madah empatbelas

Sering kali kita ditimpa masalah; gunung meletus, pertengkaran dan keangkuhan, naiknya harga bbm, banjir bandang, terlilit hutang, pesawat jatuh, naiknya harga barangbarang, air bah, terorisme, perang etnis, pemerintahan korup, pemimpin yang tak adil, pembunuhan, perkosaan, penculikan, kelaparan, pembantaian massal, huruhara politik, penggusuran, pengkianatan, sunami, angin ribut, kebakaran. Juga kemiskinan, tipu muslihat, penyakit menular, kebohongan, kecelakaan beruntun, kelaparan.

Barangkali hampir semua hidup kita sudah bagian dari semua itu.  Dan juga bisa jadi kita yang hidup di suatu sore dengan kopi secangkir, malah menjadi sumber semua masalah di pagi yang dirundung kesibukan. Hidup memang seperti jejaring labalaba di mana semuanya menjadi sistemik dan berangsurangsur. Tak ada yang terpisah dan mandiri dari tempat kita berpijak. Kata pepatah cina; kepakan kelelawar di sini, membahana angin beliung di sana.

Ada juga ungkapan, hidup itu seperti suara gema, ketika engkau teriak, pantulannya lambat laun kembali juga. Takdirkah itu? Sepertinya ini yang jadi soal. Takdir itu kejadian setelah pengamatan. Atau keadaan yang jelas setelah kejadian. Gema, yang bakal mendatangi sumber suara itu bukan takdir. Gema sebagai suara yang bakal datang itu sudah bisa kita ketahui. Ini artinya, gema, sebenarnya persis hukum kausal. Apa menyebabkan apa, siapa mengakibatkan siapa.

Lalu masihkah yang disebut masalah harus kita sebut sebagai “keputusan yang sudah diputuskan?” Takdir sebagai keadaan yang terputuskan sejak awal disebut fatalistik, sementara takdir sebagai kemungkinankemungkinan yang sulit kita duga adalah  seperti gema; sesuatu yang dari kita dan akan datang masanya ia kembali. Ini berarti takdir tak selamanya sudah digariskan, melainkan diluruskan. Dalam arti luruslah, apa yang menjadi masalah dibenarkan. Ini berarti apaapa yang nampak bermasalah dapat diubah.

Namun rasarasanya itu sulit, ternyata ada banyak jejaring yang juga kusut. Sepertinya masalah bukan saja soal individual tetapi juga sosial. Itulah mengapa masalah mesti ditangkal sejak awal. Sebab garis lurus sulit dibentang jika dari awal tak ada semisal penggaris yang dipedomani. Maka wajarlah jika masalah sosial sudah terlalu banyak karena garis lurus tak pernah dibentangkan. Toh jika ada garis yang ingin ditarik, justru penggarisnya malah tak lurus.

Dari yang tak lurus itulah semuanya salah urus. Hingga akhirnya yang fatalistik itu jadi keyakinan; ini semua sudah garisan tangan, ini semua sudah takdir. Dan lagilagi semua masalah memang tak jemujemu kita temui.