Manusia

Kuasakah engkau menciptakan tuhan? ...maka diamlah wahai segala tuhan! Tapi, yang pasti engkau dapat menciptakan superman. .

Memang manusia mahluk yang tak lengkap. Di balik sejarah, yang tak lengkap itu berusaha dipikirkan, untuk kemudian dirumuskan pada satu pengertian yang umum dan ajeg. Sejarah memang wadah yang bisa kita dalami, di sana manusia selalu disusun dalam pengertian yang esensial; mahluk yang rasional, mahluk sprituil, mahluk kerja dsb. Tentang manusia, dalam sejarah, apa yang telah dirumuskan untuk menambal yang kurang itu memang hanya menyisahkan tekateki, lubang yang tak pernah tertutupi.

Manusia bisa saja menciptakan segala hal. Dengan demikian manusia meneguhkan eksistensinya. Eksistensi yang tak utuh itu dalam sistem politik, kebebasan individu dan kolektif dijabarkan, bagaimana kekuasaan harus diterjemahkan untuk kebahagiaan banyak orang. Untuk itu, juga mekanisme ekonomi dirancang, ikhtiar untuk membuat sistem yang egaliter. Demikian budaya dan hukum turut diciptakan dalam rangka memenuhi kekosongan yang menganga itu. Tetapi apa yang akhirnya didapati, hasil yang kerap kali gagal memenuhi kekosongan: krisis eksistensi.

Sepertinya, usaha inilah, yang dalam sejarah manusia dikritik Nietzsche: keinginan untuk menutupi lubang yang tak pernah dijawab sejarah. Tapi di mana ada usaha untuk membangun yang universal, selalu di situ bersembunyi ego penaklukan. Dan pada titik inilah Nietzsche menggerutu, bahwa manusia bukanlah realitas yang mudah ditetapkan begitu saja.

Di masa dulu, di Yunani, Aristoteles pernah memberikan terang tentang manusia. "Manusia adalah hewan tak berbulu berkaki dua" Begitu ia menyebutnya. Kemudian tak lama datang Diogenes, pelopor filsafat sinisme, menunjukan cela dalam defenisi Aristoteles. Sembari mendemonstrasikan manusia menurut Aristoteles, Diogenes menunjukkan ayam yang sudah dicabuti bulunya sebagai maksud dari Aristoteles. "Inilah manusia menurut Aristoteles," seru Diogenes. 

Dalam peristiwa ini barangkali ada yang tak sepenuhnya bisa dipahami Aristoteles, yakni dalam cara untuk merumuskan ketetapan yang aksiomatis biasanya selalu gagal dalam meraba sesuatu yang kerap berubah. Dan ini yang juga sudah diwantiwanti oleh Ibnu Sina, untuk membangun defenisi yang utuh adalah pekerjaan yang sulit bagi seorang logikus.

Upaya yang hendak dirumuskan tentang mahluk yang bernama manusia, barangkali adalah mekanisme yang lahir dari sifat lemah dan inferior. Yang mana sesungguhnya itu dilakukan untuk menutupi kekurangan yang di miliki. Tapi sekonyongkonyong usaha ditegakkan justru adalah indikasi dari kekosongan yang semakin menganga lebar. Barangkali ini yang dimaksudkan Feurbach, filsuf yang getol menyerang agama, sesungguhnya adalah manusia yang gagal menetapkan "kesempurnaan" untuk dirinya, sehingga "yang kuat", "yang bahagia", "yang ideal" adalah sifat dasar manusia untuk menciptakan alienasinya sendiri.

Untuk itulah, dari alienasinya, lubang yang tak pernah tuntas dalam sejarah, manusia berkeinginan untuk mengenal tuhan. Tapi apakah tuhan adalah jenis superioritas yang mudah dicapai? Sekiranya iya, Firaunlah manusia pertama yang berhasil menggenggam "superior" sebagai sifat dasarnya, memproklamirkan bahwa ialah tuhan yang punya kuasa terhadap segala hal. Bisa saja Firaun, raja yang digugat Musa itu berhasil, namun sejarah sudah punya jawabannya: tuhan bukanlah kekuasaan yang bisa diperlakukan seenak hati.

Disinilah bahayanya, orangorang yang miskin kualitas eksistensi, dengan agama, dengan atas nama yang ilahiat berkeinginan merubah jalannya banyak hal, termasuk penyelenggaraan pemerintahan dunia. Bukankah tuhan tak mampu dicipta dalam iman yang miskin, dalam diri yang rapuh? Maka berbahayanya jika orangorang yang berkhidmat dalam organisasi, tak kuasa dalam mencipta tuhan justru menjadikan "yang lain" harus takluk atas nama pemurnian.

Kitalah yang barangkali telah membunuh tuhan? Dalam ungkapan Nietzche, disana ada kenyataan yang sulit kita sanggah, bahwa tuhan adalah entitas yang seringkali kita bunuh berulangulang. Di zaman ini, ditengah krisis eksistensi, eskalasi fundamentalisme yang turut mencampakkannya, atas pemurnian. Dan memang pemurnian terkadang mengenyahkan jalan tengah, sebab jalan tengah itu berarti kompromi, artinya ada unsur yang sudah terkontaminasi, ada ruang yang telah tercemari.


Dan di belahan dunia lain, kematian nampaknya semakin karib bersampingan, semakin akrab. Justru disaat pemurnian adalah cara praktis untuk menuntut perbaikan, kematian menjadi tumbal dari keyakinan yang rapuh. Disana peluru adalah hakim yang berlagak adil, dan pucuk senjata adalah antitesa dari kehidupan yang beragam. Tetapi manusia yang tak utuh harus percaya satu hal, "yang ideal", "yang ilahiat" bukanlah lahir dalam alam yang murni, ia lahir di sini, di tengah kehidupan yang guyah sendisendinya, untuk tahu bahwa manusia punya harap, seperti harapan yang sebenarnya tak ada, tapi karena banyak yang membuka jalan ke sana, maka ia layak kita tempuh. Bahwa di sini, dalam kehidupan yang jamak, manusia hanyalah mahluk yang selalu beriktiar utuh.