Suatu ketika di malam awal Juni saatsaat lembayung makin padat. Juni yang
mengawali kemarau Juni yang biasanya panas, saya berusaha membangun imajinasi.
Tentang sebuah perbincangan dengan seorang realis, orang yang pernah hidup
sekitar akhir abad pertengahan. Seorang dari Florence Itali; Niccolo
Machiavelli.
Saya membayangkan malam awal Juni itu dua bulan setelah hari kelahirannya,
duduk bersama orang yang kerap dikutuk berkat gagasannya yang tanpa moral itu.
Di mana saya dengannya bertemu di saatsaat karirnya sebagai penasihat politik
mendekati anti klimaks. Pada pinggiran selatan kota Florence saya dengannya
bersua. Ketika Itali sedang dalam invasi Spanyol.
Saya: Kenapa anda tampak murung? Apakah ini karena Itali sedang dalam
masa-masa kritis?
Niccolo: (Sambil tersenyum) Saya memang murung? Lebih mudah bagi saya
kematian seorang ayah daripada kehilangan warisan..Mari anak muda..(sambil
memberikan segelas anggur) bagaimana anda bisa sampai kesini? Ini masa kritis..
Saya: terima kasih (sambil mengambil
anggur darinya), ini memang masa kritis, tetapi bertemu dengan anda saat
seperti ini adalah hal yang mengagumkan.
Niccolo: Apakah anda bercanda? Lantas apa yang membuatmu kemari?
Saya: Diri anda. (Dia tampak terkejut, raut mukanya sungguh jauh dari
ekspresi pikirannya yang konon berbahaya, saat itu dia kelihatan gagah) Diri
andalah tujuan saya..
Niccolo: Saya berharap kau mengerti maksud tujuanmu berbicara denganku.
Saat seperti ini semua orang menjadi bodoh saat mengutarakan pikirannya.
Saya: Maksud anda?
Niccolo: Coba kau bayangkan, untuk sejenak, diantara orangorang itu,
adakah yang tampak jujur berucap? (Niccolo menunjuk dengan pandangan matanya)
Hampir semuanya tampak berbohong..
Saya: Ada apa dengan mereka. Maksudmu mereka ini adalah
orang yang sedang berbohong?
Niccolo: Tidak ada yang salah dengan orangorang ini.
Kecuali mereka tahu maksud pembicaraan mereka.
Saya: Sebenarnya ada apa dengan mereka? Barangkali saya telah
melewatkan sesuatu?
Niccolo: Sudah saya katakan tadi, ini masa kritis, masa yang guyah.
Seharusnya mereka tahu apa yang harus dibicarakan. Bukan dengan hanya bicara
tentang masalah intim mereka, pujapuji mereka terhadap gereja,
anakanak, ladangladang..
Saya: Lantas apa yang layak saat seperti sekarang menurutmu?
Niccolo: Manusia yang baik adalah warga yang membincang keutamaankeutamaan
ibu pertiwinya, bukan sebaliknya.
Saya: Maksud anda negeri ini? Itali maksud anda?
Niccolo: Artinya kau pahami maksudku. Negara ini sedang di ambang
kehancuran. Mereka lebih sudi selain dari apa yang mereka wariskan.
Saya: Bisakah anda menerangkan maksudmu? Jujur, saya tidak paham..
Niccolo: Kematian, saat orang mati, saat mereka ditinggal pergi, mereka
berpurapura murung, berputus harapan dengan rasa sakit yang amat. Lantas
sebenarnya pikiran mereka tidak demikian. Justru akan kembali seperti biasanya,
memikirkan dengan apa hidup harus berjalan. Memikirkan apa isi perut
mereka.
Niccolo: Di situlah letak kebohongan mereka, saat hidup harus
dipertahankan, kepedihan lantas tak harus menjadi pilihan untuk dipilih,
kepedihan hanya kepunyaan jelata. Justru kita diharuskan jujur terhadap sikap
kita.
Saya: Jika saya harus jujur, maka saya tak memahami arti ucapanmu. Saya
bingung dengan arah yang kau inginkan..
Niccolo: Saya tak memaksamu untuk mengerti, tetapi orangorang ini
harus tahu, pemerintahan di manapun itu memang kewajibannya untuk menekan,
menekan kepedihan. Negara adalah biospolitikon yang punya
wewenang mengendalikan tingkah laku. Bahkan agama harus
difungsikan negara demi tujuantujuannya. Mengenai ini, saya sudah memikirkan
untuk menulisnya dalam satu karangan.
Saya: Bagaimana tentang politik, anda adalah penasihat politik
Cesare Borgia?
Niccolo: Politik itu bermaksud mengatur nafsu rendah
rakyat. Dia berencana memaksimalkan nafsu rendah untuk dikuasai, karena ini
artinya seorang raja harus tahu apa opini banyak orang, tentu juga ia harus
paham nafsu rendah banyak orang. Dan Borgia mengerti akan itu.
Saya : Apakah ini berarti seorang raja harus menyisihkan keinginan
pribadinya, dia harus tahu dan mengerti orang banyak? Demikiankah Borgia?
Niccolo: Borgia seorang raja yang independen. Dia berani mengambil segala
jenis resiko. Memang seorang raja sebenarnya tidak mementingkan pikiran
rakyatnya. Yang utama adalah nafsu rendah mereka, dengan memobilisasikan
berdasarkan kekuasaannya. Jika raja berkuasa ia harus mahir di antara pikiran
orang yang dikuasainya dengan hati orang yang di bawahnya. Dengan begitu
politik adalah manuver yang setiap saat berubah.
Saya: Berarti kekuasaan Raja adalah titah yang dimiliki untuk menguasai
dengan melakukan manuver apapun?
Niccolo: Kekuasaan seorang raja itulah politik. Apalagi saat
seperti ini, negara harus mengenyampingkan moral. Dalam perang yang kuatlah
yang berpeluang untuk memerintah. Dalam perang kepentinganlah yang menjadi
acuan, sebab manusia sungguh irasional, tingkah lakunya diombang ambingkan dari
emosiemosinya. Dalam keadaan inilah Raja harus pandai memainkan
tujuantujuannya.
Saya: Mendengar pikiran anda barusan, sepertinya saya mulai paham maksud
anda. Kau seorang yang realistis, bagaimana menurutmu dengan pandir agama,
tentang totalitas gereja, bukankah gerejalah yang paling banyak memainkan
perannya?
Niccolo: Maksudmu lembaga rohania gereja. (Ia kembali tersenyum, raut
wajahnya, dengan rambutnya yang diikat membuat rahangnya tampak sempurna.
Machiavelli memang kelihatan flamboyan) Sekarang bukan masa yang harus
disesalkan. Masa sekarang adalah kebudayaan yang sedang mekar, agama harusnya
tunduk pada itu. Negara harus mampu mengatur agama, bukan sebaliknya.
Saya: Lantas seperti demikiankah agama di mata anda?
Niccolo: Agama terlalu jauh mengatur peran manusia. Totalitas yang
dimilikinya tidak sepadan dengan keadaan negara. Sangat sulit jika ada dua
institusi beriringan berjalan. Agama hanya bisa sejauh ia difungsikan dari segi
pragmatis. Di situlah maksudku agama harus mengabdi dari negara. Untuk mengatur
dan mempererat kedaulatan negara.
Saya: Dengan pandangan seperti itu, apakah anda ingin mengatakan agama
sebenarnya tidaklah sakral seperti keyakinan gereja?
Niccolo: Saya tidak memiliki keyakinan demikian, keutamaan yang paling bisa
diberikan harga tinggi hanyalah pemerintahan kerajaan.
Saya: Tetapi menurut pendapatku agama adalah jalan keselamatan. Bukankah
demikian? Sebab seperti itulah keyakinan hari ini.
Niccolo: Agama menurutku bukan milik pandai gereja. Terlalu jauh jika
prasangkamu seperti itu. Agama tidak realistis, agama tidak punya pandangan
yang mampu mengatur orang banyak, sebab keselamatan adalah pertautan iman
dengan gereja. Masalah iman itu yang tak ada seorang pun berhak menyelidikinya.
Saya: Kalau boleh saya bertanya, apakah anda menyetujui jalan keselamatan
yang diberikan gereja?
Niccolo: Bukankah pertanyaanmu ini berusaha masuk pada bilik pribadiku?
Menurutku ini pertanyaan retoris, dalam kondisi sekarang kita bukan tak harus
menghindari pertanyaan seperti itu, ini perang, agama bukanlah perang.
Saya: Maksud anda dalam perang agama tak selayaknya ada? Sebaiknya anda
harus menjelaskan ini.
Niccolo: Agama dan perang sebenarnya dua sisi yang ambivalen. Agama selalu
berpusat kepada kematian, sedangkan perang adalah vitalitas untuk
mempertahankan hidup. Dalam perang negaralah yang memainkan perannya. Rajalah
yang berhak menentukan.
Saya: Dapatkah anda menyederhanakan maksudmu? Terutama sifat agama dan
perang yang anda sampaikan.
Niccolo: (Kali ini dia lebih serius menerangkan) Agama sudah saya
katakan tadi, yakni berpusat kepada kematian. Tonggak Iman gereja adalah
peristiwa penyaliban Jesus. Dari sanalah inti segalanya. Proyeksi gereja adalah
alam pasca kehidupan yang mesti dituju, sedang perang adalah kekuatan yang
diorganisir untuk memadukan apa yang ada dengan tujuan hidup itu sendiri.
Mampukah kau melihat perbedaan antara keduanya?
Saya: Iya. Dalam agama tujuanlah pusat proyeksi kita, pasca kehidupan.
Sedangkan perang adalah olahan apa yang kita punyai untuk melanjutkan hidup.
Mudahmudahan saya tidak salah menangkap.
Niccolo: Maka dari itu kekuasaan raja bisa saja berubah dari satu kubu
kepada kubu lainnya. Ia harus pandai memainkan perannya. Raja sejauh ingin
melangsungkan wewenangnya sebagai penguasa, boleh saja melanggar
perjanjianperjanjian dengan pihak manapun. Ini tidak salah, justru bukan salah
ataupun benar dalam hal ini yang menjadi pertimbangannya.
Saya: Inikah yang anda katakan kemahiran seorang raja?
Niccolo: Kemahiran seorang raja terletak pada kemampuannya berbagi peran di
antara dua peran utama. Dia mesti tahu kodrat manusia maupun kodrat binatang
buas. Inilah pengetahuan utama yang harus dimiliki seorang raja. Dengan
menggunakan dua keutamaan inilah kekuasaan raja bisa langgeng. Ketika ia harus
jujur maka jadilah ia sebagai arif yang bijaksana, bertindak manusiawi dan baik
hati. Tetapi ia juga harus pandai kapan menjadi seekor singa untuk mengetahui
perangkapperangkap yang dipasang disekitarnya.
Saya: Apakah pandanganmu ini mewakili dalih dari keadaan yang saat ini
sedang berlangsung?
Niccolo: Dalam kondisi seperti sekarang, yang mampu merangkul
kelompokkelompok kepentinganlah, yang memungkinkan ia bisa keluar sebagai
seorang pemimpin.
Saya: Bagaimana dengan orangorang ini? Orangorang yang juga
punya hak untuk mendapat tempat di hati seorang pemimpin?
Niccolo: Selama seorang pemimpin tidak mengganggu harta warisan yang
dimiliki rakyatnya, maka pandanganku tidak ada kendala sama sekali.
Saya: Artinya pandanganmu ini hanyalah cara untuk keberlangsungan
pemerintahan dapat dipertahankan? Bukan tentang nasib banyak orang ini?
Niccolo: Kurang lebih demikian. Patutnya kau camkan satu hal, bahwa
kematian seorang ayah lebih mudah dilewatkan daripada kehilangan warisan yang
dimilikinya. Inilah kunci dari segala yang mesti diperhitungkan oleh setiap
pemimpin. Kunci yang kiranya bilah pintu pun pasti memiliki, begitupun seni
dalam kepemimpinan.
Juni yang kemarau, di kota Florence, saat semua pintu ditutup rapat.