Ludwig Nietzsche barangkali tak pernah menyangka, anaknya, yang ia
persiapkan untuk menjadi seorang pendeta, suatu hari nanti akan mencipta
kekalutan. Anaknya suatu hari nanti dengan niat yang mengebugebu, bersuara;
tuhan telah mati. Sontak seluruh Eropa tersentak, seseorang telah membunuh
tuhan. Seseorang telah membuat kalut orang beriman. Tuhan telah mati.
Dalam suatu metaforanya: "kemanakah tuhan?" Ia
berteriak, "kubilang kepada kalian kita sudah membunuhnya. Kamu dan saya.
Semua kita adalah pembunuhnya."
Nietzsche orang yang membenci moralitas budak itu, tentu tahu apa
konsekuensi perkataannya. Tuhan yang telah mati berarti sama halnya menghapus
iman yang mapan tanpa cacat. Tuhan yang dibunuh sama halnya membuat lubang
besar dijantung keyakinan religius. Membunuh tuhan berarti meninggalkan
segalanya dalam keburaman. Tak ada yang terang yang ditinggal Nietzsche selain
kecacatan. Bahkan tak ada yang jelas; sebuah nihilisme.
Dan dari lubang yang ditinggalkannya itu, ia sadar, bahwa tuhan bukan segalanya.
Tuhan, yang diyakini, telah benarbenar tiada. Nietzsche ingin
sebuah jalan tanpa tuhan, tanpa halhal transendental. Sebuah jalan yang tak
ramai sesak oleh sabdasabda dan juga doadoa. Nietzsche ingin jalan yang milik
manusia. Sebuah sikap non homo
religious.
Dengannya Nietzsche ingin melabuh pada dunia yang bersih dari iman
yang hipokrit. Suatu iman yang meneguhkan nilainilai kudus di suatu mimbar,
tetapi membuat risau kemanusiaan atas nasib yang abai. Kepadanyalah segala iman
dibunuh. Hidup sebenarnya adalah ziarah panjang yang tanpa hujung, tanpa pagar
iman yang kudus.
Kepada yang ilahi ia menulis: "kita telah menonggalkan
daratan dan sudah menuju kapal! Kita sudah membakar jembatan di belakang..dan
tak ada daratan lagi!"
Sebuah sikap atheismekah ini? Nampaknya ini yang sulit. Sebab
Nietzsche menolak sebuah kategori yang serta merta ditautkan pada segala. Juga
pada kebenaran. Apalagi suatu keimanan.
Kategori berarti di dalamnya mengandung suatu nilai. Berarti di
sana sudah ada ukuran yang siap di letakkan. Dan menilai artinya membangun
ukuranukuran. Namun, suatu ukuran bisa cacat ketika itu sudah selalu benar dan
menyalahkan yang lain. Dengan kecatatan demikian, atas hak apa seseorang punya
wewenang dalam menilai yang lain.
Sebab itulah Nietzsche mencurigai klaimklaim kebenaran;
kebudayaan, tradisi, sains, moral atau bahkan agama. Bukankah sebenarnya kebenaran
hanyalah dasar yang dibangun atas dasar perspektif? Kebenaran tiada lain
hanyalah sudut pandang yang lahir dari situasi yang berbeda. Bahkan soal iman
dan keyakinan.
Maka itu Nietzsche menginginkan iman yang lain. Iman yang telah
dipugar dari bangunan keagamaan yang tak pernah gamang. Da sagen, sikap yang optimis ditengah ketiadaan
nilainilai. Suatu arung tanpa ilahi. Bentang jalan panjang yang kepunyaan
manusia sendiri.
Di sanalah manusia menerka hidup yang tak pernah lengkap atas
titik akhir. Berjalan dengan lurus di dalam arus yang tak pernah diam. Bukan
hidup yang terperangkap oleh nilainilai yang membuat diri semakin asing. Sebab
adakalanya hidup sudah selalu fix oleh penafsir yang memancang batas. Maka di
situlah sebuah kehendak sebuah arung dihujam, tepat pada iman hidup yang sudah
selalu final.
Bukankah “Kita sudah membakar jembatan di belakang..dan tak ada
daratan lagi"
Tak ada daratan lagi. Tak ada tempat pijakan lagi. Di dunia
semacam itulah manusia menjadi mahluk yang bebas mengekspersikan dirinya dengan
segala nilai kodratinya. Menjadi manusia yang sebenarnya di mana tak ada
reduksi atas diri yang ditafsirkan oleh nilainilai yang janggal. Dengan cara
demikianlah manusia menemukan suatu jalan yang bersandar dari supremasi
dirinya. Suatu hidup yang berkata “ya” pada dunia yang nihil.
Tapi Nietzsche tahu, di dalam nihilisme itulah manusia menjelma
manusia yang unggul; umbermench. Hanya menjadi itulah, dunia yang nihil, dunia
yang telah kehilangan segalanya mesti dihadapi. Sebuah optimiskah ini? Saya
kira iya. Nietzsche memang filsuf yang optimis.