Tulisan ini dibuat saat
azan berkumandang. Magrib tepatnya. Pada sebuah warung kopi di suatu sore yang
padat. Berduyunduyun pengendara pulang dan pergi memadati jalanjalan paska
hujan. Di sana, pada jalan yang tetiba becek, tetiba saja ramai dan juga abai.
Ramai, saya teringat ceritacerita tentang masa di mana azan membahana,
seluruhnya siap tanggal, ada yang hendak dituju; masjid. Dan seketika ramai.
Tapi juga abai, sebab dijalanjalan, khalayak harus gegas dalam duyun keburuan.
Di kota, di suatu magrib, sepertinya kebal dari suara semacam azan. Justru kota
disuatu magrib, adalah penting untuk terus bergerak.
Masjid bisa tegak berdiri
diantara jubeljubel bangunan. Menjadi pusat bagi peribadah. Menjadi tempat yang ilahi
untuk dijumpa. Tapi yang kudus nampaknya tidak selamanya kepunyaan masjid.
Sepertinya bangunan yang menandai hijrah nabi berabadabad lalu, tidak selamanya
kukuh sebagai bangunan yang memiliki pengaruh.
Konon, tujuan masjid adalah
pusat perubahan. Dari hidup nabi ada maksud bahwa masjid adalah tempat
segalanya diselesaikan. Di masjid, yang umum disoal, yang mendesak
diselesaikan. Masjid diabadabad lalu memang memiliki peran sosial. Sebab itulah
hal pertama yang dilakukan nabi paska hijrah adalah membangun masjid. Melalui
masjid, nabi menerka waktu dan membangun kebudayaan, serta juga sejarah. Umat
diberdayakan, dan terkaan nabi tak pernah meleset, sejarah mencatat, hingga
akhirnya dari sanalah peradaban madani bermula, tempat di mana Bilal
berkumandang.
Itu Bilal, dan itu zaman nabi. Sekarang sudah jauh berbeda. Masjid tidak lagi sebagai pusat kebudayaan. Pun juga tidak seperti zaman cordoba saat masjidmasjid tegak untuk perkembangan ilmu. Di jaman itu juga sejarah mencatat, masjid menjadi corong peradaban. Kini, masjid tersisih dari peradaban, seperti ditinggal diamdiam oleh iman yang naik turun.
Saya teringat sebuah kisah
tentang azan. Tentang seorang perempuan yang ingin masuk islam tapi akhirnya
enggan karena suara azan. Perempuan itu sanksi, sebab azan yang ia dengar
adalah dengung suara yang cempreng. "Itukah panggilan umat islam?"
ujarnya di saat bersamaan waktu belajar tentang islam. "Tapi mengapa
seperti itu cara memanggilnya, bukankah islam itu indah. Tapi jika itu yang
disebut panggilan beribadah, sepertinya islam nampak buruk." Begitulah
kirakira ceritanya. Akhirnya perempuan itu, yang tengah mempersiapkan diri
memeluk islam, membatalkan niatnya beralih keyakinan, sebab hanya karena
mendengar suara azan yang buruk.
Saya tidak mengatakan bahwa
ada yang bersuara azan dengan asalasalan. Hanya nampaknya itu yang terjadi.
Azan sepertinya menjadi kalimah yang banal, yang diulangulang dan nampak
kehilangan sesuatu yang religius. Walau barangkali ada gaung yang menyeru
berkalikali, tetapi dia menjadi suara yang ditilap keramaian dan bising.
Masjid yang sekarang adalah
bangunan yang sudah tersentuh sesuatu yang artifisial. Yang artifisial
sebenarnya bisa datang dari yang dibilangkan Weber sebagai rasionalitas, hingga
perlu ada pengaturan atas dasar pengukuran yang rigid dan ajek. Upaya
pengaturan inilah, yang rasional membentuk sebuah orde; birokrasi. Weber juga
tak lupa menyebutkan birokratisasi ini selalu punya kaitan atas dasar
perhitungan yang efesien dan efektif. Dan seperti itulah yang disebut
birokrasi, yang rasional punya tata tertib dan baku.
Pada saat itulah yang kudus
berbaur dengan yang duniawi. Masjid sekaligus menjadi tempat yang rasional
bekerja, juga sudah seperti birokrasi; renovasi menara, perbaikan pagar, jumlah
kas masjid, berapa jumlah jamaah dan segala yang berbau hitunghitungan. Karena
itulah barangkali banyak yang hitunghitungan datang ke masjid. Sebab di sana
sudah seperti pasar yang ramai karena kapital. Juga seperti suatu sore dan
entah sampai kapan kesibukan yang tidak hentihentinya berputar. Bunyibunyi deru
mesin yang menilap ilahi.
Di kota, masjid sudah seperti bangunan yang tak dihinggapi yang ilahi. Begitu juga azan, bukan lagi suara yang keluar dari rongga Bilal, yang konon mendayu dan bertalutalu saat senja sudah di ufuk. Di kota, apapun itu, adalah deru mesin yang tak hentihenti bekerja.
Di kota, masjid sudah seperti bangunan yang tak dihinggapi yang ilahi. Begitu juga azan, bukan lagi suara yang keluar dari rongga Bilal, yang konon mendayu dan bertalutalu saat senja sudah di ufuk. Di kota, apapun itu, adalah deru mesin yang tak hentihenti bekerja.