Aktivitas menulis sudah
sepurba keberadaan manusia. Dalam sejarah peradaban, manusia sering menulis
dalam banyak ragam; simbol, gambar, ataupun motifmotif. Dengan begitu menulis
menjadi sifat sejarah manusia; ketika ia lahir, tumbuh dan berkembang. Bahkan
aktivitas menulis adalah penanda terakhir dari manusia yang ditilap sangkar
waktu; di atas nisan, aksara menjadi penyambung manusia antara ada dan tiada.
Manusia dimulai dari aksara, tapi
menulis adalah permulaan peradaban. Di awal narasi penciptaan manusia, kun adalah
aksara yang menandai titik mula kehidupan, sementara tulisan adalah cikal bakal
kebudayaan manusia. Begitu kirakira permulaan dan perkembangan manusia. Bermula
dengan aksara dan berkembang melalui tulisan.
Itulah sebabnya manusia mengolah
kata. Itulah mengapa manusia mengukir aksara. Dengan begitu, manusia
bertukartangkap untuk saling bertukarsapa, berkomunikasi melalui jejaring
makna, dan mengembangkan kehidupan melalui kesalingpengertian.
Melalui aksara dan tulisan, membuat
manusia akhirnya membangun jarak dengan mahluk lain. Aksara dan tulisan menjadi
ciri sekaligus pembeda dari mahlukmahluk di sekelilingnya. Dengan itu manusia
membangun ciri kebudayaannya, melalui kata melalui tata. Kata sebagai simbol
dan alat tukar pemahaman, sedangkan tata adalah kemampuan teknis manusia untuk mencipta
bendabenda beserta pengaturan dan pengelolahannya.
Maka itu manusia disebut mahluk
yang bertutur, sebab melalui tuturan manusia menukar maksud dan pesan. Juga
dengan kemampuan tata manusia disebut homo faber, mahluk pekerja. Sebagai homo faber
manusia punya kekuatan mengubah nature (alam) menjadi kulture (budaya), merekayasa alam buas
menjadi alam kehidupan. Dengan kata lain, melalui kata manusia membangun konsep,
dengan tata manusia mengerjakan konsep.
Tapi manusia tidak selamanya
menyukai kata dan malas menata. Banyak orangorang yang tidak ingin berkerja
dengan kata, sebab kata diartikan ihwal yang tak punya sumbangsih kongkrit.
Bergelut dengan kata disebutnya pengecut, dikarenakan kata tak bisa mengubah
dunia.
Orangorang seperti ini biasanya dengan sendirinya malas menata, dan
sering kali jika menata maka tak sanggup rapi dan apik. Kenapa demikian? Karena
bekerja dengan kata itu berarti kita harus sering menyusun tata bahasa, tata
pikir dan jalan pikir untuk membangun maksud yang terang.
Dengan menyusun kata
berarti ada jejaring hubungan makna yang sistemik tersusun rapi di tiap
relasinya. Itu mengapa, orangorang tak menyukai kata akan sulit membangun katakata
dengan susunan pikiran yang baik.
Lalu siapakah orangorang yang
selalu bekerja dengan kata? Di dalam sejarah peradabanperadaban, orangorang
yang bekerja dengan kata selalu menjadi pusat dari lahirnya peradaban.
Di
Yunani purba, ada dua macam yang selalu bekerja dengan katakata; filsuf dan
Sastrawan. Sang filsuf, membangun konsepkonsep filsafatnya melalui katakata
yang direnungkan dan dipraxiskannya. Sementara sastrawan bergelut dengan kata
untuk menguak tabirtabir makna yang dikandung di dalamnya. Melalui kata yang
direnungkan, sang filsuf menyusun dasardasar filsafat, sedangkan dari kata yang
dikuak, sang sastrawan mengasah dunia pemaknaan manusia. Akhirnya dari
orangorang semisal Homer, Socrates, Plato, Aristoteles, peradaban Yunani purba
bermula.
Walaupun begitu, ada juga orang
yang senang bekerja dengan kata tapi punya maksud yang lain. Tidak seperti
filsuf maupun sastrawan, kaum sophis barangkali adalah model orang yang sering
memutar balikkan kata. Di tangan orangorang shopis, kata menjadi tak menentu
sehingga makna sering kali disalahartikan.
Apabila demikian, maka kebenaran
yang dapat terungkap melalui kata, justru tertimbun jauh di balik maksud lain
orangorang sophis. Ketika Socrates menyebut orangorang ini dengan sebutan
orangorang yang tak bijak, kaum sophis malah emoh dan seringkali mengunjungi
orangorang kaya untuk mencari uang dengan menjual katakata.
Buku sebagai sangkar katakata,
peradaban sebagai tugu tata adalah dua hal yang berkaitsambut. Melalui buku
peradaban dirawat, dengan peradaban buku dipertahankan. Peradaban manusia bisa
dibilang dimulai dari keberadaan bukubuku. Eropa bisa terang benderang sebab
buku menjadi benda yang menyebar secara massif. Kita tahu, di Eropa kuno, buku
masih barang privat, hanya kepunyaan padripadri gereja, kaum bangsawan dan
rajaraja. Tapi mesin cetak Gutenberg-lah yang mengubah jalan peradaban dari
pusatpusat gereja, pusatpusat kerajaan menjadi milik banyak orang. Akhirnya
dengan mesin cetak terjadi liberalisasi ilmu pengetahuan yang menyebar melalui
cetakancetakan buku mesin Gutenberg. Dan Eropa akhirnya melek aksara.
Sementara atas peradaban buku
dipertahankan dan dijaga. Sebab buku bukan saja peninggalan peradaban, tapi
juga adalah benda yang mencirikan peradaban. Tak bisa dibayangkan tanpa buku
peradaban bisa bertahan lama, di mana dalam konteks ilmu pengetahuan, buku
memang bendabenda peradaban. Atas asumsi inilah, dari alaf sejarah, tak ada
bangsa yang mampu membangun peradabannya tanpa mensyaratkan keberadaan ilmu dan
pustaka bukubuku.
Walupun demikian, sejarah tak
selamanya jernih dari noda peradaban. Jika ada orang yang benci dengan
katakata, maka bisa saja paralel dengan sikapnya terhadap peradaban. Artinya
bila katakata sudah dibenci, dengan demikian peradaban juga dibencinya.
Orangorang semacam ini ditimbangtimbang jauh lebih kejam dari kaum sophis. Kaum
sophis masih menggunakan kata walaupun punya motif ekonomik di balik maksud ia
bekerja, sementara orangorang pembenci peradaban biasanya adalah orangorang
yang bekerja dengan aksiaksi kekerasan.
Kekerasan dalam lorong gelap
sejarah biasanya dilakukan oleh para penguasa otoriter. Di hadapan
penguasa, katakata tak punya tempat, karena bila kata diterima, berarti ada
ruang dialog di dalamnya. Sementara dialog berarti cara bawahan
untuk mempertanyakan keputusankeputusan penguasa. Sebab kata adalah asal mula
negoisasi.
Itulah mengapa banyak penguasa tak ingin dialog, karena mereka
membenci katakata, karena mereka membenci pikiranpikiran. Maka di sepanjang
sejarah, di mana ada pusatpusat kata berkembang, di mana ada tempattempat
pemikiran bersemai, dan itu dapat membuka dialog bagi penguasa, maka kekerasan
adalah tradisi yang diambil penguasa untuk memberangus.
Sampai di sini, orangorang yang
membenci katakata, biasanya punya satu hal; malas bertukar pendapat.