Filsafat di hadapan agama dalam sejarah
adalah ilmu yang selalu mengandung perselisihan. Di dalam peradaban Barat
maupun Timur, filsafat selalu disisihkan dari khalayak umum.
Dijatuhmatikannya orang-orang semisal Socrates, Galileo, dan juga Bruno dalam
sejarah sosial politik Barat, dan pembunuhan terhadap Suhrawardi, kecaman Al
Gazali, dan Ibn Taimiyah terhadap filsafat di sejarah pemikiran Islam, adalah
ilustrasi bagaimana agama menjadi hakim atas tindak berpikir filosofis yang
dianggap membahayakan keberlangsungan tatanan masyarakat. Filsafat sebagai
tindak berpikir kritis dan radikal dianggap dapat mempengaruhi atau merusak
tatanan iman yang merupakan inti dari keyakinan agama.
Jika meminjam analisis
Alain Badiou, ada empat faktor yang dimiliki filsafat sehingga dapat
membahayakan agama. Yang pertama adalah apa yang ia istilahkan revolt. Dalam
kasus Soscrates, revolt adalah diskursus pengetahuan yang
merupakan cara berpikir baru atas penolakan terhadap keyakinan-keyakinan lama.
Dalam arti ini, filsafat selalu ditandai dengan penolakan logis terhadap
dunia yang dihadapi. Dengan demikian filsafat bermaksud untuk menguak tabir
terselubung yang menjadi cangkang dari kesadaran lama. Dalam arti inilah
krtisisme filsafat dimaksud.
Kedua dalam filsafat selalu mengandaikan sistem yang logis. Apa yang dikandung dalam filsafat adalah sistem logika yang berbeda dari zaman yang dihadapinya. Filsafat harus menjadi sistem pemikiran yang menyandarkan asusmsi-asumsinya pada kronologi pikiran yang logis. Dengan pikiran yang logis maka asumsi-asumsi yang dibangun dalam filsafat menjadi penalaran yang argumentatif dan gamblang.
Dengan cara sebelumnyalah
maka filsafat dengan sendirinya menjadi sistem yang universal. Hal
ini dimungkinkan oleh elementasi filsafat yang hendak menduduk perkarakan
sistem keyakinan yang tidak logis berdasarkan prinsip-prinsip penalaran akal
sehat. Tetapi hal ini dalam perekembangannya tidaklah mudah, sebab filsafat
selalu mengandung resiko. Sebagai elementasi yang keempat, resiko
adalah derivasi dari filsafat atas keputusan cara pandang baru yang dianutnya.
Atas keempat elemen inilah,
seperti yang ditunjukan Alain Badiou, filsafat adalah ilmu yang
melatarbelakangi terjadinya reposisi pemikiran yang telah mapan. Hal ini
disebabkan karena filsafat selalu mengandaikan tindak berpikir logis dan kritis
terhadap seluruh pernyataan-pernyataan yang ada dalam iman agama. Filsafat
seperti yang telah ditunjukkan dalam sejarah merupakan modus berpikir yang
paralel dengan rasa keingintahuan manusia sebagai mahluk pencari kepastian.
Pada sudut pandang ini filsafat adalah human conditio yang
menjadi esensi kemanusiaan.
Dalam kaitannya dengan
agama, filsafat bukan saja tindak berpikir yang secara eksplisit kontradiksi
dengan agama, tetapi dengan cara kerja yang kritis dan radikal sebaliknya
justru akan menjadi penopang bagi bangunan pengetahuan manusia. Di dalam
kandungan kontradiktatori inilah sebenarnya filsafat dapat menjadi elementasi
yang bersinergi dalam membangun keimanan yang kokoh, pun juga dalam agama.
Tetapi mungkinkah hal itu
terjadi? Di mana dalam tindak berpikirnya, filsafat disituasikan untuk tidak
mudah menerima sebuah pernyataan yang sungguh berbeda dengan agama. Dalam
agama, pernyataan yang berkaitan dengan pandangan yang prinsipil selalu
ditundukkan dalam iman yang diterima begitu saja. Sementara filsafat, sejauh
dari sejarahnya adalah produk khas pikiran manusia yang senantiasa mencari
kejernihan kebenaran daripada terhempas di belantara rimba raya yang tanpa
dasar.
Untuk menyeleraskan
eksposisi di atas, saya ingin menjadikan bagaimana plato mengandaikan filsafat
sebagai “usaha mencari kejelasan dan kecermatan secara gigih yang dilakukan
secara terus menerus” untuk dijadikan titik tolak dalam rangka dimungkinkannya
filsafat dan agama mampu bersinergi. Setidaknya dari acuan yang diungkapkan
Plato, filsafat menjadi subjek introgator atas kemapanan baku dan beku
keyakinan-keyakinan yang dikandung dalam kehidupan agama, sosial budaya, ekonomi
dan politik.
Lantas bagaimanakah
filsafat yang diandaikan Plato dapat dioperasionalkan di dalam membangun
sinergisitas kehidupan, dalam hal ini agama, agar tidak menjadi apa yang ia
sebut doxa. Apabila mengacu dari konsep epistemologi Plato,
doxa merupakan pengetahuan yang tidak memiliki acuan dari asas-asas kebenaran
yang diderivasikan menurut prinsip-prinsip logis penalaran. Doxa seperti yang
diistilahkannya adalah pengetahuan semu berupa bayang-bayang dari pantulan
kebenaran yang bernilai delusif.
Pertama, sebagai acuannya
adalah bagaimana menempatkan “usaha mencari” sebagai modus awal dari usaha
sinkronik terhadap agama. Kegiatan ini di dalam tradisi filsafat,
diaksentualisasikan kedalam bentuk-bentuk pertanyaan sebagai jalan memutar
untuk merehabilitasi sudut pandang keyakinan. Usaha ini ditandai dengan sikap
terbuka dan skeptik atas pernyataan-pernyataan yang belum terbukti
kebenarannya. Oleh filsuf-filsuf, dari model semacam inilah mereka membangun
pemikiran filosofisnya.
Sementara itu, tindak
lanjut dari kegiatan “usaha mencari” setidaknya membutuhkan “kecermatan yang
gigih” untuk menemukan presisi dalam menetapkan penemuan-penemuan yang dialami.
Etika sikap ini memerlukan perhatian dari purnaragamnya alternatif
kemungkinan sehingga membutuhkan kecermatan terhadap koherensi antara
pernyataan di dalam sistem pemikiran rasional. Sejarah pemikiran filsafat
menandai kondisi ini dengan silih bergantinya sudut ragam pemikiran yang
berkembang hingga akhir ini.
Usaha ini akhirnya menjadi
kaidah metodis dalam “usaha yang terus menerus” disebabkan oleh sifat
kebenaran yang dipahami menjadi kepastian yang dialektis. Ini berarti
berfilsafat secara inheren mengacu kepada sikap rendah hati untuk mendialogkan
keyakinan yang dimiliki dengan model-model keyakinan yang lain. Mengacu dari
prinsip ini kebenaran dalam agama akhirnya dikeluarkan dari sifatnya yang
dogmatis menjadi dialogis.
Berdasarkan usaha di atas,
maka filsafat sebagai ilmu yang kritis menjadi seni penghayatan terhadap
keimanan agama yang memerlukan pemugaran. Berdasarkan beberapa pemahaman,
asumsi ini berangkat dari konsep agama sebagai seperangkat keyakinan yang
dipegang teguhkan tanpa mengetahui asal usul dasar epistemnya. Sesungguhnya
keyakinan yang demikian sebaliknya menjadi iman yang bercirikan nomad
(gerombolan), yang diaktuskan pada kehidupan keagamaan yang fundamentalistik.
Sedangkan dalam arti akademisnya, filsafat menjadi tindak penelitian terus menerus terhadap doktrin-doktrin agama yang selama ini diyakini. Dengan alasan ini juga filsafat sebagai ilmu yang mencari kedalaman (radix; akar), akhirnya menjadikan agama sebagai pengetahuan yang kokoh. Hal ini dimungkinkan karena filsafat telah bertindak sebagai introgator dengan sebelumnya mengajukan pengujian-pengujian terhadap doktrin-doktrin keyakinan melalui upaya di atas.
Sedangkan dalam arti akademisnya, filsafat menjadi tindak penelitian terus menerus terhadap doktrin-doktrin agama yang selama ini diyakini. Dengan alasan ini juga filsafat sebagai ilmu yang mencari kedalaman (radix; akar), akhirnya menjadikan agama sebagai pengetahuan yang kokoh. Hal ini dimungkinkan karena filsafat telah bertindak sebagai introgator dengan sebelumnya mengajukan pengujian-pengujian terhadap doktrin-doktrin keyakinan melalui upaya di atas.
Akhirnya filsafat dengan
sendirinya memberikan sudut pandang baru yang selalu terbuka terhadap
pandangan-pandangan yang beragam. Agama akhirnya menjadi keimanan yang tidak
berkubang di dalam dogmatisme buta, melainkan menjadi doktrin yang hidup untuk
didialogkan. Agama dengan tindak baca filosofis, seturut akan membangun
pemeluknya menjadi orang-orang yang toleran terhadap perbedaan. Kaitannya
dengan etika agama, filsafat banyak membantu dialog terbuka antara keberagaman
nilai moral agama yang jamak dihadapi.
Syahdan, upaya
menjalintubuhkan agama dan filsafat sesungguhnya merupakan inisiatif yang
memiliki sumbangsih kemanusiaan atas purnaragamnya perbedaan di dalam tampilan
masyarakat kita. Setidaknya dengan filsafat, ruang kemasyarakatan yang
akir-akhir ini banyak disesaki oleh fundemantalisme agama dengan
pandangan-pandangan yang sempit, menjadi penyeimbang terhadap dominannya eksklusifitas
agama. Bahkan kalau mau jujur, banyak inti ajaran agama yang membutuhkan
penjelasan di luar dari kemampuan agama itu sendiri. Pada titik inilah filsafat
dibutuhkan, sebab agama sesungguhnya bukan saja melibatkan kedalaman iman,
tetapi juga kejernihan rasional untuk dipegang teguhkan.
---
Sumber Bacaan
- Sejarah Filsafat Barat. Betrand
Russell. Pustaka Pelajar. 2004.
- Pengantar Filsafat. Louis O
Kattsoff. Tiara Wacana Yogya. 2006.
- Heidegger dan Mistik Keseharian;
Suatu Pengantar Menuju Sein Und Zeit. F. Budi Hardiman. Kepustakaan
Populer Gramedia (KPG). 2003.
- http://alhegoria.blogspot.com/2013/07/alain-badiou-sebuah-pembahasan-awal.html.
Di akses pada 6 Januari 2014.