Di siang itu, kala hujan lebat, jalanjalan basah tergenangi air, kehidupan kita, seperti ungkapan Jerman: lebenswelt tengah berjalan tanpa penghujung. Dunia yang kita hayati dengan cita dan harap. Kehidupan manusia yang jatuh bangun di tengah harapan yang kembang kempis.
Maknamakna yang ditata berdasarkan persentuhan manusia terhadap penghujung
sejarah yang panjang; penghidupan yang naik turun, riuh rendah nasib yang
diperjuangkan, ketika insting bertahan hidup kerap kali mendapatkan ujiannya
pada harapan yang tipis. Maka di siang itu sebuah peristiwa terjadi.
Di tengahtengah itu, pada penghujan yang
enggan berhenti, saya membayangkan sejulur tangan menulis dengan penanya, untuk
zaman kita. Untuk ia kirimkan tepat di tengah jantung peradaban kehidupan kita.
Sebuah surat yang datang dari penghujung abad 19 dengan maknanya yang privatif.
Pesan yang begitu pribadi, ia memiliki kesan yang tertutup. Ketika segalanya
tengah terbuka lebar, ketika perihal yang mempribadi terbuka untuk orang
banyak, dan terjadinya erosi pemaknaan dan pembalikkan nilai di manamana.
Sebuah surat bisa menjadi sesuatu yang mitis. Dari seorang yang senang
memanggil dirinya sebagai seorang tabib, seorang filsuf pencuriga; Nietzsche.
Secarik surat dari pengalaman sakit dan pencarian akan obat. Yang
mana hidup adalah pengalaman untuk mentransfigurasikan sesuatu. Mengenai seni
memberi bentukbentuk pada pengalaman manusia.
Dan pengalaman hidup manusia yang kita hidupi
adalah hidup yang sakit. Di mana ada kepongahan yang hendak menundukkan.
Tentang telos yang dikehendaki untuk masuk pada rumusan yang
ajeg. Tentang ini, reality adalah konsep dalam batas yang kita
padatkan. Oleh ilmu, sains, ideology, agama, seni dan kepercayaan
yang dilabeli ismeisme lainnya, di mana sejatinya ada instingtif yang mengendap
untuk menutupi kelemahan kita sebagai manusia. Yang mana tampak dengan bahasa,
kepercayaan yang begitu ambisius sehingga jangan sampai hanyalah berupa simtom,
berupa gejala, berupa yang bukan inti itu sendiri. Di mana seluruhnya adalah
perayaan terhadap penampakan, perayaan terhadap permukaan.
Ia menulis dalam Beyond the Good and Evil,
270, sebuah paradox kedalaman. Akan sesuatu yang dilakukan. Tentang
sesuatu yang di alami;
‘…Penderitaan yang dahsyat meninggratkan
manusia sekaligus mengisolasi dirinya. Di satu sisi pengalaman berhadapan dengan
jurang rasa sakit, membuat orang lebih tajam. Namun disisi lain ia menjadi
berbeda dari sesamanya. Ia menjadi lain. Rasa bangga intelektual diamdiam
seorang penderita mengharuskan si penderita untuk memakai berbagai macam
samaran untuk melindungi dirinya dari tangantangan yang tak tahu
diri dan tak senonoh juga untuk melindungi dirinya dari
orangorang yang tak sederajat dengan dirinya dalam hal penderitaan. Pengalaman
ini begitu dahsyat dan berat, sehingga membuat sang penderita menggunakan
berbagai bentuk topeng untuk menyamarkannya. Dan penyamaran sekali
lagi berfungsi ganda, untuk membuatnya tak dikenali oleh sembarangan orang,
sekaligus untuk menyuarakan secara lebih keras apa yang memang tidak bisa
disuarakan secara lain kecuali lewat topeng, lewat permukaan, lewat
penyamaran….’
Ia berkeyakinan, di saat penuhnya kalangan
terdidik, orangorang yang berkisar dalam lingkaran kebenaran atau orangorang
yang telah menjadi lain dari yang awam, sesungguhnya adalah si penderita yang
telah menjadi lain, penderita yang sesungguhnya bermain pada permukaan. Di mana
permukaan adalah satusatunya yang ada, ketika dibalik topeng tiadalah sesuatu. Maka
kebenaran adalah suatu yang tiada. Sehingga tiada yang tinggal dari
ilmu, melainkan hanyalah permukaan belaka. Tiada makna yang hendak untuk
disampaikan. Tak ada tataran meta yang ada, segalanya hilang. Yang ada adalah
metaphor diantara kedalaman dan permukaan. Hidup hanyalah topeng untuk
membentengi kelemahan.
Dan keadaanya memang demikian adanya. Kita
bisa saja mengyakini sesuatu yang memberikan kita pegangan. Namun di mata
pencuriga, keyakinan hanyalah bayang yang kita bentuk, tatanan yang kita kehendaki
berdasarkan mekanisme diri untuk keluar dari mental yang sakit. Sebab zaman
hanyalah kematian akan inti, ketika apa yang kita kenal sebagai zaman kemajuan
tak lain hanyalah meningratkan sekaligus mengisolasi diri sendiri.
Dalam kata pengantarnya;
‘..Untuk mengakhiri semoga yang esensial
tidak terlupakan dari jurang semacam itu, dari kelelahan seperti itu,
seperti halnya dengan rasa capek kecurigaan yang begitu
besar. Kita dilahirkan kembali sekali lagi. Dengan kulit baru yang lebih peka,
lebih licik dengan citacita akan kegembiraan yang lebih halus, lidah yang lebih
peka atas apa saja yang baik. Indera yang lebih gembira dengan kepolosan rasa
gembira yang kedua yang lebih berbahaya karena sekaligus lebih naïf dan seratus
kali lebih halus daripada sebelumnya. Oh betapa tampak menjijikkan, tidak
senonoh, hambar dan menjemukkan bagi kalian, kenikmatan sebagaimana dimaksud
biasanya dimaksud pemuja kenikmatan yaitu orangorang berpendidikan kita,
orangorang kaya kita dan para pemimpin pemerintah kita.
Sekarang kita menonton dengan pandangan
mengejek nakal, riuh rendah pasar dimana para orang terdidik, para warga Negara
membiarkan diri mereka diperkosa oleh seni, buku, musik yang maunya memberikan
kenikmatan spiritual lewat daya minuman berakhohol. Betapa lengking teatrikal
nafsu derita memecahkan gendang telinga kita. Betapa segala pemberontakan
romantis, segala campur aduk indera yang diapresiasi oleh para
orang terdidik itu dengan seluruh aspirasi mereka kepada yang tak
bisa diusapkan, ke ekstase, ke yang hiper rumit, betapa itu semua menjadi asing
untuk cita rasa kita.
Tidak. Kita orangorang yang sembuh
yang berbeda, kita pun masih akan membutuhkan sebuah
seni, seni yang sama sekali lain..’
Segalanya adalah cacat yang menganga. Apa
yang dinisbatkan sebagai kenyataan oleh kepercayaan adalah dunia yang retak.
Bahkan segalanya adalah sesuatu yang chaotic terserak dan
berpencar. Sehingga dengan kepongahan manusia berusaha untuk menundukkannya
pada batas ilmu maupun kepercayaan mereka, namun dalam kenyataannya diwaktu
yang sama, ketika hidup manusia telah meninggalkan zaman yang primordial, pada
saat yang sama justeru lebih menjijikkan dari masa sebelumnya. Tidak
senonoh, menjemukkan dan hambar. Sesuatu kenikmatan yang
seakanakan sudah fixed dan final. Dalam bahasanya, kita adalah
orang yang terperangkap dalam alkohol yang memabukkan. Dan kita terasing. Dan
seringkali tak sopan dihadapan realitas.
Dalam tulisannya yang lain ia mengendaki
adanya sosok misteri yang tampil bukan untuk dikenali dengan pasti. Sesuatu
yang kedatangannya dalam bentuk samar dibalik topeng yang diperlihatkan. Sang
Diogenes yang dahsyat, saya merindukan dewa topeng, saya membutuhkan dewa
yang pandai menari katanya.