Karl Marx lebih dari sebuah nama.
Karl Marx adalah sebuah pemahaman. Perspektif. Kita tahu, sejak dia menggedor
dunia dengan pikirannya, suatu tatanan tidak sekadar utopis. Masyarakat tanpa
segregasi, yang jadi utopia sosialis tradisional, di tangan Marx jadi
ilmiah. Itu disebutnya komunisme.
5 Mei 1818, Marx lahir di Trier.
Kota di perbatasan barat Jerman, waktu itu termasuk Prussia. Besar dari rahim
Yahudi, kemudian berpindah agama; protestan. Konon rasa “emoh” Marx terhadap
agama karena pilihan masa lalu orang tuanya yang gampang berpindah keyakinan.
Kuliah hukum agar melanjutkan pekerjaan sang ayah, notaris. Karl Marx muda
tidak terlalu tertarik hukum. Dia berminat jadi penyair. Terutama dilihat dari
surat kepada ayahnya yang ditulisnya di bulan November selama studinya di
Berlin tahun 1837.
Ketika saya membaca surat Marx yang
ditulis tanggal 10-11 itu, sejak muda Marx telah membangun disiplin keilmuan
yang ketat. Dia bercerita pengalaman keilmuannya kepada ayahnya. Bagaimana dia
juga berkembara dengan puisipuisi liris sampai soalsaal filosofis, terutama
tesistesis Hegel.
Marx tulis, “begitu tiba di Berlin,
aku memutuskan segala ikatan yang ada dengan handai taulan, jarang berkunjung
dan mencoba menenggelamkan diriku ke dalam ilmu pengetahuan dan kesenian”1 Di
sini Marx mau bilang betapa konsentrasinya hanya untuk ilmu pengetahuan dan
seni, sampaisampai harus menjadi orang yang menarik diri dari hiruk pikuk.
Membaca surat Marx berarti membaca
gairah seorang muda berusia 19 tahun yang disiplin belajar ilmu hukum, membaca
banyak buku, dan menerjemahkan beberapa buku. Sejarah seni, musik, sejarah
Jerman, dan puisi untuk menyebut beberapa disiplin di antaranya, yang menarik
perhatiannya. Dan, seperti yang ditulisnya, ada dorongan untuk bergelut dengan
filsafat. Akibatnya, Marx muda tumbuh tanpa tanggungtanggung, menjadi seorang
intelektual.
Agak sulit menemukan kebiasaan Marx
muda di situasi sekarang. Mau menulis surat panjang kepada seorang ayah.
Menceritakan pengalaman belajarnya di tanah jauh. Menceritakan tokoh apa saja
yang telah dibahasnya. Buku apa saja yang telah dibuatkan catatannya. Kritiknya
terhadap pemikiran Hegel. Dan rasa rindunya kepada Jenny, kekasihnya.
Yang membaca tulisantulisan awal
Marx setidaknya tahu, bahwa suatu pilihan intelektual butuh pertimbangan yang
matang. Tak ada jalan panjang tanpa bekal yang ditimang, matangmatang. Jauh
hari saat menyelesaikan studinya di Gymnasium, dia sudah pikir
panjang ihwal tekad yang dipilihnya. Dia tulis “karenanya, kita mesti dengan
serius memeriksa apakah kita telah betulbetul terinspirasi dalam pilihan
profesi kita, apakah suara hati menyetujuinya, ataukah inspirasi lain adalah
khayalan, dan apa yang kita kira panggilan sang dewa sebetulnya merupakan tipu
daya atas diri sendiri. Namun bagaimana kita bisa mengenali ini kecuali
dengan melacak sumber inspirasi itu sendiri?”2
Kita mesti serius memeriksa apa
yang menjadi pilihan. Begitu ucap Marx muda. Bahwa menjadi pengembara butuh
keseriusan lebih dari yang dikira. Saya pikir, secara biografis, seorang
penimbang adalah orang yang tahu apa yang dibutuhkannya. Apa yang harus menjadi
tujuannya. Tujuan mesti dipilah apakah itu suara hati atau hanya tipuan sesat
belaka. Di masa mudanya Marx sudah memalu niatnya dari yang dia sebut “kerja
bagi umat manusia.” “Karenanya, kita tak akan merasa kecil, terbatas, atau
merasakan kegembiraan yang egois. Kebahagiaan kita akan jadi milik banyak
orang.”3
Kalau kita membaca habis esai
pendek yang jadi tugas akhir Gymnasiumnya itu, akan terlihat bahwa
Marx sedang dalam masa yang tegang. Bisa dibilang diumurnya yang baru 17 itu,
Marx muda sudah mulai membangun komitmen atas profesi yang kelak dijalani. Akan
sangat jauh berbeda dengan anak usia muda saat ini yang lebih memilih cara yang
fleksibel dalam memilih. Marx muda sudah berpikir berat. Dia sudah mulai
membangun kesadaran atas nasib masyarakatnya. Dan, atas posisi itulah yang
nanti akan menjadikannya pemikir sosial berpengaruh.
Saya pribadi sulit membayangkan
pemikiran Marx muda yang menulis “…petunjuk utama yang mesti mengarahkan kita
dalam pilihan profesi adalah kesejahteraan umat manusia dan penyempurnaan diri
kita sendiri. tak boleh dipandang bahwa kedua kepentingan itu berselisih, bahwa
yang satu akan menghancurkan yang lain. Justru sebaliknya, kodrat manusia telah
terbangun sedemikian rupa sehingga ia hanya bisa meraih kesempurnaan dirinya
dengan cara bekerja bagi penyempurnaan sesamanya.”4
Mari membayangkan kesadaran macam
apa yang mendasari Marx muda menulis demikian. Di situ dia sudah berpikir
keselarasan antara yang individual dan yang sosial dalam hubungannya dengan
masyarakat banyak. Makanya tidak terlalu salah kalau kita mau menyebut bibit
awal perhatian Marx terhadap hukum dialektika masyarakat dimulainya dari
periode ini. Bahkan dalam perspektif humanisme, Marx muda sudah
menunjukkan karakter dasar manusia sebagai mahluk sosial. Karena hanya dengan
cara itulah dia bilang manusia hanya sempurna bila ada hubungan kerja sama
antara sesamanya. Dalam konteks ini saya mau bilang, perspektif humanisme yang
akan mendasari pemikiranpemikiran Marx selanjutnya, sudah disebutnya secara
eksplisit di usia 17 tahun. Di usia muda dia sudah mulai membentuk kesadaran
sosialnya.
Marx muda dengan begitu tumbuh
menjadi pembaca yang evaluatif. Anak muda yang diskursif. Dan juga kritis. Itu
ditunjukkannya saat tergabung dengan Young Hegelian saat di
Berlin. Di saat inilah dia menjadi pembaca yang taat. Dari yang ditulis Nyoto
dalam Marxisme: Ilmu dan Amal, bahkan Marx tidak menyusun bukubuku
di dalam lemari menurut ukuran besarnya atau ukuran tebalnya, juga tidak
menurut serinya, melainkan menurut isinya, sesuai dengan kebutuhan
pekerjaannya.5
Di Berlin Marx tidak membaca Hegel
secara sentimentil. Walaupun awalnya Hegel disebutsebut sebagai guru revolusi,
itu tidak menjadikan pemikirannya layak diterima begitu saja. Melalui Feurbach,
murid yang pernah berguru dari Hegel, Marx menemukan cela pemikiran yang
menjadi jalan lain dalam memahami kenyataan.
Atas kritik Feurbach terhadap Hegel, Marx merumuskan eksposisi berupa pertanyaan atas klaim roh absolut Hegel. Bagaimanakah cara memahami yang absolut, yang dianggap rasional, padahal yang rasional hanyalah dalam subjek pemikir, padahal dunia tak seperti yang dibayangkan. Kata lain, bagaimanakah memahami yang roh yang absolut dalam filsafat Hegel, sementara baik Hegel sendiri adalah pemikir yang subjektif.
Atas kritik Feurbach terhadap Hegel, Marx merumuskan eksposisi berupa pertanyaan atas klaim roh absolut Hegel. Bagaimanakah cara memahami yang absolut, yang dianggap rasional, padahal yang rasional hanyalah dalam subjek pemikir, padahal dunia tak seperti yang dibayangkan. Kata lain, bagaimanakah memahami yang roh yang absolut dalam filsafat Hegel, sementara baik Hegel sendiri adalah pemikir yang subjektif.
Di bagian itulah ada frasa yang
sering diucapkan, “Hegel berjalan dengan terbalik, dia berjalan dengan
kepalanya” yang menjadi semacam statement sentimentil untuk mengkritik dasar
pemikiran Hegel. Marx dengan kesadaran baru atas filsafat Hegel, menemukan
suatu cara berfilsafat yang berbeda dengan filsuf umumnya. Kesadaran itu bisa
dikalimatisasi menjadi “Hegel hanya merumuskan pikiran, filsafat harusnya
merumuskan kenyataan.” Dari kesadaran macam inilah kelak filsafat Marx hanya
mungkin dipahami sebagai bagian yang tidak sekadar merepetisi situasi
masyarakat menjadi rumusrumus filsafat, melainkan masuk ke dalam dan
mengubahnya secara langsung. Banyak orang bilang, di tangan Marx, filsafat
menjadi praksis.
Mengenal Marx berarti juga
mengikutkan satu persona yang karib menjadi sahabatnya. Semenjak mendapatkan
tekanan saat memimpin harian koran yang liberal dan progresif, Marx pindah ke
Paris. Di Paris dia bertemu tokohtokoh sosialis Prancis semisal Proudhon dan
juga tokoh sosialis yang juga pelarian dari Jerman. Dan tentu satu
persona, sang “jenderal” panggilan keluarga anakanak Marx terhadap sahabatnya
yang karib; Friedrich Engels.
Biografi Marx tanpa Engels akan
sulit memberikan input yang berarti saat masuk di dalam perjalanan pemikiran
Marx. Melalui Engels-lah Marx menemukan fakta objektif sumber keterasingan
manusia. Engels yang sebelumnya anak pengusaha tekstil, menemukan terang
kenyataan bahwa buruh manusia bukanlah mesin yang harus diperlakukan semenamena.
Di pabrik Manchester ketika dia mengepalai suatu bagian tugas ayahnya,
kenyataan itu yang membuatnya sadar bahwa tatanan industri yang sedang
berkembang banyak berdiri di atas penghisapan kaum buruh. Setelahnya lewat The
Holy Family dan setelah German Ideology, Marx
bersama kawan karib ini menjelma menjadi pasangan intelektual bapak sosialisme.
Saya kira dari kekariban Marx dan
Engels ada hal yang luput, bahwa barang siapa tengah merancang suatu rumus
pemikiran, harus memiliki semacam kawan dialog. Kekariban Marx dan Engels, bagi
saya adalah suatu model bagaimana suatu kerja kolektif didasarkan. Marx dan
Engels menjadi simbol yang mewakili suatu tindak pikiran filosofis; dialog.
Baik Marx dan Engels, melalui karya
intelektual bersama, sama halnya Socrates dan Platon, menghidupkan esensi dari
seni berpikir melalui dialog sebagai mekanisme dialektis dalam menemukan jalan
keluar atas problem yang dihadapi. Lewat dialog keduanya, diskursus jadi soal
yang kolektif, bukan sekedar pemikiran monologis yang selama ini diketahui
sebagai inti filsafat. Saya kira dari sini Manifesto Komunis yang
disusun keduanya, tidak sekedar seruan kolektif terhadap masyarakat pekerja,
melainkan bagaimana suatu karya pemikiran sedari awal sudah harus menunjukkan
dimensi kolektifnya.
Banyak yang berharga dari Marx,
termasuk sisi lain bahwa Marx bukan saja pemikir yang mudah murung dan keras,
tapi juga seperti yang ditulis putrinya Eleanor, bahwa Marx orang yang humoris
yang punya segudang cerita yang bisa membuat orang tertawa. Seorang
ayah yang senang membelikan dan membacakan novel kepada anaknya di usia
yang masih sangat muda. Juga seorang kepala keluarga yang lebih sering jadi
teman anakanaknya. Mohr, begitu panggilan anakanaknya terhadap Marx, kadang
bermain “kudakudaan” seperti yang ditulis Eleanor “Dengan duduk di pundaknya,
memegangi rambutnya yang lebat, hitam dan beberapa yang sudah menguban, saya
puas "mengendarainya" berkeliling kebun kecil kami dan mengitari
lapangan yang melingkari rumah kami di Grafton Terrace.”6
Marx mati di London 14 Maret 1883. Usianya genap 64
tahun. Dia sakit selama 15 bulan di akhir hidupnya, akibat radang
pernapasan yang membuatnya mengalami brongkhitis akut. Pemakamannya hanya
dihadiri sembilan sampai sebelas orang. Tapi pemikirannya saya kira banyak yang
jadi pegangan bagi banyak orang. 7
---
- Martin Suryajaya, Teks-Teks Kunci Filsafat marx, Resist Book,2016: hlm. 10
- ibid, hal 7
- ibid
- ibid
- http://indoprogress.com/2015/07/marx-dan-tauladan-bagi-remaja/
- www.marxistsfr.org/indonesia/archive/marx-eleanor/001.htm
- https://id.wikipedia.org/wiki/Karl_Marx