madah dua

DALAM arti apa Muhammad kita katakan sebagai nabi, dan dengan maksud seperti apa Muhammad, orang yang hidup di Mekkah berabad lalu, disebut manusia biasa? Persoalan ini penting dan sekaligus juga genting. Penting sebab ia seorang nabi, genting oleh karena ia juga manusia.

Berarti sampai di sini ada yang mesti kita jernihkan. Muhammad ”yang teologis” dan Muhammad ”yang antropologis” dua maksud yang berbeda. Walaupun kita menyadari, dia, Muhammad, sebagai ”yang ilahiat” dan ”manusiawi” merupakan Muhammad yang sama.

Belakangan ini hari-hari genting. Bahkan kita sudah sampai pada masa yang perlu diinterupsi. Zaman, seperti yang didorong semangat modernisme, atau bahkan pascamodernisme, sudah meninggalkan ”yang ilahiat” jauh di belakang sejarah.

Saat ini, penting membuat penanda di antara tegangan zaman ”yang profan” dan ”yang sakral”. Untuk mengguncang, mengingatkan. Bahwa ”yang ilahiat” nampaknya masih punya denyut dan detak. Bahwa ”yang ilahiat”, ”yang transenden”, sesungguhnya ada bersamaan perubahan zaman yang kita alami kiwari.

Tapi, tidak selamanya modernisme satu-satunya tonggak pemikiran yang sanksi terhadap dimensi ilahiat kehidupan. Bahkan di dalam tubuh agama sendiri, yang dikatakan Will Durant tak sanggup mati-mati, juga berkeyakinan sama dengan modernisme, yakni menolak sakralitas ”keilahian.” 

Di dalam Islam, iman yang menolak sakralitas itu, berkepercayaan agama seharusnya cukup dimaknai dari apa yang tersurat. Jika itu tak bisa menghadirkan terang pengertian, penafsiran merupakan perbuatan bid’ah. Teks sudah siap, tak usah ditafsir-tafsir. Teks agama tinggal taken for granted. Dan iman yang dibangun dengan cara itu, adalah keyakinan yang menghalau dialog dan logos.

Apa ”yang ilahiat” ataupun ”yang sakral” itu sebenarnya? Ini juga masalah, sebab dengan kata lain usaha mencari dimensi ”ilahiat” berarti merupakan usaha melampaui apa di balik penampakan. Artinya, mencari maksud di balik teks adalah upaya menyelami teks agama dengan memasuki dimensi kedalamannya. Dengan kata lain, penafsiran adalah usaha yang tidak bisa dihindarkan.

Tapi, bukankah ini sebuah tindakan keluar dari bahasa literer teks. Bagi kaum anti penafsiran ini sebuah pencemaran iman. Tak ada sesuatu apa pun di balik teks. Tak ada yang disebut metafisika, dunia berobjek sakral . Apalagi dunia ilahiat.

Dari itulah persona nabi tanpa sakralitas dibangun, yang sesungguhnya merupakan pencitraan dari manusia biasa. Tak ada keistimewaan Rasulullah selain orang yang menerima wahyu, menyampaikan Islam, membina umat, dan melahirkan peradaban baru. Atau tidak lebih dari kepercayaan dalam teks, seperti nabi-nabi sebelumnya, orang yang diberikan amanah dan mukjizat.

Inikah nabi “yang antropologis”?

Bisa jadi nabi antropologis adalah personifikasi seperti dimaksudkan Al Qur’an. Yakni dimensi al Basyar dan al Annas. Nabi antropologis adalah orang yang hidup dengan hukum biologis dan takdir sosiologis. Ia hidup berkembang berinteraksi di tengah masyarakat. Orang yang dibentuk alam dan kebudayaan, yang menangis dan tertawa, juga tentu bekerja seperi orang umumnya.

Nabi antropologis adalah nabi yang jatuh bangun dalam sejarah, hidup dalam kebudayaan, dan mati sebagai mahluk biologis.

Lantas di mana gentingnya? Agama kehilangan sakralitas, barangkali tak ingin memahami Nabi sebagai al Insan. Nabi yang melampaui gerak sejarah, dinamika kebudayaan, bahkan hukum-hukum biologis. Dalam arti inilah mengapa Rasulullah disebut mahluk sempurna, ketika al Insan kita padankan dengan al Kamil. Di saat ketika ”yang antropologis” itu menjadi ”yang ilahiat”. Di saat nabi yang sukses melakukan revolusi itu, layak kita sebut manusia yang melampaui.

Dalam arti itulah, nabi ”yang antropologis” menjadi nabi ”yang teologis.” Inilah nabi sebagai orang yang tidak sekalipun kehilangan ciri kemanusiaannya, tapi mampu menggapai ketinggian alam ilahiat. Apakah itu mungkin? Apakah itu bid’ah, jika menganggap nabi sudah persis tanpa cela, tanpa salah, atau dengan kata lain sempurna?

Bisa iya, bisa tidak. Tapi yang pasti, wahyu yang ilahi itu, yang dari Tuhan, mustahil mampu diterima mahluk yang tidak siap menerimanya. Bisa iya, bisa tidak. Tapi yang pasti nabi yang kita anggap ummi itu adalah orang dengan kualifikasi di luar kebiasaan umum. Kenapa? Sebab jika ia seperti yang umum, persis seperti yang jahil di masyarakatnya, maka mustahil dia bisa berdialog dengan jibril.

Ini penting dan juga genting.