Tatal; entah kesekekian kalinya, tentang Iman.


Siang ini langit begitu terik. Suara itu datang dengan timbul tenggelam, hampir mendekati jelas penuh. Tapi siapa pun yang kerap  beberapa kali mendengarnya pasti tahu betul siapa milik suara yang hampir mendekati bunyi sengau itu. Suara itu terkadang, di beberapa waktu tertentu berasal dari atas mimbar, tapi kali ini berbeda; suara itu datang dari hanphone atau bisa jadi radio yang diputar pada frekuensi tertentu. Tapi yang jelas suara itu, suara seorang penceramah, saya yakin betul, suara yang saya dengar itu, diseberang rumah yang lapuk itu, suara milik Alm. KH. Zainuddin MZ.

Zainuddin MZ telah wafat, namun bila gajah mati meninggalkan gadingnya, maka Zainuddin MZ mati meninggalkan sepercik iman pada para pendengarnya. Dan hari ini, iman itu datang pada siang yang benderang, yang mana ceramahnya lebih abadi dibanding si empunya. Iman itu datang dan diperdengarkan ditengah keluarga kecil dengan rumah yang mendekati defenisi gubuk itu. Siang ini, di keluarga itu- yang di bawah atapnya terputar rekam suara da’i sejuta ummat itu, yang dibawah atapnya tak ada penandaan akan kesan seperti sebuah rumah selayaknya; TV, Refrigerator, ac, mesin cuci, seterusnya dan seterusnya, yang hampir seluruh bangunannya tersusun atas susun seng-seng bekas- mengisyaratkan bahwa iman bukan soal untuk di perdebatkan, yang mana iman dengan legowo mesti di terima tanpa  harus mengikutsertakan keraguan.

Mungkin iman seperti inilah yang di kehendaki oleh kalangan sufis, iman yang datang dengan tanpa keraguan, sekalipun itu menghendaki penjelasan, sebab iman yang disertai penjelasan adalah iman yang belum penuh seluruh, yang mana kejelasan masih dalam rangkai yang terpotong. Iman dalam  bentuk seperti ini adalah iman yang menerima kehadiran yang ilahiat, dengan tuhan sebagai yang berada pada segala kehadiran yang temporal. Dengan begitu, maka hidup hanyalah bagaimana menjalankan apa yang telah diyakini betul untuk menjalani lakon yang telah diberikan.

Entah apakah keluarga kecil itu tahu, bahwa apa yang mungkin saja mereka yakini pernah menjadi diskursus yang hidup sampai saat ini. Perbincangan tentang hal yang absolut; ihwal yang akhirnya membentuk gugus yang diyakini sebagai pegangan hidup. Iman sebagai pegangan hidup, agaknya bukanlah sebuah kongklusi yang final, yang sebelumnya lahir dari bentuk pikir yang rigoris. Iman seperti ini, nampaknya dimulai dan diakhiri dengan kepastian yang bisa berujung pada konsep yang tunggal, dan sejarah punya kisah tentang itu, bahwa demi yang tunggal itu, manusia membangun tiang pancang dan tembok kokoh untuk melindungi keyakinan yang absolut.

Maka pada keluarga kecil itu, saya teringat tentang sebuah pengertian iman yang lain, bukan iman yang padu kemudian berhenti pada titik yang pasti, melainkan iman yang seringkali harus patah ditengah jalan dan ditata pada langkah yang selanjutnya, dan begitu seterusnya, sebuah jalan yang tak punya ujung, iman yang bukan sekedar komitmen untuk benar, melainkan iman yang sedianya bisa bangkit untuk di susun kembali, dimana merupakan suatu penerjunan diri ke dalam suatu proses yang sepenuhnya berlangsung dalam hidup, dengan segala gejolaknya.

Iman seperti ini, mungkin bukanlah iman yang dipahami sebagai sebentuk pegangangan pasti bagi orang-orang yang menghendaki defenisi. Dimana terkadang dan barangkali sudah jadi sifat defenisi; membatasi. Sebab kita tahu, pekerjaan defenisi menghendaki penyingkiran akan adanya pengertian yang berbeda untuk di universalkan. Dan disinilah sebabnya, sesuatu yang universal menghendaki hilangnya semangat partikularitas. Seperti keluarga kecil itu; iman bukan soal yang rapat dan mapat pada defenisi teologis yang tak menerima perbedaan pengertian iman. Sebab barangkali bagi mereka iman itu sederhana. Seuatu yang tinggal dijalani.[]

Karunrung, 26 Maret 2012.