Modernisme, ide progresif dari akhir abad 19 itu memang dahsyat. Perubahan
yang semula adalah tabiat dari yang ilahiat, dijungkirbalikkan menjadi
kerjakerja manusia. Tuhan, yang dahulu adalah pusat, disingkirkan dari ruang
pemikiran. Tuhan, yang dipahami sebagai totalitas wujud, semenjak subjektifitas
ditemukan, menjelma sebagai wujud yang peripheri. Bahkan di dalam ideide
modernisme, Tuhan hanyalah sejarah silam yang harus ditilap senja.
Cogito ergo sum, begitulah ucapan Rene Descartes, bapak filsafat modern
yang menemukan ilham dalam terang kesadaran rasio. Melalui pemikiranya, manusia
menjadi otonom atas rasio yang dimilikinya. Dengan rasio sebagai pusat baru,
modernisme mengayunkan pendulum sejarahnya sebagai kekuatan penggerak,
menggantikan kehendak ilahi seperti yang dinabalkan agamaagama. Tuhan di dalam
modernisme adalah agen pasif, dan manusia adalah subjek sejarah yang
berkehendak atas pikirannya sendiri.
Namun kita tahu, rasio yang tegak di saat yang bersamaan juga berarti
lain; individualisme. Manusia modern berarti orangorang yang berdaulat atas
rasio, dan dengan demikian adalah orangorang yang bertindak mandiri. Ketika
memikirkan, merancang, dan bertindak atas sesuatu, individu menjadi
sumber. Dengan begitu, sesuatu pilihan didasarkan atas kehadiran individu,
bukan berasal dari kekuatan di luar dirinya.
Individualisme modernis inilah
yang kerap menjadi etika mayoritas. Supremasi atas yang individual didaulat
menjadi ukuran suatu segala. Ketika sumbersumber yang berbicara tentang
komunalisme, maka itu dihardik sebagai suatu pilihan yang tak menghargai hakhak
atas individu. Manusia, di alam modernisme, bukan lagi milik komunal atas nama
Tuhan ataupun kekuasaan politik tertentu, melainkan manusia itu sendiri.
Manusia adalah mahluk dengan dirinya yang pribadi.
Tapi, modernisme dengan semangat individualismenya jadi sumber petaka, jadi
biang bencana kemanusiaan, sebab manusia yang individual jadi manusia yang
rasional tanpa terhubung terhadap kehidupannya. "Apel" sebagai objek
yang dipikirkan, bukan lagi "apel" yang tumbuh di atas tanah dengan
musim tertentu, melainkan sebagai objek yang terputus dari eksistensi
organisnya. Apel di kepala orangorang modern adalah apel yang telah terlucuti
sampai pada tingkat yang rasionalistik.
Demikianlah akhirnya hakim sejarah punya cerita: atas nama semangat
individualisme, kebudayaan tercabikcabik, kekuasaan jadi tak terkontrol,
ekonomi jadi timpang, dan kehidupan kehilangan kepekaannya.
Margaret S. Archer, seorang sosiolog Inggris, mempercakapkan bahwa
modernitas, suatu situasi yang melaju cepat, telah menggeser sosialitas menjadi
rasionalitas sebagai kriterium demarkasi antara manusia dengan segenap
"ada" yang lain. Manusia dengan rasionya, menjadi subjek instrumental
yang hanya memuaskan kepentingan pribadinya, sementara "the others",
adaada yang lain hanyalah objekobjek yang disisihkan dari manusia sebagai
pusat. Melalui prinsipprinsip kapital, manusia modern tidak terbebani dengan
tanggung jawab kolektif, melainkan bekerja atas prinsip maksimalisasi
keuntungan. Sahabat misalnya, di mata orangorang modern, dapat saja
ditinggalkan selagi dia tak mendatangkan keuntungan.
Masyarakat dikehidupan seharihari, atas supremasi individu menjadi entitas
yang terpilahpilah, sebab"aku" yang mendasari manusia, adalah aku
yang angkuh. "Aku" yang bersikap adalah aku yang egoistik. Dan
"aku" yang berpikir adalah aku yang tak merasa. Demikian, berarti aku
dalam manusia modern adalah aku yang tidak toleran.
Maka tidak ada toleransi saat kolektifitas diucapkan oleh "aku"
di kehidupan bersama. Semangat saling menghargai atas hak individu di
saat yang bersamaan berarti pembiaran yang menyebabkan keacuhan. Emoh diamdiam
jadi sikap batin ketika kehidupan bersama menuntut perhatian, dan berpaling
adalah sikap paling praktis di saat bantuan dibutuhkan. Toh kalau ada
toleransi, perhatian yang diberikan selamanya selalu berawal dari perhitungan
untung maupun rugi.
Barangkali ada yang memang cacat dari aku di dalam modernisme.
"Aku" yang rasional sedari awal sudah menarik diri dari detak jantung
sejarah manusia. Aku yang berpikir adalah subjek yang soliter. Sendiri.
Menyendiri. Di dalam rasio. Itulah mengapa, "aku" modernisme
dihardik, dikritik, dan ditampik.
"Aku" seharusnya bukan "aku dan dunia," melainkan
"aku bersama dunia." Demikianlah daku Martin Heidegger, filsuf
kontemporer Jerman. "Aku" yang seharusnya adalah aku yang bergelut
dengan kerja, begitu pula ungkap marxisme, dan "aku" yang bekerja
adalah aku yang kolektif. Begitulah, kesadaran atas "aku" melibatkan
dirinya pada "the others," di mana di sana manusia menemukenali
relasinya terhadap sesama. Manusia, dengan relasinya yang sejajar berarti
mengandaikan hubungan yang komplementer. Itu berarti dengan sendirinya, manusia
menjadi mahluk yang sosial. Juga, manusia bukan lagi mahluk rasional yang
dingin, melainkan mahluk yang ada karena yang lain. Begitulah "aku bersama
dunia" dipercakapkan.
Di saat yang bersamaan, agamaagama yang pernah disapu fajar modernisme, di
hari ini, bangkit untuk memimpin arah sejarah manusia. Juga mengambil sikap
atas bopengbopeng yang dibuat modernisme. Namun, semangat kolektifisme yang
diajukan tak benarbenar menerima "the others." Agamaagama, akhirakhir
ini kerap bertindak keras terhadap yang lain di luar imannya. Iman, yang
berpusat dari theos, tanpa disadari, adalah batas itu sendiri. Dengan begitu,
kolektifisme di dalam iman yang demikian, adalah sikap toleran yang tertutup.
Agamaagama di masa sekarang memang berbicara semangat kolektif, namun
malangya kolektifitas yang diandaikannya hanya sampai pada dimensi eksoteris.
Kita sama, jika cara kita mengekspresikan ajaran agama itu sama. Kita seiman
jika ada penampilan yang bisa kita ukur dari apa yang tampak. Begitu kiranya iman
agama dipercakapkan akhirakhir ini. Di dalam agama ada kolektifisme, namun
sekali lagi malang, nalar yang benderang dianggap sebagai lawan dari iman
agama.
Di dua paras itulah kita harus mencari nalar yang toleran. Dari modernisme
ada pengajuan atas individu yang merdeka. Namun, di situ, nalar modernisme
adalah "aku" yang abai dari semangat kebersamaan. Sementara itu,
agamaagama, dengan percaya diri, mendaku memiliki semangat kolektif walau di
luar iman ada jurang untuk suatu batas. Aku dalam agama, pada akhirnya adalah
aku yang dipenjara kelompokkelompok. Bukan aku yang melebur bersama "the
other."
Akhirul kalam, bila nalar modernisme yang dipercakapkan Rene Descartes,
ditemukan di dalam diri yang sendiri, sedangkan kolektifisme agamaagama adalah
kolektifisme buta tanpa terang kesadaran, maka nalar kolektif merupakan
pelampauan atas nalar yang individualis modernisme dan kolektifisme buta
agamaagama. Nalar kolektif di sini barangkali harus berangkat dari sejenis
kesadaran bahwa manusia sesungguhnya adalah mahluk yang hanif dengan lapislapis
kekurangan. Manusia jika demikian, bukanlah pusat satusatunya, karena
itulah mesti ada kerja sama. Mesti ada ikatan yang bergerak diluar simpulsimpul
ikatan sempit agama. Orangorang kuno sering bilang; cinta