Bagaimana
kita mengucapkan kesejahteraan, jika kemiskinan begitu benderang ditemui.
Bagaimana kita memahami kemiskinan, jika itu dipercakapkan di selasela kekayaan
yang diamdiam kita tumpuk.
Kemarin,
Rabu, 7 Oktober, kemiskinan begitu terang saya temui pada masyarakat nelayan di
pinggiran kota Makassar. Di sana, tak ada penanda kesejahteraan ekonomi, budaya
apalagi politik. Kemiskinan di sana bukanlah wacana yang menjadi diskursus
intitusiinstitusi pendidikan dan pemerintahan, melainkan ihwal yang
terreproduksi pelanpelan atas kenyataan yang dialami seharihari.
Begitulah
yang saya candrai dari masyarakat kecamatan Ujung Tanah kelurahan Gusung.
Ketika saya memasuki kelurahan ini, tak ada kesan kawasan ini pernah dihinggapi
wacana "Makassar Tidak Rantasa" atau "Lihat Sampah Ambil."
Nampaknya tempat ini belum tersentuh rencana pembangunan kota yang bersih.
Apalagi menjadi tempat di mana kesadaran ekologis ditumbuhkembangkan. Akibat
daerahnya yang peripheri, wacana pemerintahan tak dapat banyak bekerja di sini.
Itulah
sebabnya, ketika memasuki ganggang sempit, sampah begitu nampak terbengkalai di
sudutsudut pemukiman. Apalagi jika menengok di bawah selokan rumah mereka,
sampah sudah seperti menjadi bagian yang natural dengan lingkungan mereka.
Bahkan, kanalkanal yang menghubungkan laut dengan sungaisungai kecil sebagai
muaranya, banyak terdapat sampah yang bisa jadi bertahuntahun tak pernah
dibersihkan.
Bagi
masyarakat nelayan, tanah bukanlah bagian yang fundamen seperti petani,
melainkan laut sebagai pusat kehidupan mereka. Sehingga seluruh konstruksi yang
berdiri di atas tanah adalah konstruksi sekunder dibandingkan dengan kapalkapal
yang dipakai untuk menjelajah lautan. Sehingga arsitektur rumah tidak seperti
arsitektur kapal yang harus diukur atas pertimbanganpertimbangan kecermatan dan
ketepatan ukuran. Rumah sebagai hunian bukanlah kapal sebagai penopang ekonomi,
sehingga kapal ataupun jenisjenis alat tangkap merupakan arsitektur yang paling
utama dalam struktur kehidupan masyarakat nelayan.
Yang
menarik datang dari Dg. Saru, nelayan yang telah lama melaut semenjak dari masa
remajanya. Sekarang dia berumur 47, dan melaut telah dilakukannya dari 1980an,
jadi hampir duapuluh tahun dia bergelut dengan laut. Selama ia bekerja, kapal
adalah aset berharga yang dimiliki, pasalnya dengan kapallah ia mempertahankan
eksistensinya. Memutar roda ekonomi agar terus bergerak. "Kapal samaji dengan rumah kedua"
ungkap pria dengan tubuh berisi ini. Bahkan "tanpa kapal, tidak menyalami dapurka,” sambungnya di siang yang
berawan.
Dg.
Saru satu diantara warga kelurahan Gusung yang rumahnya dibangun di atas air
laut. Rumahrumah jenis ini berbeda dengan rumah yang dibangun di atas tanah.
Fondasi rumah Dg. Saru didirikan dengan tiangtiang batang bambu yang menopang
seluruh struktur bangunan rumah. Untuk dapat tahan berdiri, bambu tidak saja
ditancap di atas lumpur pasir, tapi juga disusun dengan fondasi yang dibuat
dari semen.
Rumahrumah
yang saya temui merupakan rumahrumah yang disusun dengan cara berhimpitan untuk
memanfaatkan lahan yang minim. Bahkan menariknya, dari selasela ruang antara
rumah mereka, tercipta ganggang yang menghubungkan satu rumah dengan rumah
lainnya. Ganggang ini sejenis lorong dengan susunan kayukayu yang menjadi dasar
pijakannya. Sehingga bagi orang yang baru pertama kali melihatnya, merasakan
ganggang di atas laut ini seperti jembatan layang yang memperantai satu daratan
dengan daratan lainnya.
Di
atas rumah semacam itulah bersama kawan, saya bercakapcakap singkat dengan Dg.
Saru. Melaui percakapan itu terungkap kekecawaan terhadap pemerintah tentang
pelarangan penggunaan pukat trawl sebagai alat tangkap nelayan. Sebab menurut
Dg. Saru, pelarangan itu tidak layak diterapkan kepada mereka yang notabene
adalah nelayan kecil. "Kami ini
bukanji nelayan yang menggunakan kapalkapal besar, sehingga alat tangkapta
banyak merusak karangkarang di dasar lautan," daku Dg. Saru.
Sebagai
info pertama, dari identifikasi melalui perbincangan itu, alat tangkap yang
digunakan Dg. Saru dan nelayan lainnya di perkampungan itu, adalah alat tangkap
yang sudah dimodifikasi. "Alat
tangkapta yang dipakai bukan seperti pukat yang bemetermeter panjangnya itu,
melainkan dibuat hanya sepanjang lima meter lebih, sehingga daya jangkaunya
tidak terlalu besar", terang Dg. Saru lagi. Sehingga menurut Dg. Saru,
pelarangan penggunaan pukat bagi nelayan tidak layak bagi yang menggunakan alat
tangkap seperti yang mereka gunakan.
Lantas
bagaimanakah kemiskinan bagi orangorang semacam Dg. Saru itu? "Sehari syukursyukur kalau adami lima puluh
ribu yang didapat, setidaknya adami yang bisa dipakai." Begitulah
terang nelayan yang hampir sebagian hidupnya hidup dari sumber daya laut. Lima
puluh ribu bagi Dg. Saru dengan orangorang kota yang glamour, adalah jarak yang
begitu kompleks. Di situ ada perbandingan yang begitu jauh antara pendapatan
ekonomi, pemahaman budaya, kedaulatan politik dan kebebasan beragama. Dari lima puluh ribu sehari, sampai
barangbarang kepunyaan orangorang kaya, merupakan penanda bagaimana yang sosial
pada akhirnya tidak selamanya seimbang.
Dari
yang timpang itulah, Dg. Saru melihat bahwa aturanaturan yang diberlakukan bagi
mereka adalah kebijakan yang salah. "Kenapa
kitakita ini yang dilarang, na tidak merusakjaki terumbu karang, apalagi
ikanikan kecil, seharusnya yang pakai bom dengan yang pakai racun yang
dilarang. Atau itu kapalkapal yang besar ditangkap," protes Dg. Saru. "Mau makan apaki nanti kalau ditangkap
tommaki, di ambil lagi trowlta, baru mahal dibayar kalau mau diurus lagi kapal
yang mau dikasih keluar,"
jelasnya kembali. Demikianlah bagaimana nelayannelayan seperti Dg. Saru
sering kali berhadapan dengan patroli dari petugas berwajib.
Sebagaimana
Dg. Saru, Dg. Pana juga seorang nelayan berpendapat, bahwa sampai saat ini
belum ada penyampaian langsung dari pemerintah tentang aturan pelarangan alat
tangkap trawl. Yang ada menurut Dg. Pana hanyalah informasi dari mulut ke mulut. "Belumpi ada kalau datang secara
langsung pemerintah untuk memberi tahu," jelas Dg. Pana. "Kalau dilarangki pake trawl mini,
tidak adami pekerjaan yang cocok. Ka ituji yang kutau," bebernya.
Seperti Dg. Saru, Dg. Pana selama hidupnya hanya mampu menguasai satu jenis
pekerjaan, yakni menangkap ikan. Nelayan bagi mereka, adalah pekerjaan yang dilakukan
sedari kecil. Menangkap ikan bagi mereka adalah segalanya.
Menurut
pengakuan Dg. Saru, semenjak pelarangan pemakaian alat tangkap jenis trawl,
banyak nelayannelayan yang bermukim di pulaupulau semisal Laelae dan sekitarnya
yang berhenti melaut. Bahkan banyak diantara mereka yang menjual
perahuperahunya akibat keadaan keuangan yang tak bisa dipenuhi. Hal ini
berdampak fatal, pasalnya pelarangan itu
membunuh pendapatan masyarakat pulau dari pekerjaan menangkap ikan. “Maunya janganmiki dilarang, ka ituji
pekerjaan yang ditau, kalau dibandingkan antara menjadi buruh daripada nelayan,
mending saya pilih nelayan,” jawab Dg. Pana ketika ditanya diselasela
perbincangan.
Dalam
melakukan aktivitasnya, nelayan seperti Dg. Saru dan Dg. Pana pergi menangkap
ikan secara sendirisendiri. Tidak seperti nelayan yang menggunakan kapal besar,
mereka pergi melaut dengan menggunakan kapalkapal kecil yang dikendarai seorang
diri. Panjang kapal mereka kurang lebih
tiga sampai lima meter dengan lebar hampir satu setengah meter. Dengan ukuran
kapal seperti itu, dalam mengoperasikannya, mereka tidak dibantu siapasiapa. “saya selama sepuluh tahun hanya sendiri, saya
tommi yang kasih jalan kapal sampai tarik itu trawlka,” begitu terang Dg.
Saru. Ketika ditanya kapan melaut,
mereka mengatakan bahwa seringkali dijamjam tengah malam sampai subuh di saat
mereka pulang.
Di
waktu pagi, kirakira sekitar jam lima sampai enam, parenreng begitu mereka
disebut, pulang dengan membawa hasil tangkapannya. Dari pengakuan bapak Didu, hasil tangkapan
yang sering kali dibawa pulang tidaklah begitu banyak. Begitu juga jenis
tangkapannya beraneka ragam. Mulai dari ikan, kepiting, udang ataupun cumicumi.
“Ndak banyakji, tapi bisami cukup
dimakanmakan sama dijual nanti,” aku bapak Didu. Adakalanya juga, masih
pengakuan bapak Didu, hasil tangkapannya hanya berupa sampahsampah atau
ikanikan yang tidak layak konsumsi. “Biasa
banyak juga ikut sampahsampah, semisal pakaian dalam sama pembalut, biasa juga
bekas minuman gelas plastik, pokoknya adaada saja yang ikut di ambil,”
ungkap Didu kembali.
Begitulah,
apa yang mereka jaring kemudian dipertukarkan di pasarpasar . Tapi dari
pengakuan mereka, tak ada untung berlebih. Tidak ada modal yang dapat
digandakan, sebab semuanya habis dipakai untuk kebutuhan seharihari. Sehingga tak ada mobilitas ekonomi yang
terjadi di sana walaupun mereka juga tak memiliki keinginan yang mulukmuluk
untuk kaya raya. “Yang penting cukup,”
Kata Bapak Didu.
“Yang
penting cukup,” sebagai suatu ungkapan, tak akan kita temui diucapkan oleh
orangorang yang disebut Marx; kelas borjuis. Di dalam kesadaran mereka, yang
sejati adalah modal yang harus dilipatgandakan. Melalui mekanisme pasar bebas,
kapital bekerja untuk menggandakan dirinya. Melalui pasar bebas, kelas borjuasi
membangun kekuasaannya sampai sejauhjauhnya, hingga orangorang semisal Bapak
Didu yang harus menghidupi keluarganya dengan susah payah mendorong kapalnya ke
tengah lautan yang dingin. Membuat Dg. Saru harus nekad melawan aturan untuk
menyekolahkan anaknya. Dan Dg. Pana yang seorang diri harus terus bekerja demi
membiayai keperluan anakanaknya yang tumbuh remaja. “Yang penting cukup,”
sebenarnya bukan ungkapan syukur semata, melainkan protes terhadap orangorang
berpunya, bahwa hidup bukan soal kepemilikan, melainkan cara bagaimana hidup
sederhana bisa menjadi suatu cara untuk melawan.
Kemiskinan
nampaknya tak bisa hilang dalam sejarah manusia, tapi miskin bukanlah keharusan
sejarah. Begitu juga kekayaan, yang seringkali berpusat pada orangorang
tertentu, tidak selamanya abadi dalam waktu. Bagi orangorang seperti Dg. Saru,
Dg. Pana, dan Bapak Didu, selama laut tak kering dari daratan, hidup harus
terus bergerak. Jika toh hasil lautan tak begitu melimpah, bukan berarti laut
berhenti memberikan rejekinya. “Adaji
Tuhan di atas yang mengaturnya,” pungkas Dg. Saru.
*Tulisan ini terinspirasi dari observasi sehari bersama Ibu Abidah R. Delu, Kawan di Pascasarjana Unhas pada masyarakat nelayan di Kecamatan Ujung Tanah, Kel. Gusung, Kota Makassar
*Tulisan ini terinspirasi dari observasi sehari bersama Ibu Abidah R. Delu, Kawan di Pascasarjana Unhas pada masyarakat nelayan di Kecamatan Ujung Tanah, Kel. Gusung, Kota Makassar