Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2014

Memugar Waktu; Tetiba Januari

Tulisan ini diniatkan sebagai penanda atas peralihan. Niat yang lain sebagai semacam menciptakan jembatan bagi dua tepi masa; jembatan selalu berarti menyambungkan, menghubungkan dua  bebukit yang dipisah jarak yang landai, di sini dan di sana; sekarang dan esok, membangun hubungan. Atau tulisan ini saya maksudkan semisal taut jangkar, yang ditambat di bawah lambung kapal agar kemudi tak guyah. Di luar,  letus api berkembang …juga mendung. Di jalanjalan raya gempita menyambut  tahun yang baru sudah mulai hiruk dan juga ribut. Tahun yang baru sudah siap disongsong, tetapi apa yang baru? Maka saya lebih suka menyebutnya peralihan, bukan baru. Sebab yang namanya baru berarti meninggalkan yang lama, juga tahun. Di luar keramaian jamak membunuh kesan yang dibangun berharihari yang lalu, berbulanbulan yang lalu hingga tahun yang sebentar lagi dikemas dalam kelampauan, dan pada akhirnya membunuhnya. Dan apa yang tersisa dari tahun yang kita namai baru. Sebab ...

Michel Foucault dan Kelahiran Klinik

Biografi dan Konteks Intelektual Foucault lahir di Poitiers, Prancis pada 15 Oktober 1926. Ia berasal dari keluarga yang berlatar pendidikan medis, hingga bagi orang tuanya, Foucault diharapkan untuk memilih profesi yang sama. Tetapi studi filsafat, sejarah, dan psikologi menjadi pilihan utamanya, walaupun kelak pemikiran-pemikirannya banyak berkaitan dengan bidang medis, khususnya psikopatologi. Dalam mendalami Studi filsafat dan psikologi di Ecole Normale Superiure, ia bertemu dengan Louis Althusser yang sekaligus memperkenalkannya kepada pemikiran marxisme strukturalis; kemudian mendalami filsafat Hegel di bawah bimbingan Jean Hyppolite; dari Georges Canguilhem tentang sejarah ide; dan Georges Dumezil membuat Foucault tertarik dengan sejarah mitos-mitos, seni dan agama. Pada 1946 ia menyelesaikan pendidikannya dan menerima lisensi filsafat pada 1948 dari Sorbone dan dua tahun kemudian memperoleh ...

Di Akhir Desember

Bagaimana kita harus memahami perbedaan? Utamanya jika diperhadapkan dengan akhir Desember. Seperti biasa, menjelang 25 Desember, hanya soal ucapan bisa mengundang perdebatan soal iman . Dengan itu kita perlu kembali mengartikan apa maksud kehidupan beragama. Dan ini tak begitu mudah, sebab agama bagi kita, bagi sebagian orang, adalah urusan yang menyertakan “prasangka” Prasangka dalam praktik bermasyarakat akhirakhir ini memang tumbuh subur. Persis jamur yang tumbuh di musim penghujan; bermekaran, menelusup masuk tanpa tedeng alingaling. Malangnya, prasangka dengan artinya kecurigaan justru akrab dalam kehidupan kita. Kecurigaan, juga dalam sak wasangka adalah kerukunan yang tanpa moral. Jauh di ibu kota, Jakarta, sebagai contoh, agama menjadi komoditi pengangkut prasangka. Politik direduksi sampai hanya bermakna “suka tidak suka” dan ini artinya kemunduran; kita kehilangan tatanan yang generatif mengikat atas dasar “pengetahuan normatif” Politik dengan maksud demikian men...

Gong Mea

Abad 21 adalah masa yang tak pernah terbayang sebelumnya. Penanda khas dari zaman ini adalah hilangnya batas-batas kultural antar bangsa dalam dimensi budaya, ekonomi maupun politik. Globalisasi adalah peristiwa mutakhir di mana tak ada lagi bangsa yang otonom dari keberadaan bangsa lain. Sudah merupakan “kewajiban” antara bangsa untuk melakukan kesalingterhubungan demi membangun keberlangsungan kehidupan bernegara yang layak. Tahun 2015 nanti, gaung globalisasi tidak sekedar wacana dari negeri seberang.  Melalui masyarakat ekonomi Asean (AFTA), kita dituntut untuk mengadaptasikan seluruh kemampuan sumber daya potensial untuk menghadapi era keterbukaan pasar global. Ini berarti secara ekonomi, kita harus mampu bersaing dengan pasar dari “negeri seberang” dengan memproduksi dan memanfaatkan "kelebihan” yang kita miliki. Pertanyaannya yakni, seberapa mampukah daya saing sumber daya yang kita miliki untuk “bertarung” di dalam era keterbukaan AFTA? Modal Kebudayaan Kere...

Sentimentalisme Filsafat; Prasangka dan Anti Sains

Louis Althuser, filsuf marxis Prancis, punya buku;  Filsafat Sebagai Senjata Revolusi . Saya membayangkan -dari judulnya- bagaimana filsafat, ilmu yang abstrak dan spekulatif itu memiliki keterpautan terhadap revolusi, situasi puncak gerakan sosial yang radikal dan total. Dan sulit dibayangkan, dalam arti apa filsafat harus kita terima sebagai senjata. Barangkali di sinilah tipikal pemikiran yang berhaluan marxis; filsafat bukan ilmu yang sekadar menafsir dunia, justru masuk dan mengubahnya. Titik tolak dari buku yang ditulis Althuser itu bisa kita terima dalam beberapa pengertian. Pertama, perselisihan filsafat materialisme historis Marx terhadap filsafat Hegel yang bersifat spekulatif. Dalam konteks ini, pemikiran Althuser sulit menyelisih dari pertentangan yang sudah dimulai Marx.  Kedua,  Filsafat Sebagai Senjata Revolusi,  jawaban atas spekulasi-spekulasi filosofis di luar halaun pemikiran marxis yang dinilai tak memiliki sumbangan praktis terhadap k...