kindness

Bagaimana kita harus bercerita tentang kebaikan: suatu nilai yang tanpa cacat. Nilai yang kita anggapkan ada pada diri manusia? Mengenai perkataan dan sikap yang kita lakukan. Di mana dia ada pada apa yang kita berikan dan apa yang kita terima. Baik sikap dan tutur selalu mengisyaratkan kehadiran sesuatu kondisi, yang mana pada akhirnya kita tekadang mengharap balasan datang sesegera mungkin. Ini menyangkut sejauh mana kita menerapkan nilai kemanusiaan pada apa yang kita selalu perbuat. Dan tentang ini, Immanuel Kant sudah mewanti-wanti : kebaikan bukanlah perihal isyarat tentang balasan, bukan untuk sesuatu yang diluar dari dirinya, tetapi memang untuk kebaikan itu sendiri. Itu berarti Kebaikan bukan keadaan yang menuntut sesuatu keluar dari otonomisasinya, melainkan demi kebaikan itu sendiri.

Namun bagaimana kebaikan harus kita duduk perkarakan, jika sekarang kita berada pada pusat yang penuh pamrih? Hidup yang menyertakan balasan dan terkadang pilihan dari apa yang diperbuat oleh kita dituntut masuk dalam kategori “pilihan rasional”. Yang mana penggunaan rasio berarti bagaimana agar manusia bisa selamat sentosa, sehingga pada pilihan itu ada tujuan yang enggan kita pendam.

Rasio dan rasionalitas memanglah dua fakultas yang setali tiga uang. Rasio selalu menuntut jalan untuk dapat bekerja, dan rasionalitas adalah media yang memberikan jalan bagi rasio untuk dapat bekerja. Maka dari itu, dimana ada rasionalitas maka disitu ada upaya rasio untuk membela diri. Lantas tentang ini, semuanya menuntut hadirnya kejelasan; sebuah alasan yang diharuskan masuk akal, atau dengan kata lain logis dengan caranya sendiri: membangun argumentasi dengan tujuan memurnikan rasio. Maka prasyarat-prasyarat pun muncul, memberikan landasan bagi bekerjanya sosok dari yang disebut sebagai imperative-imperative yang dengannya seluruh hasil ditakar. Dan ini berarti, seluruh tutur dan perbuatan kita menjadi tak murni dari sejumlah syarat-syarat dimana proposisi-proposisi yang terbangun berkisar pada pernyataan yang bermain pada konteks “Jika-Maka”.

Bagaimana kita harus berbicara tentang kebaikan?Apakah kebaikan adalah isyarat kemanusiaan yang menuntut sejumlah syarat?

Mungkin saja kebaikan adalah kandungan nilai yang tak membutuhkan tuntutan dimana ia harus berada dan pada siapa. Yang artinya ia merupakan nilai yang berada pada saya, anda, dia, mereka, seorang pekerja bangunan, presiden sebuah negeri, tukang nyabu, pelacur, seorang pedagang asongan, seorang Ulama, seterusnya dan seterusnya, dan bisa jadi ada di kantor, jalan raya, gereja, diskotik, gang-gang sebelah rumah anda, kamar anda, dalam bis kota, mobil pejabat, dan  seterusnya dan seterusnya. Namun apa yang luput dari pandangan seseorang, tentang bagaimana cara kita memandang sesuatu, kebaikan sekalipun. Seperti empat orang fotografer yang mengambil objek bangunan yang berbeda sisi. Maka disinilah, kebaikan sarat akan banyak arti, dan posisi menjadi hal yang harus dipertimbangkan pula.

Tetapi bagaimana kita harus berbicara tentang kebaikan?
Pada zaman yang meninggikan rasionalitas?

Jean Valjean mungkin heran, bingung ataukah meragu, tetapi kemungkinan besar ia bertanya-tanya; mengapa ia dibebaskan dari dakwaan sipir polisi, tentang dugaan pencurian. Setelah ia dinyatakan tak mencuri oleh Pendeta, korban dari Jean Valjean. Padahal pembaca Les Miserable tahu, Jean Valjean mencuri pada saat yang lain terlelap pulas di malam harinya, termasuk sang Pendeta yang bersedia menampungnya. Dan kemudian lari  dengan gegas membawa barang curiannya berupa sejumlah perabot makan yang terbuat dari perak. 

Namun ia bebas berkat pengakuan pendeta dipagi harinya setelah ia ditangkap dan dibawa kekediaman tempat ia ditampung oleh sipir polisi. Lewat pengakuan pendeta bahwa ia-Jean Valjean- tak mencuri melainkan curian yang dibawanya justeru pemberiann darinya, maka Jean Valjean dinyatakan tak bersalah. Dan Jean Valjean bebas. Namun tidak berarti Jean Valjean bebas dengan penuh, setidaknya dari tanda tanya yang berada dalam kepalanya: Mengapa Pendeta ini, yang telah menampungku, yang darinya aku mencuri perangkat perak perabot makan justeru berbalik berbuat baik padaku. Kira-kira seperti itu ungkapan batin Valjean.

Victor Hugo dengan Les Miserables-nya memang fenomenal. Namun yang paling fenomenal bagi saya adalah cerita diatas. Yang merupakan cerita pembuka pada novelnya. Momen tentang Jean Valjean-mantan narapidana yang pada zamannya dianggap berbahaya dan tak layak dikasihani- saat diperhadapkan pada kondisi yang sulit, antara kurungan penjara-bisa jadi hukuman seumur hidup pada zamannya- dan masa depannya yang tak jelas tentunya, tapi perbandingannya jelas; Kurungan penjara dengan pengawasan ketat sipir dengan hidup yang lepas dari penderitaan kerja paksa selama masa kurungan. Tetapi Jean Valjean Lolos dari situasi yang tak diharapkannya berkat kebaikan pendeta.

Dan kita tahu berkat kebaikan seorang Pendeta, seorangnya lagi terbebas dari perangai keburukan-Jean Valjean diceritakan pada Les Miserables, serentak berubah dengan banyak berbuat kebaikan berkat kebaikan yang ia terima dari pendeta- Disini Victor Hugo memberikan pandangan bahwasannya kebaikan bukan tentang siapa yang layak menerima dan dalam posisi apa ia, melainkan memang hak semua orang.

Mungkin dari itulah kita pun harus mengerti bahwa kebaikan tak datang dengan ketentuan posisi seseorang dalam melihat posisi sesorang lainnya. Bahwasannya kebaikan tak selalu harus berasal dari yang punya status tinggi. Karena bisa jadi kebaikan bisa juga menjadi kepunyaan orang-orang yang diapit kesusahan.

Bagaimana kita harus mengungkap kebaikan pada diri?
Ketika orang-orang telah lupa? Pada siapa dan untuk apa  berbuat?