Langsung ke konten utama

menulis kejujuran

Saya merasa heran bagaimana orang dapat menulis dari kebohongan. Saya menduga semua tulisan harus bertumpu pada satu kenyataan tertentu. Lantas apakah tulisan yang berasal dari kejadian yang mengadangada dapat disebut tulisan yang jujur? Bahkan apakah memang dalam menulis perlu juga nilai kejujuran sebagaimana yang dibutuhkan dalam kenyataan.

Saya merasa banyak orang yang bisa menulis apapun, tapi sangat jarang yang mau berkata jujur. Hal ini begitu lumrah di sekeliling kita. Semenjak tulisan menjadi salah satu sumber warta, penulis dituntut seperti rasul dalam menyampaikan kabar. Di mediamedia, tugas ini begitu utama, yakni wartawan yang memiliki kewajiban meneruskan hasil inderanya ke hadapan pembaca.

Tapi, semenjak dunia telah begitu terhubung antara satu dengan lain akibat kemajuan teknologi informasi, semua orang bisa menjadi pewarta berita. Di satu sisi, hal ini meluaskan kerjakerja pewarta dengan daya jangkau yang sulit dicapai sebelumnya. Namun di saat yang bersamaan, justru  karena itu akhirnya suatu kabar akan sulit dikendalikan.

Di saat itulah suatu kabar kehilangan legitimasinya. Orangorang bakal sulit mencari suatu bentuk pertanggungjawaban atas kebenaran informasi. Bahkan suatu kabar yang rancu bisa dibenarkan karena kecepatan penyebarannya.


Itu semua karena semua orang bisa bersuara tanpa mempertimbangkan kaidahkaidah penulisan apalagi prinsipprinsip jurnalisme. Mendadak ada semacam dorongan moral untuk menyampaikan berita walaupun itu tidak melewati suatu pengalaman jurnalistik. Apalagi itu dalam konteks dunia maya yang menjadi medan baru penyebaran informasi.

Hal yang sama juga di alami oleh cendikia mudamudi yang banyak bermunculan. Berubahnya medan pemberitaan mendorong netizen berpendidikan dapat masuk mengambil bagian atas dunia yang selama ini hanya dikuasai oleh pewarta berita. Latar belakang pendidikan yang semakin terbuka mendorong netizen bisa memanfaatkan perangkatperangkat teknologi untuk berperan serta dari berubahnya medan informasi. Sehingga arus informasi yang selama ini cenderung monolit akhirnya bisa dipecahkan dengan kreatifitas yang dimiliki netizen mudamudi.


Kemunculan website pribadi, komunitas dunia maya, blogblog dan semacamnya adalah titik kecil yang berdampak besar terhadap massifnya informasi. Hanya saja, sebagaimana ketiadaan metode penulisan yang baik, apalagi tanpa disertai kemampuan jurnalisme yang mumpuni, suatu informasi menjadi tanggung dan dangkal. Ini banyak saya dapati dari banyaknya situssitus pribadi semacam blog yang miskin metode.

Saya tak ingin mengatakan bahwa kemunculan situssitus pribadi ataupun komunitas dapat mengancam kejernihan berita, tapi mesti diingat bahwa suatu informasi yang bakal disebarkan ke publik harus memerhatikan kewajibankewajiban jurnalisme dan kepenulisan. Apalagi berbicara hakhak publik, suatu sajian informasi harus mempertimbaangkan soalsoal yang banyak menyentuh hak informasi yang dimiliki publik.

Tepat disitulah seorang pewarta, entah penulis misalnya, harus dapat jujur dalan menyampaikan gagasannya. Bukan dengan kemauan yang kuat dalam menyampaikan ide informasi tanpa memperhatikan muatan yang ditulisnya. Setidaknya seorang penulis tidak jatuh ke dalam nada heroisme dan melankolia karena dua hal ini dapat membuat suatu berita menjadi mengadangada. Apalagi ingin memaksakan suatu berita dengan bahasa yang sastrawi.

Kecenderungan terakhir ini telah menjadi alternatif baru dari suatu gaya penulisan entah berita ataupun tulisan. Namun bukan berarti suatu tulisan harus seakanakan sastrawi sehingga ingin dikatakan tulisan yang baik. Dan juga ketika itu hanya suatu tulisan yang berbahasa sastrawi dengan gagasangagasan yang klise.

Tentu penulis harus menyadari bahwa publik membutuhkan sesuatu yang baru lebih dari informasiinformasi sebelumnya. Namun harus diingat, bukan berarti untuk tujuan itu seorang penulis menuliskan kebohongan di atas kertasnya.

Saya tidak menyebut hal ini berlaku pada para pengarang cerita. Kepada mereka kata pengarang sudah bisa menjelaskan maksud dari profesi si pembuat cerita. Apalagi nilai cerita yang sering menjadi perhatian utama dari mereka memang banyak menimba denyut pengalaman manusia. Artinya toh kalau mereka berkata yang tidaktidak, itu sudah dijelaskan semenjak kita katakan mereka sebagai pengarang. Ya namanya pengarang, pekerjaan di dua batas daerah abuabu. Imajinasi dan realisasi.

Sehingga bagi penulis yang punya niat untuk menyampaikan gagasangagasannya, mesti diingat agar selalu bertolaklah dari yang anda saksikan. Karena hanya dengan itulah suatu tulisan dapat berbuat jujur. Sehingga tulisan dapat dikatakan baik ketika ia dapat mereplika karakter penulisnya. Namun itu tidak berlaku bagi semua. Apalagi yang tidak bijak dan bajik. Yang tidak jujur. Bahkan penulis yang mengumbar romantisme.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...