Kalimat dimulai dari mata seorang penulis yang takjub, dan
bukubuku jari yang gelisah.
Mata, indera yang bisa menangkap bendabenda dengan jutaan partikel
foton itu, adalah alat tangkap yang penting bagi seorang penulis. Mata bukan
sekedar alat biologis, tapi sebuah alat epistem. Melalui mata, suatu peristiwa
ditangkap sebagai datadata yang ditampung di dalam pikiran. Mata menjadi
jangkar yang mengaitkan objek di luar dan pikiran manusia. Melalui mata, suatu
peristiwa jadi kata.
Mata seorang penulis tidak sekedar memfoto kopi peristiwa. Ketika
ia melihat suatu kejadian, tugasnya bukan saja menggambarkan secara deskriptif,
melainkan bergerak di sekitar setiap sudut pandang. Mata bagi penulis harus punya berjuta lensa untuk melihat lebih detail peristiwa
yang dihadapinya.
Dengan mata, suatu peristiwa jadi lebih transparan, suatu peristiwa disusunbangun kembali. Melalui mata suatu fenomena jadi istimewa.
Dengan mata, suatu peristiwa jadi lebih transparan, suatu peristiwa disusunbangun kembali. Melalui mata suatu fenomena jadi istimewa.
Mengapa istimewa? Karena mata penulis ibarat mata kecil seorang anakanak. Mata kecil seorang anakanak ibarat keadaan asal di
saat pertama kali berhadapan dengan suatu segala. Di dalam keadaan asal, suatu
segala menjadi asing dan baru sehingga semuanya menjadi hal yang patut
dipersoalkan.
Keadaan asal adalah perspektif yang memungkinkan seorang anakanak untuk mau mengenal keadaan di hadapannya. Mau masuk di dalamnya dan terlibat di dalamnya.
Keadaan asal adalah perspektif yang memungkinkan seorang anakanak untuk mau mengenal keadaan di hadapannya. Mau masuk di dalamnya dan terlibat di dalamnya.
Mata seorang penulis selalu terdorong untuk bertolak dari yang
ada. Fenomena menjadi hal yang penting, karena penulis tidak berusaha menulis
dari kekosongan. Tidak ada penulis yang bemula dari kekosongan. Semuanya
bergerak dari dari faktafakta. Ia menyaksikan apa yang terjadi, menelusuri yang
sudah berlangsung, dan memperkirakan yang bakal terjadi.
Fenomena dibedakan dari apa yang tampak dengan dari yang
samarsamar. Suatu fenomena terjadi karena dua hal; ruang dan waktu. Ruang
sebagai media fenomena terjadi, dan waktu sebagai ukuran keberlangsungannya.
Dengan ruang "yang tampak" menjadi mungkin, dan melalui waktu "yang tampak" ditelusuri. Dengan dua dimensi inilah, seorang penulis terlibat di dalamnya. Ia
mengalami waktu dan ruang sekaligus.
Keadaan yang samarsamar adalah fenomena yang belum terang. Pantang
dari keadaan yang samar tulisan datang atasnya. Segegala yang samar bukanlah
titik tolak dari suatu karya, melainkan tugas seorang penulislah untuk
membuatnya terang.
Di titik ini, seorang penulis adalah orang yang bekerja di perbatasan, antara yang samar dan yang terang, membuka gerbang segegala yang belum tersingkap. Seorang penulis karena itu memulai pekerjaannya dari yang tampak terdahulu sebelum memasuki ruang yang semula masih kabur.
Di titik ini, seorang penulis adalah orang yang bekerja di perbatasan, antara yang samar dan yang terang, membuka gerbang segegala yang belum tersingkap. Seorang penulis karena itu memulai pekerjaannya dari yang tampak terdahulu sebelum memasuki ruang yang semula masih kabur.
Itulah sebabnya tak ada penulis yang menulis di atas kertas yang
kosong. Ia selalu menulis dari ruang dan waktu yang ada. Fenomena
masyarakatnya; nasib masyarakatnya; sejarah masyarakatnya; kebiasaan
masyarakatnya; dan kebudayaan masyarakatnya. Di atas semua itulah seorang
penulis bekerja menyusun katakatanya. Memasang matanya tajamtajam ke segala
penjuru. Mencatat dan menyimpan, kemudian menuliskannya.
Artinya, seorang penulis selalu menyusun karyanya di atas
lapislapis kebudayaan sebelumnya. Mengulangnya dan memperbaikinya. Atas
kebudayaan sebelumnya, seorang penulis mempunyai tanggung jawab untuk
melestarikannya dengan cara menutup kekurangan yang ada dari kebudayaan
sebelumnya. Di titik inilah, seorang penulis bertanggung jawab langsung
terhadap jatuh bangunnya kebudayaan yang menghidupi dan dihidupinya.
Tidak berlebihan jika seorang penulis dengan demikian disebut
sebagai pekerja kebudayaan. Seorang penulis bekerja dengan katakata. Penyair,
sastrawan, wartawan, esais, penulis drama, pujangga atau apapun namanya, selalu
bergelut dengan katakata. Katakata bagi mereka semua adalah bahan dasar dalam
membentuk kebudayaan. Melalui kata mereka membangun pengertianpengertian baru
yang sesuai dengan zamannya, menafsirkan, dan memberikan nuansa baru. Dengan
pengertianpengertian inilah, orangorang bergerak, berinteraksi dan membentuk
kebiasaankebiasaan, dan tentu kebudayaannya.
Demikian juga, pekerja kebudayaan, seperti yang disebutkan Ignas
Kleden adalah juga sekaligus public intelectual. Intelektual publik
dinyatakan Kleden berbeda dengan akademisi dan pekerja profesional. Seorang
akademisi memang bergelut dengan tugastugas intelektual, tapi ia tidak memiliki
semangat “menerobos” lingkungan intelektual yang dimilikinya. Di sini
berdasarkan kecenderungannya, akademisi hanya dituntun dan dituntut bekerja
atas minat dan intelektual spherenya. Ia hanya berbicara sebatas
ilmu yang menjadi basis pengetahuannya. Dengan demikian, seorang akademisi atau
pekerja profesional dibatasi oleh batasbatas ilmu yang dipunyainya.
Sementara intelektual publik adalah golongan dengan visi yang
melampaui batasbatas lingkungan intelektual tertentu. Kecenderungannya
mampu menerobos sekatsekat keilmuan yang dipahami secara konvensional. Seperti
yang dicontohkan Ignas Kleden yakni Einstein yang tidak saja berbicara tentang
ilmu matematika maupun fisika, melainkan perhatiannya ditunjukan juga kepada
masalahmasalah yang lebih ultim semisal kemajuan peradaban, perang antar
bangsa, isuisu rasial, dan masalahmasalah kebudayaan.
Tapi, intelektual publik bukan intelektual yang tidak memiliki
kecenderungan yang tetap. Bukan berarti seorang intelektual publik yang
berbicara segala hal lantas mengaburkan kecenderungan keilmuan yang
digelutinya. Einstein misalnya, ketika berbicara tanggung jawab moral seorang
ilmuan, tidak meninggalkan dasar ilmunya untuk melihat persoalan. Justru dengan
itu, ia dapat meneropong segala hal melalui rumah pengetahuan yang dibangunnya
selama pengembaraan intelektualnya.
Lantas apakah seorang penulis juga memiliki rumah pengetahuan? Tentu.
Seorang penulis punya alamat yang dapat ditunjuk. Dari sana ia berasal, dengan
pertamatama lahir dan berkembang. Di sana, di mana ia memulai dari rumahnya, ia
dibangun atas kebudayaan yang melingkupinya.
Sebelum ia memperbaiki kebudayaan di luarnya, seorang penulis terbentuk dari kebudayaan yang melatarbelakangi perasaannya, pemikirannya. Di rumah itu ia beralamat, ia menemukan matanya, visinya. Visi yang ditemukannya melalui proses kebudayaannya, akhirnya menjadi mata bagaimana ia melihat sesuatu. Melalui mata itulah ia melihat, mendengar, dan merasakan kebudayannya; seluruh denyut kehidupan di sekitarnya.
Sebelum ia memperbaiki kebudayaan di luarnya, seorang penulis terbentuk dari kebudayaan yang melatarbelakangi perasaannya, pemikirannya. Di rumah itu ia beralamat, ia menemukan matanya, visinya. Visi yang ditemukannya melalui proses kebudayaannya, akhirnya menjadi mata bagaimana ia melihat sesuatu. Melalui mata itulah ia melihat, mendengar, dan merasakan kebudayannya; seluruh denyut kehidupan di sekitarnya.
Seorang intelektual publik dengan begitu seperti kurakura yang
melintasi segala penjuru dengan membawa rumahnya kemana pun ia pergi. Seekor
kurakura berbeda dengan binatang bercangkang lainnya yang kerap mengganti
rumahnya, seekor kurakura justru setia dengan rumahnya. Melalui rumahnya itulah
kurakura mengarungi segala hal, dan tidak pernah menginggalkannya sedetik
pun. Artinya seperti kurakura, seorang intelektual publik harus memiliki rumah
di mana ia berpijak atas perasaan dan pemikiran yang dibawanya selalu, di mana
ia mewakili tanggung jawabnya.
Syahdan, dari mana mata seorang penulis memulai? Maka ada dua hal;
dirinya yang takjub dan dari beranda rumahnya ia berdiri. Diri yang takjub
melihat suatu segegala yang asing, sementara dimulai dari rumahnya ia menyadari
suatu pijakan visinya bermula. Dengan dua hal itu, seorang penulis bekerja dan
tentu, dengan bukubuku jari yang gelisah.
Dari yang gelisah datang asa
dengan segegala yang terbilang asing
di mulai dari mata yang pisah yang takjub
semuanya tiada redup