![]() |
Selamat Jalan Tuan Presiden Karangan Gabriel Garcia Marquez yang terkenal dengan Seribu Tahun Kesunyian |
Kemengan terbesar dalam hidupku adalah bila semua orang melupakanku.
Barangkali ironi, barangkali juga
adalah paradoks. Dua pengertian ini menjadi sejenis benang merah yang
menghubungkan empat cerita Gabriel García Márquez dari Selamat Jalan, Tuan Presiden, kumcer yang diambil dari Strange Pilgrims. Manusia sesungguhnya
adalah mahluk yang menanggung ironi, dan juga belenggu kesepian. Di suatu waktu
ia bisa menjadi seseorang yang di tiap waktunya disorot lampu panggung, tapi
ketika dia susut, tak ada satu pun mulut dan mata yang menyanjungnya. Kesepian,
dengan demikian adalah saat-saat kritis ketika semua mata mulai luntur dan
menghilang dari tubuh Anda, pergi tanpa sisa dengan suara yang bisu
meninggalkan kita di suatu keadaan yang tiba-tiba menjadi asing. Kumcer ini dibuka
dengan kisah seorang bekas presiden yang dipapar kesepian pasca digulingkan
dari kekuasaannya. Dia presiden yang telah melewati dua perang dingin. Presiden
yang memimpin suatu negeri dengan cara yang tidak disenangi warganya. Tapi,
kesepiannya bukan kesepian yang biasa akibat pengasingan yang dia alami
sendiri. Jauh dari negerinya, di suatu negara yang sangat berbeda dari kampung
halamannya, dan juga tak ada satupun yang mengenalnya. Di suatu sudut taman
daerah yang dikelilingi danau, perubahan sangat cepat berlalu, di bawah
pepohonan berdaun kuning, sambil melihat angsa-angsa berdebu, waktu bukan saja
telah banyak mengubah dirinya, melainkan juga dunianya. Kekuasaan memang ada
masanya, ada batasnya. Namun, jika suatu hasrat keabadian tiba-tiba dimentalkan
dengan kekuatan yang jauh lebih besar dari hanya kekuasaan yang berada di atas
singgasana, maka sebesar apapun kekuasaan itu akan jatuh juga. Apalagi jika itu
terjadi bagi seseorang yang sudah berusia renta. Sang presiden sudah berumur
tujuh puluh tiga tahun, masa-masa tua yang juga digerogoti penyakit yang
awalnya membuat bingung semua dokter yang telah banyak memeriksanya. Mereka mencari
di hatinya, di dalam ginjal, pankreasnya, prostatnya, di mana pun tak ada
penyakit. Sampai akhirnya penyakit itu dikatakan mengendap ditemukan di bagian
tubuh yang ditunjuk dokter dengan jari telunjuknya: kepala. Semuanya memang
dimulai dari dan dalam benak. Scholar psikologi bahkan mendefenisikan diri kita
sebagai apa yang kita pikirkan. Ini semacam sugesti yang bisa membuat Anda akan
menjadi super hero jika Anda memang berpikiran demikian. Atau seorang miliarder
yang akhirnya secara tidak sadar akan menuntun Anda bekerja layaknya seorang
miliarder mengumpulkan pundi-pundi kekayaan di tiap harinya. Itulah kekuatan
sugesti, atau dengan kata lain suatu pikiran. Sugesti memang memiliki dampak
yang tidak ringan jika Anda selalu mendengung-dengungkan tujuan hidup Anda di
setiap saat dalam kepala Anda. Dengan sendirinya kekuatan sugesti akan mengubah
cara Anda menjalani hidup sehari-hari, dimulai dari ketika Anda membuka mata
sampai Anda menutupnya kembali di malam hari. Tapi, pikiran yang terlalu
diidealkan akan menjadi semacam kangker yang menggerogoti pikiran Anda juga. Menjadi
penyakit mematikan yang bahkan Anda tak tahu keberadaannya. Sang bekas presiden
hanya pasrah dengan penyakit yang berimpikasi ke mana-mana di tubuhnya yang
tidak lagi muda. Kita pernah menyaksikan bekas presiden di sebuah negeri yang
mati walaupun dikerumuni alat-alat pernapasan yang serba canggih. Pengobatan
yang serba mahal. Dan alat-alat yang sangat jarang disaksikan di
puskesmas-puskesmas kampung Anda. Dia mati dengan meninggalkan bekas kekuasaannya
yang dipimpinnya hampir seperdua abad. Dan dua juta penduduk yang sebagian di
antaranya menyimpan dendam kesumat agar ia tidak saja mati secara normal,
melainkan di gantung di sebuah lapangan terbuka yang disaksikan banyak orang
akibat dosa-dosa sosial dan kemanusiaannya. Presiden semacam itulah yang kuat
dugaan menjadi persamaan dengan bekas presiden ini. Tapi kehidupan masih
bersetia dengannya. Dengan caranya yang unik segala pantangan yang dikemukakan
dokternya, dilanggar dengan perasaan yang ringan seperti kapas untuk menghadapi
kematian. Tapi, umurnya panjang. Bahkan di masa pengasingannya dia bertemu
sepasang suami istri yang mengundangnya makan malam. Ngobrol panjang lebar jika
ia datang berkunjung ke rumah teman barunya yang diketahuinya adalah petugas
ambulance di rumah sakit tempattnya sering kali berobat. Tidak di negerinya, di
bawah atap rumah teman barunya, sepasang suami istri itu seperti penduduk di tempat
negerinya pernah berkuasa. Suka-tidak suka memang bisa di mana saja, termasuk
apa yang dirasakan istri dari sang suami yang sebaliknya menyukai sang bekas
presiden. Di masa mudanya, ia pernah terlibat menjadi bagian dari sejumlah
pemuda yang mendukung sang presiden menduduki tahta kepemimpinannya. Sembari
dia menunjukkan selembar foto yang menunjukkan dirinya bersama sang bekas
presiden di sebuah tempat di masa-masa sang bekas presiden berkampanye.
“Mengejutkan” dia berbisik. “Aku selalu mengatakan, sebuah masa lebih cepat
dalam sebuah foto daripada dalam kehidupan yang sebenarnya.” Begitulah
perubahan itu hanyalah suatu alamat yang berlaku dalam selembar kertas. Sang
presiden kembali memakan banyak daging, meminum kopi bercangkir-cangkir, dan
menenggak minuman keras yang disesuaikan takarannya. Di umurnya yang tidak lagi
muda, memasuki masa 75 tahun, sembari kembali merokok, takdir kematiannya
hanyalah ketakutan yang sudah dia tanggalkan seiring ujung kehidupan yang sulit
diprediksi. “Tuhanku…tidak ada yang bisa membunuh lelaki itu” ucap sang suami
ketika melepas pergi sang Presiden. Sekalipun akhirnya, sang presiden menyatakan
diri berniat kembali ke negerinya untuk memimpin sebuah gerakan reformasi.
Hasrat kekuasaan memang tidak akan kemana, termasuk pada sang bekas presiden
tua.
---
Pernahkah Anda terkesima kepada
seorang perempuan dalam suatu perjalanan di atas angkasa. Ketika cukup waktu
yang banyak yang bisa Anda manfaatkan untuk bertegur sapa, membicarakan tujuan
perjalanan Anda, berbicara makan apa Anda sebelumnya, apa pekerjaan Anda, buku
apa yang sudah Anda baca di hari ini, shampoo apa yang Anda gunakan saat mandi di siang yang
terik seperti hari ini, dan segala perbincangan remeh temeh yang membuat Anda akan
merasa menjalani hari yang amat beruntung. Atau sebaliknya, Anda yang bertanya
kepadanya: mau kemana kamu setelah ini, apa yang ada dalam isi kopernya;
sudahkah kamu menikmati secangkir kopi sebelum menjalani penerbangan yang
lumayan akan memakan banyak waktu ini; atau menyatakan bahwa lipstik yang kamu
pakai cukup membuat kedipan mataku sanggup bertahan lebih dari lima detik; atau
caramu memegang rambutmu yang kemudian kamu kibaskan tiba-tiba ke belakang
membuatku mengerti mengapa perempuan sangat suka memanjangkan rambutnya. Tapi
semua itu hanya kejadian dalam kepala Anda. Sang gadis cantik seperti
langit-langit yang sulit dijangkau. Sekalipun Anda menaiki puncak gunung
tertinggi. Jarak Anda hanya bersebelahan dengannya di saat Anda pun duduk di
kabin yang sama karena memilih secara tiba-tiba nomor tempat duduk yang akan
Anda tempati. Lagi-lagi ini ironi. Apalagi jika perempuan cantik itu hanya tidur
selama perjalanan. Dan yang Anda lakukan hanya melihatnya melalui ketakjuban
yang mendasari pandangan Anda. Anda dan dia dibekuk jarak yang dekat, tapi
dipisahkan tanpa perbincangan apapun. Satu-satunya perbincangan hanya terjadi
dalam kepala Anda, dan suara itulah yang Anda ajak berdialog. Anda bisa saja
membangunkannya. Atau sengaja menyuruh pramugari di belakang pesawat agar dapat
menyodorkan minuman dingin supaya dengan cara itu dia bisa terbangun. Mungkin
juga Anda akan berharap terjadi guncangan ringan. Pesawat tiba-tiba saja masuk
ke dalam gumpalan asap awan yang tebal, dan akibat sedikit guncangan yang mirip
duduk di atas punggung banteng liar, dia mulai membuka mata dan menanyakan apa
yang sedang terjadi kepada Anda. Dari situlah Anda menyadari bahwa di situasi
itulah kemenangan Anda. Itu adalah momen peting. Sayang untuk dilewatkan. Itu
adalah waktu yang tepat untuk membuka percakapan. Dan, akhirnya Anda akan
menanyakan namanya, dan tidak lama kemudian Anda berdua sudah saling bertukar
nomor telepon. Benar-benar pertemuan yang tak diduga-duga. Di negeri yang jauh
bertemu seorang gadis dengan keistimewaan gadis-gadis tropis dengan warna kulit
kuning langsat. Kulit yang hanya mengenal dua musim. Dan rambut hitam khas
perempuan Asia. Sungguh, tapi itu adalah suatu ironi. Anda begitu dekat
dengannya sampai-sampai hidung Anda dapat menangkap bau parfumnnya yang
bercampur keringat. Menciptakan bau khas yang dapat mengundang seekor harimau
jantan mempertahankan betinanya agar dapat melahirkan keturunan-keturunannya.
Dan, semua itu hanyalah kejadian yang hanya Anda sendiri rasakan. Ketika Anda
hanya mampu melihatnya dari dekat, begitu dekat. Betapa eksotisnya seorang
perempuan yang tak dapat Anda jangkau, tapi Anda seperti akan mengatakan
langsung di hadapannya bahwa Anda cukup tertarik kepadanya, si cantik yang
tertidur di atas pesawat.
---
Waktu dan tempat salah menempatkan
Maria de la Luz Cervantes. Atau Maria-lah sendiri yang malang. Dia terjebak
salju yang tebal. Tepatnya mobil yang ia sewa menuju Barcelona yang dipakainya
mogok di tengah perjalanan di saat salju turun dengan lebat. Selama satu jam ia
mencari tumpangan. Di saat itulah kemalangannya bermula. Ia diangkut oleh
sebuah bis yang berisi banyak perempuan dari segala usia. Dengan maksud mencari
telepon untuk menghubungi suaminya, tanpa sepengetahuan Maria, akibat tertidur
bis yang ditumpanginya membawanya pada sebuah bangunan yang mirip biara dengan
tembok-tembok pagar yang tinggi di tengah hutan. Mereka pun turun,
perempuan-perempuan yang dilihat Maria tidur selama perjalanan seperti
anak-anak domba yang diperintah berjalan begitu saja. Tanpa suara sekali pun
mereka mengikuti instruksi dari perempuan yang mirip seorang wasit lengkap
dengan peluitnya. Mereka nampak tidak normal. Setiba di halaman bangunan yang
cukup luas, ia berlari menuju sebuah gedung yang ia sangka mempunyai telepon.
Tapi di sinilah ironiya; dirinya di sangka bagian dari perempuan-perempuan yang
mengalami gangguan mental. Maria menemukan kejadian yang tidak pernah dia
sangka sebelumnya; dia di bawa ke suatu tempat berupa tempat semacam rumah
sakit jiwa. Lengkap dengan penjaga-penjaga bermuka tidak ramah dan
dokter-dokter yang hanya terlihat di waktu-waktu tertentu. Maria hanya
membutuhkan telepon untuk mengabarkan kepada suaminya, bahwa ia tidak akan
sampai ke rumah seperti yang ia sudah janjikan kepada suaminya sebelumnya.
Sebenarnya itulah yang sebenarnya akan terjadi. Namun, sekali lagi dia berada
pada situasi yang serba salah. Malangnya, dan ini memang kemalangan Maria, di
dalam rumah sakit jiwa itu tidak ada yang berhak memutuskan siapa sebenarnya
yang waras selain suatu otoritas medis tertentu. Situasi inilah yang disinggung
Michel Foucault tentang rezim medis tertentu. Kewarasan seseorang dipandang
dari segi otoritas yang mengendalikannya. Seperti di abad-abad 16 di Eropa,
bagaimana penyakit dikendalikan dari atas kekuasaan dengan menganggap siapa pun
tidak layak berbicara atas dirinya selain dari otoritas itu sendiri. Termasuk
kegilaan, adalah suatu kondisi yang tidak layak dinilai oleh diri sendiri.
Segala upaya yang menjelaskan dirinya sendiri bahwa ia tidak gila akan dianggap
sebagai kegilaan itu sendiri. Dapatkah Anda percaya omongan seseorang yang
dinyatakan gila oleh medis bahwa dirinya tidak gila? Tentu akan sulit kita
memercayai perkataan orang yang kita anggap gila. Apalagi jika ia membicarakan
suatu pembicaraan yang tidak kita ketahui sebelumnya. Kita akan menganggap itu
adalah hasil dari pikirannya yang kacau, atau imajinasi gila yang tak pernah
terbukti sekalipun dalam kenyataan. Termasuk keinginan meminjam telepon. Siapa
yang akan memercayai Maria, seorang perempuan yang turun bersama barisan
perempuan-perempuan bergangguan mental dan tiba-tiba berlari ingin meminjam
sebuah telepon. Orang gila mana yang memiliki teman di dunia lain yang ingin
diajaknya berbicara melalui saluran telepon di saat musim begitu dingin.
Kemalangan itu tetap berlanjut dari hari ke hari. Setiap hari menjadi semakin
berat dengan menjalani model pegobatan yang dialami orang bergangguan mental. Makanan-makanan
yang buruk, serat bentakan-bentakan ibu-ibu penjaga. Hari demi hari hingga
dengan cara tertentu tanpa disadari Maria telah berada dalam sebuah ruangan
kosong tanpa seorang pun dengan sebuah
telepon yang berbunyi. Dengan keberaniannya, entah dari mana, ia masih
mengingat nomor rumahnya. Dia pun menelepon. Suaminya mengangkatnya, dan akibat
kecurigaan yang tidak beralasan –selama Maria tidak pulang ke rumah, suaminya
menyangka Maria pergi bersama mantan pacarnya dan meninggalkannya sendirian—dia
merasa dipermainkan, dan menutup telepon secara tiba-tiba. Tapi suatu waktu
entah dengan cara bagaimana suami Maria, yang seorang magi kabaret, datang ke
rumah sakit biara tempat Maria mendekam secara paksa. Dan ketika melihat Maria
yang bermuka lecet akibat menjatuhkan dirinya dengan melompat dari lubang
jendela, hanya menganggap sang istri benar-benar gila. Di sinilah kemalangan
itu yang sebenarnya, untuk tidak mengatakannya sebagai ironi, saat orang
terdekat yang kita cintai juga tidak mampu membawa kita keluar dari lubang
jarum penderitaan. “Aku bahkan tidak tahu
berapa hari aku di sini, atau berapa bulan, atau tahun, yang aku tahu hanyalah
setiap hari selalu lebh buruk dari yang terakhir,” dia mengeluh dengan seluruh
jiwanya. “Aku tidak berpikir bahwa aku akan selamat.” “Semuanya sudah berakhir
sekarang,” dia mengatakan sambil mengusap-usap bekas luka di wajahnya dengan
ujung jarinya. “Aku akan datang setiap hari Sabtu. Lebih sering dari itu, jika
direktur mengizinkanku. Kamu akan lihat, semuanya akan baik kembali.” Dia
menatap Saturno (suaminya). Saturno
mencoba menggunakan pesonanya. Dia mengatakan pada Maria tentang ramalan
dokter. “itu berarti,” dia menyimpulkan, “Bahwa kamu masih memerlukan beberapa
hari lagi untuk menyembuhkan penyakitmu secara total.” Maria mengerti tentang
kebenaran itu. “Demi Tuhan, sayang,” dia memohon. “Jangan katakan padaku bahwa
kamu juga mengira aku gila!” Begitulah titik yang sulit dipercaya. Tak ada
seorang pun yang dapat menolong Maria de la Luz Cervantes. Bahkan, orang yang
dia sangka dapat mengeluarkannya dari tempat terkutuk yang dipenuhi orang-orang
gila. Tidak sekali pun suaminya sendiri.
---
Cahaya itu seperti air. Toto dan
Joel berhasil mengubah cahaya seperti air laut yang maha luas. Kemampuan yang
mereka miliki ibarat sang alchemis yang dapat mengubah setiap logam menjadi
sebongkah emas murni. Di tiap malam rabu, ketika kedua orangtua keluar
menikmati malam-malam pertunjukkan film, kedua anak berprestasi ini mengubah
isi rumah mereka ibarat samudera yang di isi titik-titik pulau yang mengapung.
Cahaya ibarat air. Karena itulah di malam “pengembaraan” mereka, lampu-lampu
dinyalakan seterang-terangnya hingga menempus sela-sela pepohonan yang tumbuh
di luar rumah mereka. Dari atas sebuah sampan alumunium yang mereka tempatkan
dalam sebuah kamar, melalui kekuatan imajinasi mereka, mereka berubah menjadi
dua orang pelaut yang mengapung-ngapung mencari daratan. Ibarat kenyataan yang
sebenarnya, setiap benda yang mereka temui dari isi rumah menjadi benda-benda
laut yang menunjang pelayaran mereka. Hingga Rabu berikutnya, kepergian kedua
orangtuanya adalah karunia yang tak mereka sia-siakan. Setelah mendapatkan
harapan mereka berupa seperangkat alat selam dan beberapa mainan sirip hiu,
mereka kembali menjadi pelaut yang tangkas menyelam sampai ke dalam
karang-karang tersembunyi. Mereka menyelam sampai di bawah tempat tidur, di
bawah meubel yang diimajinasikan berupa benda-benda yang hanya ditemukan di
kedalaman laut tertentu. Kekuatan imajinasi yang membuat mereka bagaikan seekor
lumba-lumba, sesekali menjadi seekor hiu, mendorong mereka mengundang teman
sekelas mereka agar ikut bermain di tiap rabu malam. Bermandikan cahaya yang
disulap bagaikan air. Hingga satu apartemen itu memancarkan cahaya yang super
terang sampai ke ujung jalan raya, seperti sebuah kemilau mutiara yang menyala
terang diterpa cahaya mentari. Begitu berkilau hingga membuat mereka tidak
menyadari betapa gembiranya mereka, dengan sampan alumunium, seperangkat alat
selam, berenang di antara barang-barang kedua orangtua mereka, di dalam lautan,
yang sebenarnya adalah sebuah ruangan di apartemen mereka yang jauh dari lautan
sekali pun. Tapi begitulah anak-anak, kenyataan hanyalah keberadaan sederhana
dibandingkan imajinasi yang jauh lebih dahsyat di mata mereka.