang pesakitan lantaran mengandung
bibit benci dan cinta. Kedua dia harus rela terus menerus menjaga anakanaknya
tumbuh besar. Ya!! Seorang penulis adalah sorang sakit yang mengandung
anakanaknya lahir.