Di Tengah Madah; Alegoristik

'Madah masih saja terus berlari. Langkahnya semakin berat. Dan malam masih sama; gelap berkalang kabut. Selebihnya dingin.'

Sudahkah engkau tahu, tentang pengandaian yang mengandung kompleksitas permasalahan bilamana sebuah isyarat akan tesampaikan? Mengenai medan masalah yang secara teoritis mempunyai lapis kedalaman untuk diselami? Yang mana kemertian terkadang jatuh tergelincir pada situasi yang subtil; ketidaktahuan. Dapatkah engkau memahaminya? Perihal  dari apa yang saya tenggarai? Barangkali saja engkau sudah terlanjur tidak mengerti, tentang triadikal itu. Tentang konsep yang berunut panjang dilingkungan ahli bahasa. Mengenai sebuah pesan yang mendatangkan permasalahannya jika ia dituturkan?

Bahasa adalah isyarat pesan. Sebuah pengandaian untuk mengungkapkan kenyataan. Seperti itulah barangkali yang kupahami tentang bahasa. Barangkali juga dahulu pada masa yang lampau, masa ketika manusia menjadi asing, kenyataan hanyalah ia yang belum terkenali. Selubung cangkang yang berkalang tebal misteri. Kemudian manusia datang dan menyadari. Tentang selubung kenyataan yang sama sekali anonim. Dimana disituasi demikian, situasi yang bias pada ketertutupannya, manusia pun takjub. Kemudian akhirnya ia berbahasa.

Dan di sanalah bahasa menjadi bentuk pengungkapan dari apa yang tersaksikan. Menjadi media bagi kita untuk memediasi ruang antara. Sebuah ruang yang kita sebut konsepsi, dengan tujuan menengahi persentuhan kita saat berhubungan dengan kenyataan.

Namun adakah yang memahami betul, pun engkau? Bahwa bahasa bisa mendatangkan soal? Bahwa bahasa juga bisa menjadi hulu perkara? Jika disana mengandung kompleksitas yang akut. Yang mana dirinya menjadi soal. Jika tanda antara 'yang menandai' dan dengan 'yang ditandai' mengalami bias, mengalami kesenjangan. Dimana bukan saja kesenjangan, melainkan diantaranya tiada memiliki hubungan sama sekali. Tentang ini mereka, kalangan ahli bahasa itu, menyebutnya sebagai kasus kesemenamenaan; arbiter.

Maka dari kesemenaan itu, ketidakmengertian bisa datang meliputi. Serempak dan menipu. Sebab siapa duga, bahasa dengan maksudnya yang murni hendak menyatakan dunia kenyataan, justru menjadi soal sendiri. Akhirnya bahasa muncul dalam kevulgarannya yang paling ekstrim; banalitas. Dan disanalah saatsaat makna menjadi langka. Disaat inilah bahasa harus dikuak. Sebab bahasa telah bergeser melencengi tugasnya. Saat ini juga dimana makna yang telah langka harus diperjuangkan.

Namun, masihkah engkau menyimak? Persoalannya; mungkinkah bahasa tampil sebagai perwujudan kenyataan itu sendiri atau bilamana ia menjadi jejaring yang memerangkap kenyataan? Dahulu, pada alaf yang lain, bahasa dipakai dan disambut sebagai optik kenyataan. Bertugas menjadi ceruk untuk menampilkan kenyataan. Oleh karenanya, kenyataan lewat bahasa dapat tersajikan dan tesampaikan. Namun pada sekarang, dunia dengan erosi dimanamana, hadir dengan peradangan yang akut betul. 

Yang mana bahasa tiada fungsi selain untuk mendompleng kuasa. Dan malangnya, bahasa yang demikian, yang mengandung kecacatan fungsi itu, oleh apa yang kita sebut kuasa, bisa berfungsi massif. Tujuannya; penghisapan. Bukan dengan yang lain, melainkan bahasa. Sebab benarlah sudah bahwa bahasa juga bisa mendatangkan satu soal baru; keterasingan. Dimana dia tiada kita duga bersama; bahasa pun justru menjadi selubung kenyataan.

'...Madah masih terus berlari. Langkahnya semakin berat.
Berkalang kabut; yang ia lihat tiada selain gelap'
Masihkah engkau disana?

Pare, harimalam 130313