Pernahkah kau terima hutan seperti
aku terima hutan, sebagai rumah tinggal, bukan istana..
Pernahkah kau buat rumput jadi
ranjang dan berselimutkan luasnya ruang, merasa daif di hadapan yang kelak, dan
lupa akan waktu silam yang hilang..-Fairouz-
Disana tiada batas pada deret
angka-angka. Tiada batasan umur. Tiada pula keterpilahan ruang. Menyatu
menjadi centang perentangan dialektis
menuju pada titik yang sama. Kami melabeli titik itu dengan pilihan kata
tunggal; Revolusi. Sebuah petanda yang dipilih dari ikhtiar, kata yang
ditempatkan diujung makna yang bukan untuk ruang kosong. Ini bukanlah kata eksposisi, bahasa yang
memaut makna dan mati pada waktu setelah sejarah merentang. Melainkan kata yang
simbolis. Seperti bahasa Ali Syariati: Suatu bahasa simbolik adalah bahasa yang
paling indah dan halus dari seluruh bahasa yang pernah dikembangkan manusia1.
Bahasa yang abadi dengan dimensi makna yang berlapis dan bertingkat. Dari kata
inilah gerak kami bermula.
Revolusi acap kali datang disaat
suasana menjadi seperti sebuah surau yang suram, gelap. Dimana pada level metafora menjadi petanda
kejahiliaan. Tata hidup manusia yang
terpenjara dari tapal-tapal yang memenjarakan, memisahkan antara yang nyata dan yang semu. Situasi kelupa akan bersik cahaya “benar”
yang universal. Revolusi punya kekuatannya sendiri, memiliki sumbunya disetiap
tempat, tinggal siapa yang menjadi pemantik. Itu saja awal revolusi; pemantik.
Seperti latar abad pencerahan,
revolusi memiliki pemantiknya. Orang-orang yang melabrak dogma gereja. Ketika
gereja menjadi candu, memutarbalikkan yang “imanen” ke hal yang “transenden”,
yang “rendah” menuju lapis langit yang “jauh” dari peri hidup masyarakat.
Mematikan nalar yang terpasung oleh berjubel-jubel kitab suci. Kondisi pun
menjadi kalut, masyarakat hanya menuai hidup dibawah podium-podium para
pendeta. Saat-saat inilah bermunculan orang-orang yang resah, galau, khawatir
tentang hidup yang dikotomis, kehidupan yang menata yang “disana” lebih penting
dari yang “disini” dan yang “sekarang”. Maka dimulailah era itu, era “pencerahan”. Situasi dimana manusia menjadi pendulum sejarahnya sendiri. Situasi
yang membilangkan bahwa bukan Tuhanlah penentu hari ini dan esok, sebab manusia
dicipta berdasarkan kehendak mutlaknya sendiri.
Revolusi juga bukan segerombolan
orang-orang yang hiruk pikuk dengan slogan-slogan perjuangan. Revolusi tak
sekedar jargon retoris. Revolusi setidaknya bisa kita pahami dari apa yang
dirunutkan Weber, Dimana sang manusia
besar, ide dan keterlibatan yang besar, menempati ruang sejarahnya sendiri.
Simaklah sejarah Revolusi, selalu memiliki manusia besarnya masing-masing. Lantas apa yang menjadi arah ideal dari
sebuah perubahan yang berayun? Barangkali
ide, gagasan yang disemai, disuburkan dengan proses dialektis mendapati
fungsinya sebagai pelopor sebuah gerakan yang mana massa rakyat turut memegang
kemudinya. Setidaknya itulah bahasa Ali Syariati, bahwa tugas primer seorang intelektual adalah
membangun massa rakayat. Syahdan, Revolusi adalah keterjalinan diantara
komponen-komponennya.
Maka tibalah kita dimasa sekarang
dan mendatang. Dari mana kita mesti mulai?2 Kita bukanlah orang-orang yang
hidup di zaman masa lalu. Tidak berdiri ditepian zaman, bahkan kita berada
ditengah-tengahnya. Kitalah zaman itu, zaman yang tunggal. Melihat dari mata
yang sama, bertindak dari tindakan yang sama. Revolusi kita tidaklah sama dalam
bahasa reaksi Marxian, bahwa akan tiba masa dimana para penjarah akan dijarah3.
Revolusi kita tidaklah secara naratif dari apa yang tercermin dalam perkataan
Bakunin pemusnahan semua prinsip otoritas dan kenegaraan, yang dalam
kemunafikannya ingin membuat manusia bermoral dan berbudaya, tetapi yang sampai
sekarang selalu memperbudak, mengeksploitasi dan menghancurkan mereka.4 Itu
adalah ideology yang semu, Oleh tutur lisan Marx Kesadaran Palsu. Pranata
pikiran yang berisikan ajaran yang secara esensial justru menghadirkan para
diktator tak bermoral. Kaum religius yang mewah dengan pundi-pundi amal serta
sarjanawan yang terperangkap dari kehendak para tetua.
Revolusi barangkali adalah
menelanjangi diri sendiri, bersedia menghadapkan diri pada fragmen-fragmen yang
kontradiksi, telanjang pada diri-diri yang banyak hingga kita tahu ternyata
kita bersama sekaligus menentang. Ada sekaligus meniadakan. Revolusi adalah
bahasa vulgar, bahasa yang simbolis, menautkan setiap peristiwa-peristiwa besar
dalam perilaku yang sederhana. Setidaknya Revolusi tidak sekedar menjatuhkan
seorang diktator dari tahktanya, lebih jauh dari itu berusaha menjatuhkan
“diri” dari tahktanya. Selayaknya dalam kondisi yang paling sublim revolusi
adalah mengubah hal yang biasa menjadi tak biasa. Karena mungkin saja sehelai
daun yang jatuh lebih dahsyat dari jatuhnya seorang kaizar 5.
---
1. Ali Syariati, Tugas Cendikiawan Muslim
2. Ali Syariati, Suatu Pendekatan untuk
Memahami Islam
3. Michael Newman, Sosialisme Abad 21
4. Bakunin, www.google.co.id/ Bakunin, diakses pada 24 Februari 2011
5. Tri Wibowo BS, Gunung Makrifat
Makassar, 25 Februari 2011