Literasi Berbasis Kelas

Masihkah marxisme dibutuhkan? Entahlah. Pertanyaan ini saya pikir sudah pernah diajukan intelektual kiri manapun. Tapi, saya merasa duduk bersama adikadik mahasiswa ini, membuat gairah baru tentang marxisme.

Sore ini jelang magrib yang datang, kami mengakhiri perbincangan tentang marxisme. Kami tak tahu betul apa gunanya membincang marxisme dari apatisme mahasiswa. Namun, kami belajar berkomitmen, mereka datang menyediakan segelas kopi dan forum, dan saya datang membawa serpihserpih ingatan tentang Marx dan pikirannya.

Hari ini pertemuan kedua. Kami menghabiskan waktu hampir dua jam di kantin yang ditinggal libur mahasiswa. Seperti biasa saya membawa paper untuk melengkapi diskusi. Kali ini untuk menjaga agar tidak kesanakemari, persentase saya niatkan berdasarkan tulisan yang saya sediakan.

Mustahil meringkas kebesaran pemikiran Marx dalam dua jam. Tapi, dialog tetap berlanjut. Dua jam membahas pengantar, dan tiga hari pertemuan lanjutan yang masih tersisa. Kedepan kami bersepakat, masih bertemu di tempat yang sama, tentu dengan beberapa gelas kopi yang disuguh.

Pertemuan ini tak mungkin terlaksana tanpa Aam Ahmad, mahasiswa antropologi yang seringkali datang lebih awal. Dia juga yang kerap mengorbankan pulsanya untuk menghubungi kawankawannya yang lain. Yunasri Ridho yang kerap menghubungi saya untuk mengingatkan jadwal diskusi. Dia mahasiswa pendidikan kewarganegaraan yang memiliki bakat menentang pancasila. Kali ini dia tak datang, padahal dia sering menginisiasi pertemuan macam begini. Info yang saya dapat dia pergi mengikuti kuliah umum di daerah jauh dari kota.

Kemudian ada Herman dan Adiyat, dua mahasiswa yang setia nongkrong berlamalama di dalam kampus. Akhirakhir ini saya sangat jarang bertemu mahasiswa macam mereka. Yang mau hidup a la proletar tanpa makanan berjamjam. Mereka tipe mahasiwa yang bisa lama berbicara kalau sudah menghidu asap rokok. Juga mereka selalu punya pertanyaanpertanyaan canggih kalau diskusi.

Sebelumnya sudah ada Heri Sitakka dan Hirdjayadi. Heri ini adalah komando salah satu organisasi intra di kampus orange. Semangatnya membuat programprogram kajian seringkali mempertemukan saya sebagai pembicaranya. Hirdjayadi adalah senior Adiyat, dia mahasiswa angkatan tua entah semester berapa. Saya curiga dia berlamalama dikampus karena masih betah dengan suasana kebebasan kampus. Makanya dia begitu bebas menetukan nasibnya di kampus.

Yang terakhir Muh. Asrul. Sekarang dia diamanahi organisasi hijau hitam. Barubaru ia secara demokratis ditunjuk menjadi ketua umum. Itulah mengapa belakangan ini Asrul sibuk pulangpergi mengkonsolidasikan orangorang sebagai pengurusnya. Sibuk sanasini menyambangi mukim senior mengharap masukan. Di rumah kosnyalah saya sering menginap.

Saya sudah cukup lama tidak bergelut dengan wacana marxisme. Dulu di masa mahasiswa, marxisme menjadi salah satu arus utama wacana kampus. Bahkan saya bernah bergabung di salah satu organisasi yang begitu memuja marxisme-leninisme sebagai panduannya. Ada anekdot ketika saya menjadi mahasiswa, kalau belum akrab dengan marxisme, maka belum afdol disebut aktivis mahasiswa. Ini jadi semacam kebanggaan kalau MDH dapat dikunyah tiap hari di dalam kampus.

Saya belum yakin apakah mereka sudah sempat membaca Das Capital. Atau paham betul MDH sebagai basis filsafat marxisme. Atau memahami konsep perjuangn kelas yang dianjurkan Marx. Juga pentingnya membangun organisasi revolusioner seperti yang diwajibkan Lenin. Tapi, dari duduk bercengkrama bersama mahasiswamahasiswa macam mereka, saya kira suatu awal yang baik mengenal kembali marxisme.

Apakah marxisme masih penting? Saya kira iya. Kalau tidak, mana mungkin saya mau duduk bersama mereka. Menghabiskan suatu sore di pojok kantin kampus yang ditinggal libur. Saya kira dari sini, literasi berbasis kelas bisa mulai dirumuskan.