“Jagai
lino lollong bonena, kammayatompa langika, rupa taua siagang boronga”
Bohe itu punya badan gemuk
dengan lipatan daging yang tebal di leher dan perutnya. Kulitnya cokelat sawo
terang. Ia duduk bersila menggunakan sarung hitam khas Kajang. Ia pakai passapu,
kain kepala khusus lakilaki Kajang. Tapi yang ia pakai berbeda. Ia seorang
pemimpin. Makanya ada dua pucuk di passapunya. Dari sebelah jendela
ia duduk, nampak mukanya yang bundar diterpa angin siang. Ia pria 70 tahun yang
bermuka khas dengan tahi lalat hampir di seluruh mukanya. Ketika berbicara,
tahi lalat itu bergerakgerak dengan bibir yang selalu melempar senyum.
Pria lebih setengah abad
itu seorang Ammatoa. Begitulah ia dipanggil.
Ammatoa duduk di atas
tampin ketika saya masuk ke mukimnya. Rumahnya hanya berupa tiga ruangan
dengan satu tempat utama untuk menerima tamu. Di ruangan itu juga, di sebelah
kirinya, tanpa sekat adalah dapur. Di situ ada istrinya. Saat masuk, saya
langsung disambut istrinya yang sedang a'nampi berasa. Memang saat
itu Kajang baru saja musim panen. Di ruangan utama itu, Ammatoa duduk beserta
empat orang lainnya. Mereka berpakaian hitamhitam. Nampaknya ada yang sedang
dibicarakan.
Hari itu Kajang ditutupi
mendung. Ini pertama kalinya saat saya berada di Tana Toa pasca panen. Kajang
Tana Toa sebagaimana kita maklum, adalah kawasan adat yang punya cara hidup
sendiri. Saya harus jauh masuk berjalan kaki untuk bertemu orang yang keramat
oleh masyarakat Kajang itu. Setelah menempuh jalanan undakan batu sepanjang
hampir satu kilometer, akhirnya saya sampai di rumahnya. Untung saat itu hujan
belum turun.
Di ruangan itu, Ammatoa tak mengenakan baju sama sekali.
Nampaknya ia baru saja bangun ketika empat orang itu datang.
Dari yang saya dengar,
mereka terlibat pembicaraan tentang sengketa tanah adat. Nampaknya, mereka
hendak menyusun suatu acara adat untuk membicarakan masalah yang mereka hadapi
besok. Saat ini pembicaraan mereka seperti pertemuan dewan adat yang sering
dibicarakan orangorang kebanyakan. Saya menerka satu dari empat orang itu
adalah Galla Pantama yang bertugas sebagai hakim, atau orang yang ditugasi
mengurusi masalah hutan adat. Dan yang satunya barangkali seorang Galla Sapa
yang sering bertugas untuk upacara adat. Sementara satu yang lain -saya tahu
kemudian ternyata adalah adik dari Ammatoa.
Pertemuan semacam ini saya
duga memang sering terjadi. Orangorang sering datang berkunjung di rumahnya. Di
tanah adat, ia orang yang dituakan. Ammatoa memang punya tugas pengayom bagi
masyarakat adat Kajang. Bahkan seperti yang ia bilang, setiap akhir pekan ia
harus menyisihkan waktunya menerima tamu dari luar."Inni sallo aha na
sabtuna rie tamu battu ri Bandung," ucapnya untuk bilang seorang
dari Bandung, di hari Sabtu dan Minggu akan datang bertemu dengannya.
Pernah suatu kali saat saya
datang, banyak mahasiswa dari kampus di Bone, berduyunduyun berkunjung hanya
untuk melihatnya. Mereka seperti orang kebanyakan, ingin langsung bertemu
dengan orang yang kharismatik itu. Biar bagaimanapun Ammatoa adalah magnet di
tanah ini.
Untuk bertemu dengan
Ammatoa sebenarnya tidak terlalu susah. Hanya saja perlu beberapa penyesuaian
dengan aturan pasang ri Kajang. "Punna antamako kokunni a baju
le'lengko, jako sandalli," ucapnya sendiri. Memang seperti yang
sudah diketahui banyak orang, ketika memasuki kawasan adat, siapa pun wajib
memakai kain hitam tanpa alas kaki apapun. Hitam berdasarkan pasang ri Kajang
adalah warna yang mengingatkan kepada asal mula. Dari hitam semuanya bermula.
Bahkan hitam adalah dasar segalanya.
Secara resmi, bagi yang
ingin bertemu Ammatoa akan dibantu oleh seorang Galla yang bertugas sebagai
juru penghubung. Ada juga Galla Puto yang bertugas sebagai juru bicara Ammatoa.
Bersama Galla Ma'leleng dua jabatan ini, disebut sendiri oleh Ammatoa, tak
punya masa jabatan. Mereka akan bertugas selama Ammatoa hidup.
Ammatoa punya hak untuk
menunjuk Galla sebagai pembantu adatnya. "Galla harus caradde',
lambusu atinna." Seperti ukuran moralitas manapun, Ammatoa
memilih pembantupembantunya berdasarkan kriterium kecerdasan dan kejujuran.
Moralitas ini sering disebutsebut Ammatoa di saat ia bercerita tentang
duapuluhenam orang yang disebutnya dewan adat.
Syahdan, pembicaraan dengan
pembantunya itu tidak lama. Seperti yang dibilang Ammatoa, "a'borong
muko nak, rurung galla'ku," kepada kami sebagai kesimpulan sore
itu. Maka ditingallah kami bertiga dengan suguhan air teh yang dibuat oleh
perempuan yang keluar dari bilik belakang. Perempuan itu saya duga anak dari
Ammatoa.
Perempuanperempuan Kajang
punya cara berpakaian sendiri; assalang bira. Dengan mengikatkan
dua ujung kain hitam dari bawah lengan kanan ke atas pundak kiri. Tapi
terkadang mereka mengikatkannya di atas perut dengan menggunakan pakaian hitam
tanpa jahitan. Pakaian seperti itu umum dijumpai ketika perempuan kajang sedang
bekerja. Seperti saat mereka keluar masuk rumah mengangkat beras di atas
kepala. Walaupun hari itu mendung, mereka masih sibuk bekerja di luar dengan
berasberas yang sudah dipanen.
Perempuan Kajang juga punya
keterampilan menenun. Banyak di antara mereka duduk berlamalama untuk
menghasilkan kain sarung yang sering mereka gunakan. Sayang saat itu, saya tak
sempat melihat dengan jelas seperti apa bentuk alat tenun yang mereka pakai.
Dari sepintas, ada semacam tiga susun tingkatan kayu yang dirangkai oleh penopang
di tiap sisinya.
Tidak seperti alat tenun
yang lain, di Kajang, alat tenun mereka tidak terlalu besar. Di saat menenun
juga tidak seperti suara alat tenun kebanyakan, bahkan hampir tidak
mengeluarkan suara. Tapi dari ekor mata, saya tahu bahwa hanya satu warna yang
menjadi benang pintal mereka.
Ammatoa tidak merokok. "Pamangeangmi
bohenu, angre intu nakkaluru kalenna, mingka rie'ji anakna la
ngallei," ucap istri Ammatoa di saat kami menyodorkan rokok
kepada Ammatoa. Ia bilang, "serahkan saja kepada nenekmu, nenekmu itu
tidak merokok, tapi ada anaknya yang ambilki." Begitulah cara kami
menghormati Ammatoa. Yang aneh Ammatoa tetap mengambil setelah
"dibacabaca" di atas piring perunggunya.
Di samping Ammatoa selalu
ada pa'dupang, piring perunggu yang menyerupai seperempat piala.
Ukuran diameternya hampir seukuran tigapuluh sentimeter. Yang
saya lihat, saat itu isinya daun sirih dan sebilah tongkat kecil
yang menyerupai sarung badik. "Angrekmo nakke kukkaluruk nak,
a'mama kaleja." Begitulah, Ammatoa hanya senang makan siri
pinang.
Tibatiba Ammatoa berkisah
tentang pasang. Dahulu hanya satu pasang, semuanya bermula dari satu. Ia bilang
ada yang "dikitabkan" di tanah Luwu, "dikelongkelongkan" di
Bone, dan "dilontara'kan" di Gowa, tapi semuanya berisi pasang.
Itulah yang kalian kenal pasang ri kajang. Pesanpesan orang Kajang. Begitulah
ucap Ammatoa dengan Konjo. Saya hanya memerhatikan tangannya yang bergerak
seperti menunjuk suatu ruang kosmologi.
Pasang itu dibilangnya,
punya aturannya masingmasing. Kalian sebut itu hukum. Ada seribu pasang,
semuanya sudah mengatur halhal yang kalian lakukan. Apa yang sesungguhnya
kalian pelajari di luar, sama halnya dengan pasang. Apa yang didapati di luar,
semuanya berasal dari pasang. Semuanya sudah ada dalam pasang. Ucap Ammatoa
setelah saya tahu arti dari pasang yang ia bilang.
Saat itu sore menjelang.
Langit semakin hitam. Tanah adat bakal basah. Ammatoa diselasela kami berjumpa
sesekali melempar pandang ke luar. "Lamungmi tauwa nak," sergapnya.
Ia bilang bahwa tanaman akan segera diganti dengan yang baru. Ini cara tanah
berganti rupa. Kami hanya menjalankan sesuai waktu sesuatu itu. Semuanya punya
masanya, ungkapnya. Saat ia tersenyum matanya nampak bulan sabit. Tak
lama itu juga hujan turun.
Ketika itu Ammatoa
menyinggung sawah yang dipunyainya. Ia bilang jauh di belakang rumahnya, ia
punya sawah sebagai hak adatnya. Di sawah itu tidak sembarang bibit yang
ditanami. Padi yang tumbuh di sana dibilangnya adalah padi dari bibit turun
temurun Ammatoa sebelumnya. "Pare eja parele'leng," begitu
Ammatoa menyebut padi yang berwarna merah, padi khas Kajang. Mendengar itu,
ingatan saya tertuju pada nasi yang hanya diperuntukkan rajaraja
Bugis-Makassar.
Banyak hal yang diungkapkan
Ammatoa kepada kami berdua. Ia tangkas menjawab pertanyaanpertanyaan kami.
Asrul, teman sekaligus juru bicara saya, begitu berhatihati memilih kata untuk
bertanya langsung. Ini mirip suasana bertemu raja, tapi di hadapan kami bukan
seorang raja. Ia Ammatoa yang telah hampir tiga belas tahun menjabat sebagai
pimpinan adat. Setelah di tahun duaributiga, ia didaulat sebagai Amma dari
masyarakat adat Kajang.
Dahulu,
Ammatoa juga berkisah, seluruh Ammatoa berasal dari garis keturunan
yang sama. Ammatoa berhak menunjuk keturunannya sebagai pelanjut amanah sebagai
pemimpin adat. "Rie' nikua sambung bicara,” sebut
Ammatoa untuk membilangkan peristiwa sambungmenyambung amanah yang diterimanya.
Semuanya punya hak menjadi Ammatoa, tapi itu tidak berlaku bagi yang tidak
jujur hatinya. Begitu ia menyingkat kriteria Ammatoa.
Namun peralihan dari
Ammatoa yang baru tidak dilakukan secepat yang saya kira. Ada masa jedah tiga
tahun untuk menunjuk Ammatoa yang baru. Pasca ditinggal Ammatoa sebelumnya, ada
prosesi yang bagi orangorang luar sering mengaitkan peristiwa itu dengan halhal
yang mistis. Peristiwa itu dibilang oleh Ammatoa mempunyai campur
tangan Turia'ara'na, realitas yang sering kita sebut Tuhan.
Sesekali Ammatoa bersandar
di dinding. Di bawahnya banyak bantal berwarna hitam. Ia sangat suka menengok
di balik jendela. Barangkali dari situ ia sering melihat aktifitas orangorang
dari dalam rumahnya. Cahaya sore yang mendung menelusup kulit wajahnya yang
keriput. Dari situ ia tersenyum satu dua kali. Melihat itu kami lekas tangkap,
waktunya unjuk diri.
Akhirnya, kami berpamitan.
Tangannya yang dilingkari gelang akar hitam menyambut kami. Kami bersalaman.
Mukanya tak pernah lepas dari senyum. Hujan belum berhenti. Ini pertama kalinya
saya menemukan hujan di tanah adat Kajang. Kami melesat turun dari pintu, dan
di balik dapur, kakek tua itu masih melempar senyum ketika kami berjalan di
bawah hujan sore itu.