Dalam agama, konsep gender
selalu bermuara dari tindak baca teologis. Perempuan dalam teologi, islam
misalnya, direduksi sampai pada tingkat yang subordinat; sebagai tulang rusuk
yang patah. Cara baca yang demikian mengandung problema yang berkepanjangan hingga
mengakibatkan perempuan sulit mendapatkan posisi yang sepatutnya. Persoalannya
semakin menjadi rumit pada saat penafsiran terhadap teks-teks primer juga
mengandung pandangan yang misoginis. Pandangan yang bias terhadap gender ini
disinyalir oleh pemikir feminis islam sebagai dalang dari keterbelakangan
perempuan. Ternyata teologi, ilmu yang mendasari iman itu juga tidak bersih
dari pandangan yang timpang. Untuk itulah pemikiran islam kontemporer juga
memperturutkan isu gender sebagai wacana kritis untuk memasukan peran perempuan
di dalam keterlibatannya terhadap dunia publik.
Teologi yang implisit dalam
ideologi gender juga ditemukan dalam pemahaman keagamaan yang lain; kristiani.
Doktrin dosa awal secara eksplisit mengacu kepada peran perempuan (Hawa) yang
menjadi musabab dibuangnya Adam dari telaga surga. Perempuan di dalam teologi
kristen, dipandang sebagai biang dosa-dosa anak cucu adam yang berakibat
terhadap cara pandang perempuan yang di streotypekan negatif.
Bahkan kontruksi teologi kristiani juga diimplisitkan secara diam-diam sebagai
iman yang maskulin. Kerangka keimanan ini diperlihatkan dari model peribadatan
yang berpusat dari “bapa” sebagai episentrumnya. Seperti juga dalam islam,
gerakan pembaharuan teologi atas bias gender juga dilakukan dalam teologi
kristiani.
Perempuan sesungguhnya
sudah lama berlarut-larut dalam situasi yang subordinat. Tidak saja dalam teks
tetapi juga konteks. Dalam teks, perempuan diandaikan sebagai mahluk yang
peripheri, nomor dua. Pengandaian ini memiliki dampak paradigmatik dalam
mencitrakan perempuan sebagai mahluk rendahan. Hal ini, seperti dalam teologi
agama-agama, nampak begitu kuat mendominasi paradigma keagamaan hingga hari
ini. Tidak saja dalam sejarah agama-agama, di dalam teks-teks yang menjadi
literatur perkembangan keilmuan juga memposisikan kelemahan perempuan di bawah
dominasi ilmu pengetahuan. Singkatnya baik dalam teks keagamaan dan juga teks
keilmuan, perempuan dijauhkan dari posisi strategis dari pusat-pusat
paradigmatik.
Sementara di dalam konteks,
sejarah perkembangan masyarakat mengisahkan bagaimana perempuan dijauhkan dari
peran sentralnya sebagai pusat kehidupan. Semenjak ditemukannya alat-alat
berburu, pengalihan peran perempuan kepada kaum laki-laki diawali dengan
bergesernya posisi dominan yang awalnya dimiliki perempuan. Akhirnya berubahnya
karakter hidup dari pola menanam menjadi berburu mengawali sejarah pergeseran
peran-peran perempuan dari ruang publik ke ruang domestik. Situasi ini digambar
sebagai masa kelam ketika perempuan untuk pertama kalinya mengalami
domestifikasi.
Baik dari teks dan konteks
semacam di ataslah, kontruksi atas peran perempuan di ranah sosial berpijak.
Tumpuan ini menandai bagaimana feminisme memberikan pembacaan yang jauh berbeda
dari tindak baca yang berpusat dari sistem keilmuan teologi maupun sains. Sebab
pembebasan terhadap perempuan harus diawali dari pembersihan terhadap teks-teks
yang timpang atas gender. Begitu pula, pembebasan ini juga harus dibarengi
dalam tindakan praktis untuk mengubah konteks sejarah sosial kebudayaan bagi
masa depan. Melalui dua elementasi inilah feminisme berkehendak untuk membangun
tata dunia yang berkeadilan dan setara tanpa diskriminasi atas pembagian
kelamin.
Feminisme
dan Pembebasan Ideologi Gender dalam Keluarga
Anthony Giddens
mengungkapkan, perubahan masyarakat tradisional menuju masyarakat modern dapat
disaksikan pada peralihan model kehidupan keluarga. Perubahan ini merupakan
derivasi langsung dari berubahnya sistem dunia yang berangsur-angsur
meninggalkan pola hidup tradisional. Modernitas yang diilustrasikannya dengan
juggernaut sangat cepat mengubah sendi-sendi kehidupan keluarga sampai pada
tingkat yang radikal. Perubahan tata dan pranata keluarga dari ciri masyarakat
tradisional menjadi masyarakat modern adalah salah satu aspek pengamatan yang
dilakukannya untuk melihat sejauh mana modernisasi mempengaruhi perubahan
kehidupan keluarga. Ciri masyarakat yang hidup dalam modernitas tinggi, dalam
keluarga ia istilahkan dengan model keluarga demokratis.
Dalam bukunya yang terkenal
itu; The Third Way, The Renewal of Social Democracy, keluarga dalam analisis
Giddens ditempatkan sebagai institusi yang menjadi dasar dari masyarakat Ini
berarti keluarga sebagai formasi sederhana dari sebuah institusi, juga memiliki
sejumlah kaitan terhadap model masyarakat di luarnya. Dengan kata lain, secara
paralel bentuk keluarga sangat ditentukan dari aturan-aturan yang berlaku umum
di dalam masyarakat sebagai model kerangkanya. Dalam hal ini, keluarga
demokratis yang disebutkannya memiliki sejumlah kualifikasi kesetaraan secara
langsung mengikuti format dan nilai-nilai dari masyarakat demokratis.
Tetapi dari apa yang
dituliskannya, keluarga demokratis belum merupakan bentuk yang stabil dari
masyarakat modern. Hal ini disebabkan oleh kuatnya pengaruh tradisi dalam masa
transisi menuju model masyarakat pasca tradisional, yang masih menggenapi cara
hidup keluarga-keluarga eropa. Walaupun demikian, dugaan Giddens hanyalah
sebahagian dari bentuk masyarakat yang dinilainya masih bermasalah dalam
hal-hal yang berkaitan dengan pembagian peran dan hak dalam keluarga. Hal ini
dikatakannya masih sulitnya tatanan demokrasi diberlakukan dalam keluarga
sejauh menyangkut bagaimana peran-peran domestik diberlakukan.
Persoalan itu barangkali
bisa dibaca melalui pendekatan feminisme postmodernis, atau lebih tepatnya gaya
membaca yang diacu dalam pemikiran Lacan. Cara pandang psikoanalisis Lacan
mencurigai bahwa dominasi hubungan patriarkhi, sudah bermula semenjak proses
sosialiasi dalam keluarga. Melalui jejaring dunia simbol yang merupakan dunia
yang dimasuki oleh anak, adalah tatanan bahasa yang disebutnya sebagai medan
dominan yang membentuk karakter dan sikap subordinat anak. Melalui bahasalah
anak diperkenalkan dengan simbol-simbol sosial, kebudayaan, agama bahkan
politik yang dalam bahasa Lacan adalah dunia yang sudah selalu ditafsirkan oleh
Bapak. Artinya dengan bahasa, anak ditundukkan sedemikian rupa berdasarkan
pembagian peran yang timpang dan diskriminatif atas penafsiran paternal yang di
dalamnya budaya patriarki bekerja.
Asumsi demikian tidak jauh
dari psikoanalisis Freud yang membagi secara anatomis peran perempuan dan
laki-laki berdasarkan pandangan yang biologis. Dalam hal ini perempuan
mengidentifikasi dirinya sebagai mahluk yang berbeda atas ketiadaan penis yang
tidak dimilikinya sebagaimana yang dimiliki laki-laki. Dari pengidentifikasian
semacam ini, menurut Freud, perempuan dalam perkembangan kepribadiannya
mengalami keadaan psikis yang selalu berkekurangan. Perempuan sejauh ia tumbuh
dan berkembang adalah mahluk yang kurang lengkap dari laki-laki. Atas dasar
inilah dari semenjak perkembangannya perempuan mengalami keadaan yang
berkekurangan.
Di dalam masa pertumbuhan,
keluarga sangatlah dominan dalam menentukan proses sosialisasi yang dihadapi
anak. Proses sosialisasi ini juga sangat bergantung pada bagaimana aspek-aspek
edukasi diterapkan. Dalam keluarga tradisional, proses sosialisasi dan edukasi
hanya diberlakukan bagi anak laki-laki yang dianggap lebih utama dalam
keluarga. Keyakinan ini didorong oleh kebudayaan paternalistik yang menganggap
perempuan hanya sebagai kaum nomor dua dibandingkan peran laki-laki dalam
masyarakat. Keadaan ini juga berlanjut dalam hal kepengasuhan anak yang tidak
melibatkan keikutsertaan Bapak dalam urusan domestik. Walaupun demikian sejauh
peran domestik dijalankan oleh Ibu, pusat kekuasaan dalam hal keberlangsungan
keluarga tetap menjadi hak sang Bapak.
Dengan demikian, walaupun
keluarga demokratis belum merupakan bentuk keluarga yang stabil secara umum,
tetapi dalam hal kesetaraan dan pembagian kerja, model keluarga demokratis
dapat menjadi alternatif untuk memiminimalisir ketegangan akibat bias gender
dalam keluarga. Seperti yang dibahasakan Giddens, beberapa bentuk kesetaraan
berupa hak dan tanggung jawab yang diberlakukan secara timbal balik, kesetaraan
emosional dan seksual, menjadi orang tua bersama serta keluarga yang
terintegrasi secara sosial adalah kualifikasi yang seharusnya mampu
dikembangkan dalam hubungan keluarga masa kini. Sebab bias gender yang sering
kali terjadi dalam keluarga berupa marginalisasi, subordinasi dan kekerasan
terhadap istri selalu berhula dari hubungan yang hirarkis.
Sebagai salah satu
alternatif dalam membangun keluarga yang berbasis gender, selain kualifikasi di
atas, Giddens juga memasukkan kebutuhan terhadap perundangan akan hak-hak orang
tua yang telah lanjut usia. Kebutuhan ini berangkat dari asumsi bahwa selain keharusan
tanggung jawab orang tua kepada anak selama kepengasuhan, tetapi juga merupakan
tanggung jawab yang dibebankan kepada anak agar diberlakukan secara setara
untuk memperhatikan dan menopang kebutuhan-kebutuhan dan perlindungan bagi
orang tua yang sudah uzur. Ini berarti keluarga yang bebasis gender, tidak saja
mengatur dan meperbaiki hubungan orang tua kepada anak tetapi juga dari anak
kepada orang tua.
Hal yang juga sepatutnya diberikan perhatian adalah pembagian kerja berdasarkan kerja-kerja estetis dan produktif. Berdasarkan pemilahan ini, di dalam keluarga dan masyarakat, penilaian yang lebih berbobot terhadap pekerjaan produktif dibandingkan estetis merupakan produk pemikiran yang diparalelkan terhadap peminggiran perempuan dari pekerjaan. Yang malang dari itu, kategori ini ditarik dari pembagian atas bentuk-bentuk pekerjaan pasar dan nonpasar. Dikatakan demikian karena produktifitas selalu ditandai dengan integrasinya terhadap dunia kerja, sementara pekerjaan nonpasar atau pekerjaan estetis dan simbolis adalah pekerjaan yang tidak adaptabel dengan konteks masyarakat modern.
Dampak dari model pembagian
kerja seperti di atas, maka perempuan atau istri didomestifikasi sebagai
bentuk-bentuk pekerjaan estetis dan simbolis. Padahal sebenarnya, dalam urusan
dosmestik seperti mengasuh anak dan keluarga adalah pekerjaan yang secara
berkepanjangan memiliki pengaruh terhadap perkembangan peradaban. Dengan kata
lain, proses edukasi yang diterima dan diberlangsungkan dalam keluarga
sangatlah menentukan dalam menjaga keberlangsungan kohesi sosial. Dengan
begitu, tugas-tugas estetis dan simbolis seorang ibu ataupun perempuan walaupun
tidak selamanya diukur berdasarkan logika dunia kerja, memiliki dampak kultural
dan jauh lebih strategis dibandingkan dengan pekerjaan yang terintegrasi secara
ekonomis di dalam masyarakat.
Keluarga
berwawasan Gender
Keluarga dalam arti
defenitifnya adalah satuan terkecil dalam masyarakat. Ini berarti secara
integral masyarakat dan keluarga secara kultural memungkinkan pranata dan
norma-norma dalam masyarakat dapat berlangsung dan bertahan. Dengan alasan
bahwa obyektifikasi dan internalisasi nilai-nilai berjalan secara dialektis
diantara masyarakat sebagai kesatuan objektif dan keluarga sebagai kesatuan
subjektif. Maksud arti ini adalah, di dalam masyarakat manusia mengeksternalkan
dan mengobjektifkan norma dan nilai untuk disosialisasi, sedangkan dalam
keluarga secara simultan terjadi proses internalisasi dan refleksi atas keadaan
objektif di masyarakat. Melalui dua proses inilah, masyarakat dan keluarga
mempertahankan keadaan sosial dari proses-proses yang destruktif.
Ulrich Beck nampaknya tidak
main-main tentang keadaan masyarakat pascaindustri yang terbelenggu dari resiko
yang diciptakannya sendiri. Melalui Risk Society; Toward a New
Modernity Beck memisalkan betapa menganganya masyarakat diantara
resiko kemajuan yang setiap saat dihadapi. Dalam kaitannya dengan keluarga,
kehancuran institusi keluarga adalah salah satu resiko yang terus membayangi.
Hancurnya basis rasa sayang dan perhatian dalam keluarga merupakan resiko
kemajuan yang melanggengkan “keakuan” sebagai asas otonomi masyarakat. Keluarga
sebagai “kekitaan” akibat diambil alihnya fungsi-fungsi perlindungan,
perawatan, edukasi dan kepenjagaan modernitas telah memecah diri menjadi
orang-orang yang otonom dari ikatan keluarga.
Hancurnya “kekitaan” dan
kuatnya bias gender dalam keluarga, harus segera ditangani yang dimulai dari
dalam keluarga itu sendiri. Hadirnya aturan pemerintah di tahun 2003 berupa
perundang-undangan pendidikan informal tentang keluarga berwawasan gender,
setidaknya adalah salah satu upaya untuk memperbaiki tatanan keluarga yang
terancam rusak akibat resiko hilangnya kekuatan keluarga dalam menjaga
keberlangsungan masyarakat. Walaupun dalam hal konstitusional, undang-undang
ini masih diberlakukan dalam dimensi pendidikan informal, seharusnya ada
desakan agar pendidikan keluarga berbasis gender juga diterapkan kepada
pendidikan formal. Sehingga akan berdampak langsung terhadap perubahan yang
dialami semenjak dini di masyarakat.
Selain dukungan konstitusi,
keluarga berwawasan gender juga harus dibarengi dengan proses edukasi yang
berekelanjutan dalam membangun kesadaran kritis tentang pentingnya pembagian
peran di dalam dunia privat dan publik. Proses edukasi yang berkelanjutan ini
sewajarnya diterapkan berdasarkan analisis terhadap latar belakang sosial dan
kebudayaan yang sebenarnya berbeda antara satu dengan satu daerah lainnya. Ini
berarti keluarga berwawasan gender sangatlah ditentukan sejauh mana kebudayaan
ditempatkan sebagai acuan nilai yang diterapkan dalam masyarakat. Sehingga hal
ini akan menghindari generalisasi dalam membangun keluarga berwawasan gender.
Keluarga berwawasan gender
juga dapat memasukkan muatan-muatan kesetaraan seperti yang dipahami dalam
model keluarga demokratis. Ini dapat menunjang rasa keadilan dan keterbukaan di
dalam membangun keluarga. Dengan keterbukaan maka dialog dapat dimungkinkan
untuk mencipatakan rasa adil dan aman dalam menciptakan keharmonisan. Dengan
demikian dalam hal urusan pembagian peran tidak lagi menjadi keputusan sepihak
tanpa melibatkan kerja sama di antara keduanya.
Singkat kata, di dalam
keluarga berwawasan gender, memisalkan mudahnya kekuasaan dialihperankan dalam
pembagiannya. Kekuasaan yang senantiasa bergerak ini sebagai konsekuensi dari
adanya kesetaraan di dalamnya. Tidak seperi pada model keluarga tradisional
yang mana kekuasaan selalu berpusat pada Bapak, maka di dalam keluarga
berwawasan gender kekuasaan nampak cair dan dapat dinegoisasikan. Maka dari
itu, dalam urusan pekerjaan, pendapatan, hak asuh anak dsb, merupakan tanggung
jawab bersama di antara hak dan kewajiban yang telah disepakati.
---
Sumber Bacaan
- Teori-Teori Feminisme Kontemporer.
Stevi Jackson dan Jackie Jones. Jalasustra, Yogyakarta. 2009.
- Jalan Ketiga; Pembaruan Demokrasi.
Anthony Giddens. Diterjemahkan oleh Ketut Arya Mahardika. Gramedia,
Jakarta. 2002.
- Argumen Kesetaraan Gender. Prof.
Dr. Nasaruddin Umar MA. Dian Rakyat, Jakarta.2010.
- Teori Sosiologi Modern. George
Ritzer dan Douglas J. Goodman. Kencana- Prenada Media, Jakarta. 2004.
- Modul Bahan Ajar Mata Kuliah
Pranata Keluarga dan Gender. Prof. Dr. Maria E. Pandu, MA.