Langsung ke konten utama

Gila Foto

Seperti sudah saya bilang, di Bunker, kami sering gelar lapakan. Ngopi sambil berdiskusi ringan. Kadang membuka laptop dan menulis. Yang lain membaca sambil malasmalasan.

Ini pagi saya terjaga lebih awal. Biasanya langsung ke belakang, membuka pintu keluar sekedar cari udara. Ternyata ini pagi cerah, tak mendung. Agak lama saya menatap langit. Biru, tak berawan.

Sontak saya pikir; segera buka lapakan. Tapi urung saya lakukan akibat beberapa motor mengambil tempat lapakan. Maklum kali ini bertambah Ilham, dia punya motor gede. Dia parkir saja semalam di situ, tepat lapakan sering digelar.

Dua hari belakangan Makassar diguyur hujan. Praktis Bunker tak buka lapakan. Ridho yang kerap juga lebih awal lapakan urung lakukan. Justru dia memilih bergua di dalam dengan bacaannya. Sedang yang lain pulas lanjut tidur sampai tengah siang.

Toh di hari kedua Makassar dikerubung hujan, lapakan nekat digelar Ridho. Pikirnya tak bakal hujan menyambangi. Langit masih mendung, belum hujan betul. Saya yang melihatnya agak ragu. Saya sanksi, janganjangan bakal diguyur. Makanya saya tak buruburu keluar lapakan. Lihat dan menunggu, pikir saya lebih baik.

Sebenarnya saya ingin sekali lapakan. Dudukduduk sambil lihatlihat buah karsen yang matang. Kalau sebulat merah ditangkap mata, tak banyak omong langsung disambet. Maklum karsen buah kenangan bagi saya. Kala kecil saya sering cari kersen sampai saku baju dikerumuni semut. Kalau itu terjadi, saking banyaknya buah manis itu  pecah begitu saja di saku baju. Sekarang justru itu terulang, cari karsen kala pagi atau sore datang, tapi tanpa saku baju yang dikerubungi semut.

Tak jelas siapa yang menanam pohon karsen di situ. Mungkin secara alami tumbuh begitu saja. Tepat di pintu masuk Bunker. Semenjak saya kembali domisili di Bunker, pohon itu sudah tegak berdiri. Buahbuahnya sudah banyak bermunculan. Belum matang. Tak lama lagi bakal masak, merah.

Makanya kalau sudah merah, itu jadi rebutan. Ada prinsip diamdiam disepakati; kalah mata kalah uang. Siapa cepat dia dapat. Prinsip ini akan jadi kompetitif kalau semua penghuni Bunker punya niat yang sama memanen karsen. Seperti yang sudahsudah, saya sering kalah saing, Ridho jauh lebih tinggi dari saya. Dia punyai tungkai lengan yang panjang. Yang lain malah pake kayu. Saya tak mau kalah memilih langsung memanjat.

Siang ini kami manfaatkan akhir pekan dengan lapakan. Di bawah pohon karsen yang belum matang buahnya. Semenjak yang lain bangun langsung ambil posisi. Ilham langung bergegas membeli penganan, saya titip langsung beberapa bungkus kopi sachet. Ini Sabtu yang betulbetul cerah.

Sudah hampir satu pekan beberapa tulisan saya berhenti di jalan. Niat saya hari ini akan rampung. Kemarin sore dengan tergesagesa saya harus selesaikan satu esai untuk perteman di Be Smart Coffee. Malamnya harus saya presentasekan. Untung dapat rampung sebelum kegiatan. Saya print dan saya copy segera mungkin. Akhirnya beres.

Sekarang tinggal satu esai soal cerpen Puthut EA. Kalau mau dibilang, tinggal empatpuluh persen rampung. Cuman kalau lapakan digelar, perhatian jadi pecahpecah akibat gosipgosip yang berseliweran. Adaada saja yang dibicarakan. Mulai dari kondisi bunker yang kritis, dompet yang kembang kempis, harga buku yang jadi mahalmahal, sampai agendaagenda kerja di bunker. Semuanya dihampar begitu saja sembari lapakan. Punya urus kalau itu hanya sekedar ngocahongoceh.

Belum lama saya menulis, masalah datang lagi. Ini ulah Muhajir dan Ujhe. Entah setan apa yang kangkangi kepala mereka siangsiang. Tibatiba mereka berubah jadi model plus fotografer dadakan. Bergantian saling ambil gambar. Duduk sana duduk sini cari latar yang cocok. Putar sana putar sini seperti orang kesurupan. Begitu sambil ketawaketiwi. Mirip orang gila.

Ini saya sertakan gambarnya. Hajir yang super narsis jadi modelnya, dan Ujhe yang bak fotografer profesional miring sanasini cari angel yang paling pas.

---

Nb: Kalau kalian lihat fotofoto keren dua orang yang belum mandi ini di fb atau bbm, percayalah itu asli editan. Ini bagaimana proses produksinya...

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...