Beberapa waktu yang lalu kita di hebohkan oleh hiruk
pikuk pemberitaan media massa dari tayangan yang tak biasa. Tayangan yang dapat
di unduh di youtube ini memutar rekaman video Vicky terkait dengan
pertunangannya dengan artis papan atas Zaskia Gotik, penyanyi dangdut yang
dikenal dengan goyang itiknya. Dalam video yang berdurasi hampir satu menit itu
memuat bahasa Vicky yang terdengar janggal dan aneh.
Video yang banyak menyedot perhatian masyarakat itu,
nampak Vicky mencampuradukkan kosa kata inggris dan Indonesia tanpa
memperhatikan struktur atau kaidah bahasa formal yang sering di gunakan. Dalam
video itu kata-kata semisal kontroversi hati, konspirasi kemakmuran,
harmonisisasi, statusisasi kemakmuran, dan labil ekonomi digunakan Vicky
tanpa di dahului mengenal konteks pembicaraannya. Bahasa-bahasa demikian
dicampur adukkan begitu saja sehingga terkesan intelektual dan cerdas.
Goenawan Mohammad, seorang budayawan, menyebutkan dalam akun twitternya bahwa gejala bahasa yang tampak dari video Vicky dan Zaskia gotik adalah gumpalan gunung es yang mengendap dari faktor kemalasan bahasa dalam menelaah dan menerjemahkan kata asing. Sehingga dari apa yang di katakan oleh GM membukakan sebuah fenomena kebudayaan yang hari ini sering menjadi mode kehidupan masyarakat kita; budaya latah. Namun dalam apa yang di maktubkan oleh Deleuze dan Guattari, filsuf kontemporer Prancis, dalam fenomena seperti yang ditampilkan dalam video Vicky disebut dengan gejala skizofrenia. Gejala kebudayaan yang kehilangan penandaan dan simpang siurnya makna untuk terpahami dikarenakan abnormalitas dan pelanggaran terhadap apa yang menjadi aturannya terutama pemutarbalikan bahasa.
Cermin Kebudayaan
Ada yang menarik dalam tulisan Marwan Mas Guru Besar Ilmu
Hukum 45 beberapa waktu yang lalu yang termuat di harian Tribun Timur
Makassar(12 september 2013),. Tulisan yang menyoroti bahasa-bahasa sandi dalam
kasus korupsi “dagang sapi” yang sampai hari ini masih dalam tahap
penyelidikan. Dan juga beberapa kasus serupa yang kerap kali mendatangkan
kesalahan analisis di akibatkan oleh penggunaan bahasa yang simpang siur.
Sementara bahasa kita ketahui adalah salah satu matra kebudayaan yang begitu
fundamental untuk membentuk struktur pengetahuan. Di mana dalam jaman
keterbukaan seperti sekarang penggunaan bahasa demikian menjadi cermin sejauh
mana kebudayaan kita bergerak.
Penggunaan bahasa Skizofrenik seperti apa yang di soroti
oleh Marwan Mas dimana menggejala pada bidang hukum, juga di alami pada bidang
politik. Banyak contoh yang bisa kita angkat dalam fenomena perpolitikan yang
mana diketahui bersama sering kali menggunakan teknik pemutarbalikkan bahasa
untuk mengangkat citra dari orang-orang yang bergelut dalam dinamika politik.
Tetapi sesungguhnya dua elemen kehidupan seperti bidang hukum dan politik
sebenaranya adalah tolok ukur kebudayaan kita dalam mengapresiasi bahasa
sebagai bahan baku komunikasi yang mengedepankan etika komunikasi.
Pertanyaannya sekarang apakah bahasa yang selama ini kita pakai adalah
fenomena kebudayaan yang mencerminkan sejauh mana kita memaknai tingkat
penghayatan etika komunikasi ataukah jauh dari itu kita justru terjebak pada
gejala kebudayaan skizofrenik yang mengalami pendangkalan makna bahasa.
Gejala seperti ini juga dapat kita temukan pada
level grassroot terutama pada kehidupan anak-anak muda
sekarang. Bahasa slang semisal cemungud, kepo,
cius dsb, adalah gejala kebudayaan kita yang tengah mengalami proses
pendangkalan. Fenomena seperti ini bisa jadi menjadi indikator bahasa Indonesia
mengalami kemandegkan dalam merespon kemajuan zaman yang serba cepat dan
kompleks. Sehingga bisa saja bahasa seperti demikian mengacaukan konstalasi
pengetahuan yang menjadi isi dalam komunikasi.
Hilangnya Ontentisitas
Apa yang sebenarnya terjadi dalam alam bahasa kita,
sebenarnya adalah gejala yang dipengaruhi oleh alam kebudayaan kontemporer
seperti sekarang ini. Penggunaan bahasa yang tumpang tindih secara pemaknaan
(skizofrenik) merupakan dampak dari budaya populer yang marak kita saksikan.
Budaya populer sederhananya bisa kita maknai dalam
pengertian gejala kebudayaan yang menjadikan pasar sebagai ukurannya. Atau
kepopuleran sebagai asasnya. Fenomena Miss World yang ditolak oleh sebahagian
kalangan bisa jadi karena efek populer yang diberikan oleh penyelenggaraan
perempuan sejagad ini. Dengan hadirnya pegelaran seperti Miss Word, maka makna
otentik dari sebuah nilai kebudayaan bisa saja akan hilang.
Misalnya makna cantik dimata seorang bisa saja di
visualisasikan berdasarkan kecantikan yang disuguhkan oleh apa yang dimunculkan
dari pegelaran Miss World. Sementara kecantikan versi budaya lokal tak selama harus
dimaknai sebagai orang-orang yang pandai berpose di layar kaca.
Bahasa dan kebudayaan memanglah dua matra yang
mencerminkan sejauh mana tingkat otentisitas masyarakat dalam mempertahankan
identitas local widom-nya. Yang mana kita ketahui salah satu indikator
kebudayaan adalah intelektualitas masyarakatnya dalam penggunaan bahasa sebagai
media komunikasinya. Sebab bagaimanapun bahasa adalah cermin dari keseluruhan
pengalaman si pemakainya. Sehingga fenomena kebahasaan yang di bahasakan
sebelumnya bisa berdampak pada hilangnya budaya lokal yang menjadi identitas
sebuah masyarakat. Maka benarlah statement yang sering kita
dengarkan bahwa bahasa sebenarnya adalah tolok ukur dunia kebudayaan sebuah
masyarakat. Bahwa bahasa sesungguhnya adalah cermin dunia .[]