Antara Jurnalisme dan Filsafat

Konon sikap jurnalis dan filsuf cenderung berbeda terutama memperlakukan kebenaran.

Di tangan  jurnalis kebenaran menjadi pesan informatif. Bagi filsuf kebenaran diberlakukan lebih reflektif. Jurnalis sigap terhadap kenyataan, sementara seorang filsuf justru tenang di hadapan kenyataan.

Seorang jurnalis, menjadikan dunia faktual sebagai titik tolak pena dan kertasnya. Sementara bagi seorang filsuf, dunia faktual tidak lebih penting dibanding dunia abstrak-teoritik sebagai dunia kerjanya.

Dengan kata lain, kesigapan wartawan menjadikan kenyataan luar (fakta) sebagai sumber berita. Sedangkan dunia dalam (makna) merupakan medan “kabar” bagi pikiran reflektif seorang filsuf.

Tetapi apa sesungguhnya hubungan di antara keduanya? Apa sebenarnya sumbangsih keduanya terhadap kehidupan manusia di saat seperti ini?

Sikap filsuf dan seorang jurnalis boleh jadi berbeda menghadapi kebenaran. Namun ada kenyataan yang tidak bisa disanksikan: keduanya didorong hasrat yang sama untuk mengungkap kebenaran.

Dengan kata lain, keduanya sama-sama bekerja dalam perkara yang sama. Seorang filsuf sudah tentu mendedah dan mendaur kebenaran, maka seorang jurnalis, seperti kata Bill Kovach, seorang veteran jurnalis Amerika Serikat, bertugas melayani kepentingan publik dengan melaporkan kebenaran.

Imbas tuntutan yang berbeda, sangat sedikit nama-nama, taruhlah seorang filsuf atau sebaliknya, seorang jurnalis, yang bergerak di antara irisan dunia filsafat dan jurnalisme.

Filsafat kadang menilai realitas sebagai medan kompleks di balik kenyataan yang sederhana. Atau sebaliknya, di balik kenyataan sederhana tersembunyi fenomena kompleks.

Sedangkan di mata seorang  jurnalis, entah berupa kenyataan sederhana atau kompleks, jika itu adalah kebenaran, keduanya mau tidak mau mesti dikabarkan.

Barangkali hanya Jean Paul Sartre atau Albert Camus, yang berani mengabdi di dalam dunia yang berbeda itu.

Keduanya di masa pasca Perang Dunia ke-2, kerap menulis di media massa Perancis. Sartre maupun Camus memperagakan praktik jurnalisme sebagai medium manyatakan gagasan filosofisnya. Atau, Hannah Arendt melaporkan hasil reportasenya menyangkut kekejaman Nazi melalui wawancaranya terhadap Adolf Eichmann, sekitar 1960-an. Selebihnya tak banyak nama filsuf yang mau melibatkan diri pada kegiatan jurnalisme, atau sebaliknya.

Tetapi apakah keduanya tak bisa didamaikan di mana keduanya justru bisa saling memberikan arti satu sama lain? Mengingat praktik jurnalisme sudah dicontohkan Plato dari 2500 tahun yang lalu?
Karangan Platon, Dialog¸ sadar tidak sadar adalah hasil reportase. Ia merekam detik-detik terakhir Socrates menjelang kematian. Dari reportase Platon itu, yang mewakili suara Socrates, dunia bisa paham tentang risiko kebenaran: kematian.

Selain kematian, apa sesungguhnya risiko jurnalisme dan filsafat yang lain? Apa maksud kejujuran bagi keduanya. Apa pesan bisa kita peroleh dari kematian seorang Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin, misalnya, setelah nyawanya direnggut orang-orang tidak dikenal? Apakah kita harus bersedih hati dari kematian seorang jurnalis ataukah seorang filsuf? Ketika kebenaran pada akhirnya tak pernah sampai kepada khalayak?




JURNALISME dunia yang memperjuangkan kebenaran adalah dunia yang mengedepankan akurasi atas fakta-fakta temuan. Sebuah informasi harus bernilai objektif seperti terjadi di lapangan. Demikan karena jurnalisme mengharamkan interest pribadi. Opini adalah barang haram yang merusak nilai sebuah informasi. Maka dari itu seorang jurnalis harus mengerti tentang batas antara kepentingan pribadi dengan objektifitas suatu temuan lapangan.

Sementara filsafat tidak berhenti sampai batas dunia faktual kegiatan jurnalistik. Sang filsuf tidak ingin begitu saja menerima kenyataan apa adanya seperti di mata seorang jurnalis. Pekerjaan filsuf justru masuk di balik penampakan fenomena.

Artinya, seorang filsuf akan menimbang fenomena dari sudut pandang tertentu. Ia bekerja berdasarkan kategori-kategori logis yang bisa saja berbeda dari fenomena di hadapannya. Dari pengertian inilah barangkali Marx berangkat: tugas seorang filsuf bukan sekedar menangkap kenyataan, melainkan turut mengubahnya.




AWALNYA melalui tulisan ini saya ingin menulis sesuatu berkaitan dengan media massa. Tentang posisi media massa di keberbagaian kepentingan politik dan pasar. Namun, apalah dikata, terkadang sulit mengapresiasi ide-ide ke dalam lembaran bahasa yang layak. Apalagi, belakangan muncul kekhawatiran terhadap kekuatan kata. Kata-kata di era deru deras revolusi komunikasi, malah acapkali sulit dipertanggungjawabkan.

Maka saya akhiri saja tulisan ini walaupun nawaitu tulisan ini belum dapat terealisasi.