Dialogi Tafsir atas Masyarakat dan sejarah: Ulasan terhadap Karya Murtadha Muthahhari

Paradigma adalah gambaran fundamental mengenai masalah pokok dalam ilmu tertentu. Paradigma membantu dalam menentukan apa yang mesti dikaji, pertanyaan apa yang mesti diajukan, bagaimana cara mengajukannya, dan apa aturan yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh.[1] 

Paradigma sesungguhnya mencakup pengertian yang bersifat ontologis yang darinya sebuah objek menjadi fundamental dalam penentuan skala pengetahuan. Pelacakan terhadap status objek yang hendak dikaji pada gilirannya akan mengarahkan persoalan-persoalan pada penisbahan tentang metodologi apa yang pas untuk digunakan.

“Paradigma” sebagai sebuah diskursus wacana dan keilmuan, utamanya dipopulerkan oleh Thomas Samuel Kuhn (1922-1996), seorang pemikir Amerika. Walaupun pandangan-pandangannya menyangkut paradigma bernasib marginal dalam ilmu sosiologi, namun di dalamnya terdapat pemikiran besar bahwa ilmu tak pernah terlepas dari konteks dimana ia dimunculkan. Dalam buku yang diterbitkan tahun 1962, The Struktrure of Scientific Revolutions, Kuhn menerangkan bahwa sebuah ilmu tidaklah berkembang secara kumulatif  sebagaimana yang umum dipersepsikan. Walaupun Kuhn mengakui bahwa akumulasi memang berperan dalam perkembangan ilmu pengetahuan, tetapi perubahan besar justeru terjadi akibat revolusi dalam ilmu pengetahuan. Ilmu mendapatkan tantangannya jika terjadi anomali terhadap status kebenaran yang berdampak pada krisis terhadap keberadaan ilmu dalam menyikapi suatu diskursus. Krisis ini akan berakhir dengan terjadinya revolusi pengetahuan.

Sebagaimana peta yang memiliki fungsi deskriptif terhadap wilayah yang diterangkannya, sebuah paradigma juga memiliki informasi-informasi berupa pernyataan-pernyataan normatif serta nilai etis dalam fungsi ke-peta-annya. Fungsi ke-peta-an sebuah paradigma bertujuan memediasi manusia dalam menentukan tujuan hidupnya. Menurut Murtadha Muthahhari, seorang filusuf Iran, paradigma bisa disejajarkan dengan konsep “pandangan dunia”. Murthahhari melihat adanya sinergitas antara pandangan dunia dengan wacana epistemologis dalam membentuk ideologi.[2]

Menurut George Ritzer, seorang sosiolog, ilmu-ilmu sosial paling tidak mengandung empat komponen paradigma. Pertama, eksemplar. Hal ini mengacu pada karya-karya tokoh yang dijadikan rujukan bagi penganut paradigma tertentu. Kedua, gambaran masalah pokok. Yakni status ontologis dari permasalahan yang dituju. Ketiga, metode. Yakni sikap metodis dan metode yang hendak diterapkan oleh penganut paradigma. Keempat, teori. Yakni perspektif teoritis dalam menerangkan permasalahan-permasalahan.[3]

Betapapun ilmu-ilmu sosial telah memandirikan dirinya dari pernyataan-pernyataan filosofis semenjak sains menubuatkan diri sebagai ilmu yang menerangkan segalanya, namun pada kenyataannya, dalam sejumlah grand theory, ilmu-ilmu sosial tetap memiliki pijakan asumsi filosofis yang terkandung dalam teori-teori yang dikemukakannya. Asumsi-asumsi ini hendak menerangkan realitas yang dihadapinya, yakni kedudukan human nature (manusia), society (masyarakat), dan rasional eksplanation sebagai model yang universal dalam menyusun paradigmanya. Jika sebuah teori tidak memiliki kandungan tiga elemen paradigma tersebut, maka ada kemungkinan teori-teori yang datang darinya tidak pula memilki kekuatan argumentatif untuk mempertahankan bangunan teoritisnya. Dengan demikian, seluruh teori pasti turut mewakili paradigma yang dibawanya.

Dalam kaitannya dengan tiga elemen paradigma tadi, khususnya aspek society, maka jika kita membangun sejenis eksposisi maka kita akan menemukan sejumlah pertanyaan: Apakah masyarakat itu? Apakah yang mendorong hingga terbentuknya masyarakat? Apakah individu memiliki posisi sentral dalam pembentukan masyarakat atau sebaliknya? Apakah penentu masyarakat berkisar dari jiwanya sendiri ataukah berdasarkan faktor eksternal dalam menentukan gerak sejarahnya?

Asal Usul Masyarakat

Masyarakat selalu menjadi studi yang kompleks. Studi atas masyarakat bisa ditelusuri akar sejarahnya dari dokumen-dokumen Yunani klasik, terutama dalam buku Politics karangan Aristoteles. Di situ konsep masyarakat yang dikemukakan Aristoteles memiliki kaitan erat dengan konsep negara. Konsep masyarakat dalam pengertian aristotelian merujuk pada negara kota yang khusus lahir sebagai pencitraan hukum moral.

Walaupun demikian, dalam menempatkan masyarakat sebagai kajian utamanya, baik oleh Thomas Hobbes, Adam Smith, Karl Marx, sampai Max Weber dan Alfred Scutz, teori kemasyarakatan tak pernah lepas dari bias intervensi ideologis, pengaruh gejolak ekonomi, maupun tarik-ulur kekuasaan politik.Pemilahan antara kepentingan ideologis dan ilmu pengetahuan terlihat pada positivisme Comte yang menekankan sosiologi sebagai puncak dari ilmu-ilmu haruslah bersih dari tendensi subjek.[4]

Pasca perang dunia kedua, Amerika Serikat sebagai negara adikuasa banyak membentuk lembaga-lembaga penelitian sosial. Ilmuwan-ilmuwan sosial diberdayakan untuk membangun teori-teori sosial dalam rangka kepentingan politik dan ekonomi Amerika. Sejumlah ilmuwan sosial juga dikirim ke wilayah-wilayah strategis negara dunia ketiga untuk melakukan penelitian (pengamatan). Hal ini bertujuan untuk menjadikan negara dunia ketiga sebagai bumper bagi keadikuasaan Amerika.[5]

Dalam pandangan eropasentris, masyarakat dilihat sebagai perwujudan yang tidak berbeda dengan organisme menurut tinjauan ilmu-ilmu alam. Hal ini ada kaitannya dengan pandangan-pandangan evolusi darwinis, seperti yang dikatakan Herbert Spencer. Menurut Spencer, keilmuan abad ke-19 masih didominasi oleh ilmu-ilmu alam, sehingga studi kemasyarakatan masih menjadi anasir studi kealaman. Di sini masyarakat digambarkan sebagaimana mahluk hidup yang ditunjang oleh sel-sel dasar sebagai elan vitalnya. 

Masyarakat seperti kesatuan tubuh manusia yang terdiri dari otot dan bagian-bagian tubuh sebagai unsur pembentuk jasad. Masyarakat yang dipandang dari perspektif hukum biologis, menyebabkan konsepsi yang terbangun senantiasa bersifat determinis dan linear.

Berbeda dengan Spencer, Emile Durkheim melihat masyarakat sebagai fakta sosial. Durkheim menilai bahwa masyarakat adalah ungkapan yang dicitrakan dari norma-normanya, adat-istiadatnya, serta nilai-nilai yang diturunkan secara turun-temurun lewat tradisi. Kata Durkheim, seorang sosiolog harus meneliti fakta sosial, bukan interaksi pelakunya. Jadi, jika Durkheim ditanya, kenapa seorang ibu bisa membunuh anaknya sendiri hanya karena ia merasa tak sanggup menghidupinya? Maka perspektif durkheimian akan menjawab: “hal itu terjadi karena nilai-nilai yang ada telah rusak!” Murtadha Muthahhari memandang bahwa masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok manusia yang hidupnya mengandung sejumlah nilai, norma-norma, adat-istiadat, dan tradisi.[6]

Durkheim menggambarkan masyarakat sebagai “tatanan moral”. Konsepsi ini diungkapkan lewat penjelasannya tentang “conscience collective dan “reperesentations collective”. Masyarakat dalam pandangan Durkheim tidak lebih spesifik dari entitas yang bersifat supra-personal yang misterius. Karena itu, dalam pandangan ini, Durkheim dianggap gagal dalam penekanannya terhadap spesifikasi personal yang menjalani situasi material dalam aktifitas sehari-hari.[7] Pandangan Durkheim yang terlalu membawa masyarakat pada level yang sulit dinilai kekongkritannya, memiliki dampak serius pada perkembangan ilmu-ilmu sosial.

Masyarakat harus dilihat dari pembentuknya, yakni individu itu sendiri, bagaimana mereka berinteraksi satu dengan lainnya. Masyarakat harus dinilai dari interaksi orang-orang yang ada di dalamnya, bagaimana mereka membentuk kelompok-kelompoknya, dan seperti apa proses interaksi yang terbangun di dalamnya. Pendapat tersebut dikemukakan Simmel dengan pandangannya yang empiristis. Kata Simmel, masyarakat seharusnya dibawa pada penelitian yang bisa diobservasi langsung, bukan nilai dan pranata yang ada di dalamnya yang abstrak dan sulit diukur berdasarkan pengalaman langsung.

Pandangan Simmel yang bercorak aritotelean tersebut berbeda dengan para sosiolog Jerman semisal Weber dan Marx yang sibuk dengan tema-tema besar. Tingkat analisis Simmel terletak pada penekanannya terhadap kejadian pada skala yang lebih kecil. Berbeda dari para pendahulunya, sosiolog yang menginspirasi lahirnya mazhab Chicago ini, lebih menilik masyarakat pada penggambaran individu melalui tindakan dan interaksinya.[8]Teori Simmel tersebut mewakili pandangan menyangkut status ontologis masyarakat yang dititik-beratkan pada kehadiran individu-individunya. Masyarakat dalam hal ini hanyalah keterwakilan dari individu yang membentuk kelompok sebagai dasar pemenuhan sesuatu yang bersifat kolektif.

Dalam memahami masyarakat, setidaknya ada tiga pandangan yang mengemuka: Pertama, yang melihat masyarakat sebagai gerak yang secara fitrawi terbentuk dari kecenderungan individu untuk mengaktualkan potensi sosialitanya, yang dimotivasi oleh fitrah dalam dirinya sendiri. Kedua, yang melihat masyarakat sebagai fenomena yang didatangkan untuk menjawab ketidakmampuan individu untuk berproses di dalam alam, sehingga untuk bisa bertahan hidup, maka manusia dengan terpaksa bermasyarakat. Pandangan ini melihat individu sebagai faktor yang inferior, dan menemukan identitas superiornya hanya jika harus menerima fenomena kemasyarakatan dengan desakan. Ketiga, yang melihat masyarakat hanyalah sebatas fenomena individual yang dimotivasi berdasar kalkulasi pilihan rasionalnya. Artinya, seorang individu bisa saja memilih hendak bermasyarakat ataukah tidak, selama hal itu membawa keuntungan baginya.

Menurut Durkheim, masyarakat berada di luar individu dan sifatnya memaksa. Individu harus mengikuti anjuran serta pakem-pakem yang sudah diterima secara turun-temurun dalam tradisi masyarakat, suka ataupun tidak. Dalam perspektif Marx, masyarakat merupakan realitas utama dibandingkan dengan individu. Individu hanya menjadi anasir sekunder bila diperhadapkan dengan masyarakat. Penekanan Marx terhadap kolektivisme menyebabkan hak-hak individu menjadi tidak penting. Terkadang memang masyarakat memiliki kekuatan memaksa yang sifatnya sedemikian impulsif, sehingga individu tak berdaya menolak atau berkilah untuk tidak menerimanya. Mekanisme ini terjaring melalui representasi nilai-nilai yang tercitrakan pada aturan-aturan semisal simbol-simbol yang dikonvensi pemaknaannya berasarkan kehendak umum.[9]

Pada sisi lain, terdapat pula pandangan yang lebih menekankan aspek individu yang sedemikian rupa lebih penting dari kolektivitas. Kalaupun ada yang namanya kepentingan umum, itu tidak lain merupakan perwujudan dari kehendak individu-individu. Masyarakat dipandang sekadar sebagai fenomena sekunder. Pandangan semacam ini kita kenal dengan sebutan individualisme. Prinsip individualisme dapat kita lihat contohnya pada bangunan ideologi dan operasi ekonomi kapitalisme.

Kalau kita mencermati jalan cerita film V for Vendetta[10], di situ tampak tokoh V yang berhasil membentuk masyarakatnya berdasarkan kemauan umum walaupun awalnya ia hanya bekerja seorang diri. Kisah ini, memberikan pengertian bahwasannya seorang individu memiliki kemerdekaan diri yang terlepas dari kesadaran mayarakatnya untuk turut  membentuk kesadaran orang banyak. Pandangan ini berbeda dari pandangan tadi yang tidak melihat hakikat manusia yang notabene memiliki ikhtiar untuk merespon sesuatu, apakah hendak menerima ataupun menolaknya. Walaupun masyarakat memiliki sejumlah kehendak bersama, bukan berarti bahwa individu turut larut di dalamnya dengan terpaksa sehingga kehilangan identitasnya. Seorang individu tetap memiliki kehendak bebas untuk memilih keluar dari batas-batas paksaan yang ada di masyarakat.
          
Masyarakat dan Peran Agency

Marxisme meyakini bahwa datangnya sejarah berasal dari kelas pekerja yang merebut kekuasaan dari kepemilikan barang-barang kaum borjuis. Menurut mereka, sejarah bermula dari masyarakat komunal yang diatur berdasarkan hukum-hukum tradisional hingga berevolusi menjadi masyarakat komunis. Masyarakat komunis adalah masyarakat tanpa kelas yang lahir dari konsekuensi perjuangan kaum buruh. Gerak sejarah ini diyakini bisa terealisasi dengan adanya desakan kelas pekerja melalui revolusi proletariat.

Jika pandangan marxian menempatkan revolusi sebagai penentu jalannya sejarah, maka August Comte memandang sainslah yang akan menentukan sejarah. Tahap akhir dari sejarah manusia menurut Comte, akan sampai pada keadaan dimana masyarakat menjunjung tinggi sains sebagai satu-satunya jalan menjawab segala kebutuhan manusia. Tahapan sejarah comtean ini diawali dari tahap teologis, dimana manusia dan corak kehidupannya masih berdasarkan keyakinan takhayul dan mistis. Pada berkembangan selanjutnya, masuk pada tahap hukum evolusi kesadaran, dimana masyarakat sampai pada tingkatan yang bercorak metafisis. Di sini kesadaran masyarakat berusaha keluar dari kungkungan teologis yang tidak mendewasakan kesadaran. Usaha pendewasaan akal budi, akan berkembang hingga manusia benar-benar matang, dengan sains sebagai faktor penopangnya. Pada tingkatan inilah masyarakat mengalami kemajuan signifikan.

Teori marxian dan comtean menyangkut kepastian sejarah, mendasari asumsi-asumsinya pada dua narasi besar yang mewarnai jatuh bangunnya paradigma filsafat Barat, yakni platonisme dan aristotelian. Kedua narasi besar ini seringkali terlibat persitegangan. Platonisme dengan pandangannya yang bercorak absolut terhadap keberadaan ide, memberikan penekanan yang besar terhadap ide daripada keberadaan yang bersifat inderawi. Keberadaan yang hanya mampu dicerap oleh inderawi, bagi Plato, hanyalah doxa yang bersifat semu dan tak sempurna. Sementara itu, dalam pandangan Aristoteles, dunia ide yang dideskripsikan Plato hanyalah hasil abstraksi dari objek-objek eksternal. Abstraksi yang terjadi bermula dari persentuhan alam inderawi dengan alam eksternal yang dialami oleh manusia.[11]

Pandangan marxian menghendaki ketiadaan peran agency dalam mengawal dan mempolarisasi struktur, dimana struktur memiliki peran sentral dalam mengarahkan gerak sejarah. Agency dipandang sebagai faktor yang tidak dominan dalam rentetan kejadian yang dapat mempengaruhi jalan dan berkembangnya sejarah. Di sini sejarah dipahami sebagai suatu proses penciptaan dan pemuasan kebutuhan-kebutuhan manusia secara terus-menerus. Penciptaan kebutuhan dimediasi oleh aktivitas kerja dalam hubungannya dengan alam. Dengan demikian, sejarah merupakan materialisasi upaya manusia dalam memenuhi segala aspek fundamental kehidupannya.[12]

Kekitaan

Ulrich Beck, seorang ilmuan sosial, melihat masyarakat beserta institusi dan struktur sosialnya telah bergerak secara radikal dari masyarakat tradisional menuju masyarakat pra-modern, kemudian menuju masyarakat super-modern. Dalam masyarakat tradisional, struktur beserta pengalaman kemasyarakatan bersifat “kekitaan”. Di sini masyarakat terintegrasi secara vertikal dan horisontal. Individu tradisional terbentuk dan dibentuk dalam nilai-nilai komunal. Masyarakat yang terbangun berdasarkan “kekitaan” tidak menyerahkan dirinya pada institusi. Individu tahu dan sadar bahwa dirinya adalah bagian utama dari “kekitaan”.

Dalam masyarakat modern yang ditandai dengan peneguhan yang tinggi terhadap subjektvitas, terjadi pergeseran dari kesadaran “kekitaan” menuju kebebasan individu dan otonomi personal. Individu mengambil peran sentral dalam keberlangsungan kehidupan. Dengan begitu, terjadi peralihan dari masyarakat “kita” menjadi masyarakat “aku”. Sementara itu, pada masyarakat super-modern, “aku” tidak lagi disandarkan pada institusi negara. Kebebasan individu dan otonomi personal beranjak kepada institusi-institusi baru yang lebih luas. Kesadaran tidak lagi merujuk pada kesadaran komunal maupun negara, melainkan pada sistem informasi dan teknologi yang sedang berkembang. Di sini masyarakat mendapati dirinya menjadi bagian yang terintergrasi dalam sistem teknologi dan informasi yang abstrak. Hal ini disebut Jean Baudrilard sebagai simulacrum, yaitu realitas kedua yang menggantikan realitas sejati melalui penciptaan realitas semu dengan sistem penandaan semiotik melalui simbol-simbol.[13]

Bila kita menyakini konsepsi masyarakat sebagai penjaga individu-individu melalui pencitraannya sebagaimana sosok “ibu”[14], maka masyarakat sebagai sebuah panggilan moral adalah konsepsi yang nonsense. Masyarakat dengan kediriannya seperti sekarang ini adalah jenis masyarakat yang penuh dengan apatisme yang melihat jalannya sejarah secara given tanpa kehendak mengubah jalannya sejarah. Pandangan-pandangan menyangkut filsafat sejarah, baik yang memandang sejarah sebagai produk materialisasi ide ataukah idealisasi materi, sungguh telah mendapatkan tantangan episteme dalam kaitannya dengan proses jalannya sejarah manusia dewasa ini. []

Daftar Bacaan

Cambell, Tom, 1994. Tujuh Teori Sosial. Yogyakarta: Kanisius.
Giddens, Anthony, 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim, dan Max Weber. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Hardiman, F. Budi, 2004. Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius.
Muthahhari, Murthada, 1998. Masyarakat dan Sejarah: Kritik Islam atas Marxisme dan Teori Lainnya. Bandung: Mizan.
————————–, 2001. Mengenal Epistemologi. Jakarta: Lentera.
Piliang, Yasraf A., 2004. Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Yogyakarta: Kanisius.
Ritzer, George dan Goodman, J. Douglas, 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.
Wibowo, Edi dan Tangkilisan, Hessel Nogi S, 2004. Kebijakan Publik Pro Civil Society. Yogyakarta: YPAPI.

[1]     Ritzer, George dan Goodman, J. Douglas, 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana, apindeks.
[2]     Muthahhari, Murtadha, 2001. Mengenal Epistemologi. Jakarta: Lentera, hal. 18.
[3]     Ritzer, George dan Goodman, J. Douglas, 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana, hal. 118.
[4]     Hardiman, F. Budi, 2004. Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius.
[5]     Wibowo, Edi dan Tangkilisan, Hessel Nogi S, 2004. Kebijakan Publik Pro Civil Society. Yogyakarta: YPAPI.
[6]     Muthahhari, Murthada, 1998. Masyarakat dan Sejarah: Kritik Islam atas Marxisme dan Teori Lainnya. Bandung: Mizan, hal 15.
[7]     Cambell, Tom, 1994. Tujuh Teori Sosial. Yogyakarta: Kanisius, hal. 179.
[8]     Ritzer, George, op.cit., hal. 45.
[9]     Muthahhari, Murthada, 1998. Masyarakat…, op.cit., hal 34.
[10]    Film yang diangkat berdasarkan novel David Llyod dan dibintangi Natalie Portman dan Hugo Weaving.
[11]    Hardiman, F. Budi, op.cit., hal. 24.
[12]    Giddens, Anthony, 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim, dan Max Weber. Jakarta: Universitas Indonesia Press, hal. 27.
[13]    Piliang, Yasraf A., 2004. Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Yogyakarta: Kanisius, hal. 58.
[14]    Seperti yang termuat dalam Khittah Perjuangan HMI (MPO) pada bab Wawasan Sosial.