Tulisan ini tak bermaksud menjadi catatan yang panjang. Catatan
ini hanya bermaksud untuk menulis tentang artikel yang terbit beberapa hari
lalu di kolom literasi Tempo Makassar. Tulisan ini terbit di hari jumat, dua
tiga Jaunari. Saya membacanya melalui media Fb yang ditandakan oleh penulisnya
langsung. Penulisnya adalah orang yang saya kenal. Dan aktivitasnyalah yang
membuat saya salut dan magut terhadap semangatnya.
Membaca tempo apalagi koran bukanlah aktivitas seharihari saya.
Begitu juga kolom literasi koran Tempo makassar jarang saya membacanya. Tetapi
untuk kali ini beda, apalagi sebelumnya saya melihat penulis yang saya
maksudkan telah menandai saya untuk membaca hasil tulisannya. Tetapi beberapa
hari ada aktivitas praktik lapangan, maka baru sore tadi saya membacanya
melalui fb.
Tulisannya berjudul “Memberilah dengan Sari Diri” Sejauh yang bisa
saya tangkap, dari tiga belas paragrafnya, tulisan ini hendak mengingatkan
bahwa memberi sebenarnya adalah peristiwa yang sosial juga sekaligus
spritual. Tulisan ini menyebut bahwa motif memberi bisa berarti adalah
peristiwa tukar menukar dari yang memberi dan yang menerima. Tetapi aktivitas
tukar menukar ini justru memiliki motif untuk memiliki dan dimiliki. Ini
berarti aktivitas sosial ini, yang sering kita lakukan, adalah tindakan yang memiliki
maksud dan imbalan. Tindakan ini sosial walaupun tidak spritual.
Lantas bagaimanakah memberi yang spritual? Dalam tulisannya, memberi yang spritual adalah pemberian yang tanpa pamrih dan imbalan. Tindakan ini sama halnya dengan pandangan moral Kant, bahwa sesungguhnya berbuat baik bukan untuk imperatif yang mewajibkan. Berbuat baiklah jika memang itu baik, bukan untuk yang lain. Dan tindakan yang tanpa pamrih inilah yang sudah jarang kita lakukan apalagi dibiasakan.
Di bawah judul memberilah dengan sari diri, saya dapat tangkap
maksud yang gamblang juga sekaligus gamang. Dalam tulisan yang analitis itu ada
yang kritis terhadap pertemuan sosial kita; di kantorkantor, pasar, mesjid, di
rumah, sekolah, pinggir jalan atau di manapun itu, yakni janganjangan kita
memberi dan menerima tanpa menyertakan ikhlas di dalamnya. Di saat demikianlah
yang kritis dalam tulisan itu berbicara; bahwa kita nampaknya memang tak jarang
menjadi manusia yang tidak sprituil. Dan itulah mengapa tulisan ini membawa
kegamangan. Sudahkah kita memberi dengan tanpa maksud yang mulukmuluk. Ini
gamblang juga gamang !?