Orang-orang di Persimpangan Jalan


Di kota-kota besar, terutama di jalan raya, kemacetan merupakan masalah yang bikin geram. Apa lagi jika kemacetan terjadi tepat di jam-jam sibuk, sudah pasti banyak orang menggerutu kesal. Anak sekolahan jadi was-was mesti tepat waktu. Para polisi jadi pusing mengurusi ugal-ugalan pengendara. Sopir angkutan umum sudah pasti dibuat jengkel. Pekerja kantoran yang biasanya memulai kerja di pagi hari, bukannya tiba di kantor tepat waktu, malah bisa telat pasal kemacetan. Tapi bos-bos direktur, tak ambil pusing. Toh bila macet dan telat, siapa bakal marah!?

Di jalan raya kota-kota besar, demi mengatasi macet, seringkali ditemui orang-orang di persimpangan jalan. Orang-orang ini biasanya masih berusia muda, adakalanya masih kanak-kanak. Umumnya mereka anak-anak yang besar di jalanan. Dan biasanya anak-anak yang tak bersekolah. Pun jika bersekolah, mereka tak sampai khatam. Sementara orang-orang muda adalah pengangguran dengan usia produktif. Orang-orang semacam ini adalah mereka yang datang dari pemukiman-pemukiman kumuh. Besar di gang-gang perkotaan, tumbuh tanpa orientasi kerja yang pasti. Karena tereliminasi dalam dunia kerja, akhirnya berhamburan di persimpangan jalan.

Kemunculan orang-orang di persimpangan jalan adalah penanda kesimpangsiuran jalan raya. Mereka yang tumbuh dari pemukiman kumuh akhirnya datang di tiap persimpangan dengan maksud tak muluk; membantu warga kota yang terjebak macet.  Di jam produktif, mereka berdiri dengan cara membawa sempritan membantu tiap kendaraan di saat berganti arah.  Adakalanya cara yang mereka gunakan membutuhkan keberanian dengan masuk di tengah jalan untuk memperlambat laju kendaraan. Dengan cara begitu kendaraan yang ingin bertukar arah dipermudahkan.

Orang-orang di persimpangan jalan suka atau tidak suka, sudah hampir seperti polisi lalu lintas. Mereka punya semacam wewenang mengatur kapan berjalan dan berhentinya pengendara. Wewenang yang mereka miliki jika dipikir-pikir punya juga manfaatnya, sebab tidak semua bapak polisi menjaga setiap persimpangan. Akibat peran mereka, polisi yang punya tugas mengawasi kemacetan punya sejenis asisten nonformal. Tapi sayang mereka tak berseragam. Dan karena tak berseragam mereka tak dibayar negara.

Maksud tak muluk membantu warga kota yang terjebak macet, sebenarnya juga tak  betul-betul ikhlas. Sebab tak dibayar negara, mereka memasang ongkos atas jasanya; dua ribu rupiah. Tapi toh tarif yang mereka berikan kalau dihitung-hitung tak ada ruginya jika dibanding ongkos perbaikan apabila kendaraan mengalami kemacetan. Atau kendaraan tiba-tiba diserempet oleh ugal-ugalan pengendara lain. Maka dua ribu rupiah bagi dompet warga kelas menengah perkotaan, masih lebih rendah dengan risiko mereka bertahan di jalan raya padat kendaraan. Tidak main-main, bisa jadi nyawa taruhannya.

Risiko itu mereka ambil karena banyak hal. Perkotaan adalah sarang pengangguran. Di kota persaingan kerja sangat tinggi. Bahkan tiap pekerjaan membutuhkan skill khusus. Dan untuk memiliki skill khusus, tiap profesi membutuhkan banyak kursus dan pelatihan. Sementara orang-orang di persimpangan jalan, adalah masyarakat lapisan bawah yang minim akses. Sekolah, pekerjaan, rumah sakit, pusat perbelanjaan, perpustakaan adalah pusat kebudayaan yang jauh dari kehidupan mereka. Akhirnya dari keterbatasan akses, membuat mereka tumbuh tanpa asupan kebudayaan yang sehat. Syahdan, jadilah mereka pengangguran tanpa masa depan.

Kemiskinan juga salah satu ciri perkotaan. Hampir di semua kota besar bertebaran pemukiman masyarakat kota. Akibat pertukaran kapital yang timpang, maka menyebabkan kemiskinan struktural. Jika karena keterbatasan akses membuat orang-orang persimpangan jalan mengalami kemiskinan kultural, maka kapital yang berputar timpang membuat mereka terjebak ke dalam kemiskinan struktural.  Akibat kemiskinan struktural yang mereka alami, persimpangan menjadi kawasan ekonomi untuk mendulang “emas.”

Atau di luar dari dua sebab sebelumnya, bisa saja ada problem teknis yang membuat mereka berhamburan di persimpangan jalan. Misalnya adalah semakin bertambahnya pengendara dan kendaraan. Semakin tak memadainya jalan raya menampung populasi pengendara. Tak dilengkapinya jalan-jalan utama dengan rambu jalan. Juga barangkali tidak adanya tranportasi publik. Atau memang bapak polisi yang tak banyak berperan di jalan raya.

Walaupun demikian, orang-orang di persimpangan jalan kian hari semakin banyak dijumpai. Bukan saja di jalan-jalan utama, tetapi di jalan alternatif juga mereka ditemui. Biasanya mereka datang bergerombol, tua ataupun muda, pria ataupun perempuan. Mereka setia berlama-lama di tengah bising kendaraan, di bawah terik matahari hingga rela menghirup gas karbon kendaraan.

Biasanya mereka membagi teritori tempat yang sudah dikapling berdasarkan kelompok, persimpangan per persimpangan, waktu per waktu. Singkatnya mereka juga punya manajemen, tapi tidak secanggih orang-orang kantoran yang berkendara. Tak secerdas anak-anak usia sekolah. Apalagi menyerupai cara berpikir bos-bos tukang boros. Orang-orang persimpangan jalan membagi  keuntungannya atas dasar komunalisme. Orang-orang persimpangan jalan demikian, barangkali hanya tak ingin dikatakan pengemis yang tak memiliki jasa untuk mereka pertukarkan.