Mitos di alaf kebudayaan, selalu difungsikan dengan
maksud perayaan. Di dalamnya pujapuji dipanjatkan melalui ritual untuk
menceritakan kebesaran dewadewa. Mitos, di sejarah awal peradaban, biasa diolah
menjadi drama untuk mewantiwanti sang manusia.
Mitos melalui drama, juga ingin
membangun satu hirarki antara dunia dewata dengan dunia ata. Melalui drama,
mitos ingin meletakkan manusia dalam horison superioritas dewadewa. Dengan
demikian, di dalam drama, manusia selalu disimbolkan sebagai mahluk yang mungil.
Manusia di dalam drama, selain mungil, juga sering
digambarkan dengan paras yang kejam. Niat dasarnya adalah bahwa manusia secara
diametris berlawanan dengan idealitas dewadewa. Di atas cara demikian, manusia
dibulatkan dengan defenisi yang buruk.
Drama juga sebenarnya adalah tempat tragedi dipertunjukkan.
Tragedi di dalam drama, barangkali adalah cara untuk menyadarkan bahwa manusia
sungguh rentan dari nasib yang sial. Sebab kehidupan yang ideal hanya dimiliki
oleh dewadewa di atas khayangan. Itulah mengapa, hampir semua ceritacerita di
masa Yunani purba, drama menceritakan kisahkisah sang manusia yang tak utuh
untuk meraih harapan.
Di Yunani, mitos yang didramakan menjadi mekanisme publik untuk mempertontonkan pelbagai macam watak manusia. Mulai dari watak yang humanistik sampai narsistik. Dari dua kutub paras ini, entah baik dan jahat, keji atau bajik, manusiawi atau hewani, manusia selalu berpulang kepada tragedi.
Itulah sebab di dalam kebudayaan, manusia selalu ditempatkan
di dalam koordinat yang jauh dari purnawatak. Mitos dalam drama, telah
mengintrodusir kesadaran manusia menjadi orangorang yang inferior. Lugwig Feurbach, seorang filsuf cum antropolog agama, dengan melihat keadaan itu, akhirnya menangkap satu
pengertian dari optik yang lain; manusia memang selalu mengasingkan dirinya
dalam kebudayaan yang dibuatnya. Maksudnya, kenapa manusia selalu berparas
lemah dan tragis, sebab manusia hanya melihat idealitas jauh di atas
khayangankhayangan, sementara dirinya selalu diartikan sebagai mahluk yang
penuh kelemahan.
Di dalam maksud sebenarnya, khayangankhayangan itu disebut
Feurbach berasal dari agama. Di dalam agama manusia mengasingkan dirinya dengan
membangun satu dunia imajinasi kebaikan; tuhan, malaikat, surga, maupun alam
kebahagiaan, dan kehidupan manusia sejatinya hanyalah tragedi.
Orangorang yang anti agama sering menyebut agama adalah sumber
tragedi. Barang siapa beragama, berarti dia adalah agen aktif yang bisa memulai
tragedi. Orangorang beragama adalah orangorang yang memikul beban spiritual
hingga bebal. Dan tragedi yang datangnya dari agama adalah tragedi yang paling
purba; peperangan.
Agama sebagai perang nampaknya menjadi kode penting tentang
kebudayaan religi sang manusia. Banyak orangorang yang kerap mengucapkan agama
dengan intonasi yang antagonistik. Agama dengan cara yang demikian, adalah dunia
imajinasi yang mengasingkan sang manusia dari dirinya sebab yang ideal telah
dilukiskan ke dalam khayangan dewadewa. Sementara yang tersisa pada manusia
adalah kekejian yang berkebalikan dari apa yang dilukiskannya.
Orangorang beragama sudah seperti yang dipercakapkan Erving Goffman --sosiolog Amerika, yakni orangorang yang sering bermain peran. Goffman mengandaikan dua
sisi peran manusia dalam melakoni kehidupannya. Permainan peran manusia di atas
panggung kehidupan disebutnya sebagai dramaturgi.
Di dalam dramaturgi, peran
kebaikan selalu diperlihatkan di atas panggung depan dengan adegan yang disorot
cahaya panggung, sementara peran kejahatan, selalu disembunyikan di belakang panggung gelap yang jauh dari sorotan. Baik di atas dan di belakang panggung itulah manusia senantiasa bermain peran, entah di bawah
sorot cahaya panggung dengan menampakkan kebaikan dan sebaliknya, menjadi kejam di belakang panggung.
Orangorang beragama adalah orang yang bermain lakon. Jika
berperilaku baik, itu hanyalah lakon yang diperagakan di atas panggung. Apabila
ia bersikap manusiawi, itu hanya karena disoroti cahaya lampu orangorang. Tapi
jika lampu tak lagi menyorotnya, maka dia akan menunjukkan watak dasarnya di
balik panggung. Jadi bisa jadi, orangorang beragama adalah orangorang yang pandai
bermain peran, dia baik hanya di atas panggung, tetapi tidak di belakangnya.
Feurbach dan deretan orangorang anti agama bisa bersuara
dengan pesimistik atas perilaku orangorang beragama. Tapi kenyataan juga punya
jawabannya. Feurbach dan orangorang anti agama tidak selamanya salah.
Belakangan ini banyak orangorang beragama berperan dengan paras antagonistik.
Fenomena dengan terang menunjukkan betapa berbahayanya agama jika diajukan
sebagai problem solving dari kehidupan yang timpang. Agama, ketika
dipercakapkan dengan paras yang berbeda dari sekelilingnya, justru dengan niat
sebagai pemecah masalah, malah menjadi sumber masalah baru.
Kiwari, betapa banyaknya kelompok orangorang beragama berhimpun
diri, mengorganisir, dan menggunakan agama sebagai suatu kesadaran kolektif.
Dari itu, agama menjadi optik untuk mempersepsi dan merasai kenyataan, dan
bahkan dengan agama sebagai satusatunya jalan keluar atas segala soal. Tapi
anehnya, orangorang beragama, seperti kita sering saksikan, adalah
orangorang yang pandai bermain lakon. Di atas panggung seolaholah menjadi the good
man, tapi tidak sebaliknya di belakang panggung.