Eike kira kekuasaan tidak serta merta hanya berurusan dengan
negara sebagai institusi koersif yang selama ini sering dianggap sebagai
satu-satunya sumber. Atau bahkan kekuasaan adalah legitimasi yang dimiliki
negara secara “ekslusif” untuk menundukkan warganya kepada suatu kepatuhan
tertentu. Kekuasaan, seperti yang dikatakan Michel Foucault –seorang sosiolog
cum filsuf pasca strukturalis– hanya dapat diandaikan dalam hubungan
relasional. Artinya, setiap ada relasi, maka di situ ada kekuasaan.
Eike mengganggap ini perlu diangkat (kembali) ke permukaan
untuk memahami bahwa selain melalui negara, kekuasaan itu tersebar di
mana-mana.
Jadi tidak seperti dalam pengertian klasik, kekuasaan di
mata Foucault lebih bersifat menyebar dari pada fenomena tunggal seperti yang
diyakini selama ini.
Implikasi dari cara memahami kekuasaan seperti ini, maka
dalam konteks sehari-hari, kekuasaan sangatlah mungkin diidentifikasi secara
konkrit (dan kompleks) di dalam setiap hubungan yang je alami.
Je mungkin saja adalah seorang mahasiswa yang setiap hari
berurusan dengan dosen, begitu juga sebaliknya, yang sehari-hari berada dalam
jaringan hubungan kompleks civitas akademika. Atau seorang bawahan yang bekerja
di perusahaan tertentu, atau mungkin juga sebaliknya, juga berada dalam
jaringan sistem struktur korporasi. Atau mungkin saja je adalah suami dari
istri je, juga mungkin sebaliknya, dan juga terlibat dalam relasi sosial yang
jauh lebih besar di masyarakat. Kata Foucault, di setiap relasi itu, di situlah
kekuasaan dapat eksis.
Tapi, pertanyaannya adalah, siapa yang menentukan siapa lebih
berkuasa dari siapa? Kondisi apa yang memungkinkan siapa lebih berkuasa dari
siapa? Elemen apa saja yang mendukung terjadinya kekuasaan? Prasyarat-prasyarat
apa sajakah yang menjadi mungkin untuk seseorang berkuasa? Dan seperti
bagaimana proses kekuasaan itu bekerja dan dengan cara apa kekuasaan itu
terjadi dalam relasi yang serba kompleks?
Je bisa saja menjawabnya melalui cara yang je sukai. Bisa
mengambil contoh dari diri je sendiri, misalnya. Atau dalam kasus-kasus
sehari-hari, hubungan seorang murid dan gurunya, mungkin. Dari mana je tahu
seorang murid patut patuh di bawah wewenang gurunya? Kalau je pengikut
pemikiran Weber, misalnya, mungkin je akan menjawab karena kharisma gurunya.
Tapi, je juga mesti menerima, dari kacamata Faucauldian itu akibat relasi
pengetahuan.
Sebenarnya melalui ini eike bukan mau menyoal relasi
pengetahuan dan kekuasaan atau sebaliknya, yang disebut Foucault saling
mereproduksi. Atau membahas secara sambil lalu konsep kekuasaan yang dinyatakan
Foucault melalui karya-karyanya. Melainkan eike ingin berbagi sedikit tentang
satu konsep Foucault yang juga penting: objektifikasi subjek.
Eike mengira konsep ini masih terus terjadi dalam kehidupan
sehari-hari. Dan sering menjadi cara kekuasaan (bukan saja negara melainkan
juga kelompok, komunitas, grup, person tertentu) menstigmatisasi dan kemudian
menyingkirkan siapa pun dalam kehidupan sosial yang dianggap bertentangan
dengannya.
Pertama eike perlu menjelaskan tentang apa itu objektifikasi
subjek, dan yang paling utama siapa itu sebenarnya subjek bagi Foucault.
Eike mulai dari siapa sebenarnya itu subjek. Subjek
dinyatakan Foucault sebagai entitas yang dibentuk secara spesifik dan khas
dalam sejarah. Pengandaian ini sekaligus merupakan penolakan unsur metafisik
dan otonom dalam subjek seperti yang dikonsepsikan pemikir-pemikir sebelum
dirinya. Dengan kata lain, subjek bagi Foucault bukan seperti yang dinyatakan
Rene Descartes atau pun Immanuel Kant, misalnya, yang berarti entitas yang
universal dan “transparan”.
(Oh iya, jika je belum paham dengan pemakain istilah subjek,
maka ganti dan identikkan saja dia sebagai manusia)
Subjek bagi Foucault karena entitas yang berada dalam
sejarah, dan terbentuk di dalamnya, maka subjek dipandang Foucault mengalami
konstitusi (ditentukan) melalui sejarah yang melingkupinya. Di titik inilah pemahaman mengenai
objektifikasi subjek menjadi terang.
Sementara objektifikasi subjek, secara sederhana dapat
diterangkan sebagai proses ketika subjek ditundukkan menjadi objek atas
kekuasaan atau wewenang tertentu. Implikasinya, objektifikasi subjek
menghilangkan “ciri-ciri” dan “sifat-sifat” tertentu yang dimiliki secara
esensil ataupun epistemologis dari subjek. Secara moral dan politik,
objektifikasi subjek mengakibatkan dihilangkannya kebebasan dan ruang
esksistensi bagi subjek.
Nah, bagaimanakah objektifikasi subjek itu berlangsung?
Menurut Foucault, ada tiga modus yang mendasari subjek mengalami objektifikasi.
Objektifikasi subjek dapat dipahami, pertama, dari apa yang
dinyatakan Foucault sendiri sebagai
“praktik pembelahan”. Praktik ini merujuk kepada suatu kondisi ketika
subjek dijadikan objek melalui aktivitas pemilahan dari dalam dirinya dan dari yang lainnya.
Praktik ini melalui proses tertentu mengkategorisasi manusia dengan cara
pelabelan dan stigmatisasi untuk menyingkirkannya dari kehidupan bersama.
Foucault merujuk fakta historis ini seperti yang pernah di alami Eropa di abad
19 dengan memisahkan masyarakat tidak normal (pengidap lepra, kaum miskin,
orang gila) dari masyarakat yang dinyatakan sehat dengan prosedur yang dimiliki
dalam dunia medis.
Di bangsa sendiri “praktik pembelahan”, walaupun tidak
sepadan, pernah dialami di masa orde baru ketika seluruh masyarakat yang berbau
komunis disingkirkan dan distigmatisasi sebagai “yang lain” dan mesti
dilenyapkan dari bumi Indonesia.
(Contoh yang lain dapat je sertakan di sini mengenai
fenomena keagamaan yang seringkali menstigmatisasi dan melabeli golongan atau
aliran keagamaan minoritas yang dianggap menyimpang dari keyakinan agama
umumnya)
Kedua, manusia dibelah dan dijadikan objek melalui prosedur
klasifikasi ilmiah. Praktik pembelahan ini dinyatakan Foucault terjadi dengan
cara samar akibat melibatkan pengetahuan sebagai salah satu elemen yang
menundukkan manusia melalui bahasa.
Kalau tidak salah tafsir, eike mengajukan kasus belakangan
ini yang berkaitan dengan kebangkitan PKI sebagai contoh bahwa terjadi proses
pembelahan subjek melalui ilmu pengetahuan yang berlawanan antara versi satu
dengan versi lainnya. Bahkan, selama ini di bawah tirani pengetahuan tertentu,
masyarakat Indonesia dibuat terbelah atas setuju tidak setujunya versi yang
diajukan negara. Konsekuensinya jelas, bagi yang tidak sependapat dengan versi
negara maka dengan sendirinya akan disingkirkan dan dilabeli sebagai
antek-antek komunis.
Kasus yang lain juga dapat je dalami melalui aktivitas
masyarakat yang selama ini sering kali berdebat kusir di linimasa medsos untuk
saling merebut klaim kebenaran (dalam wilayah agama) dengan cara membangun
pencapan negatif terhadap lawan debatnya melalui rezim diskursif yang
dibangunnya.
Atas dasar rezim wacana, pengklasifikasian ilmiah tidak
didasarkan kepada kekuasaan yang bersifat hierarkis atau siapa yang powerfull
dan siapa yang powerless, melainkan secara inheren dikandung di dalam wacana
itu sendiri yang secara khas sudah mapan dan dianggap sebagai satu-satunya
tilikan pengetahuan.
Dengan cara demikian, wacana disebutkan Foucault adalah cara
kekuasaan beroperasi tidak dengan cara menekan, koersif, intimidatif dan
menindas, melainkan secara halus dan sulit terprediksi karena selain tidak
nampak, juga tidak disadari memengaruhi dan mengendalikan sampai ke tingkat
praktis seseorang (dapatkah je memikirkan mengapa ada seseorang melakukan
misalnya, bom bunuh diri dengan cara suka rela, kalau bukan melalui rezim
pengetahuan tertentu memengaruhi pikirannya sampai memungkinkannya bertindak
demikian?).
(Atau coba pikirkan ulang tentang kebijakan “dua anak cukup”
di masa orde baru, yang sebenarnya ditujukan kepada upaya kekuasaan untuk
mengontrol populasi masyarakat dengan cara membangun wacana melalui pengetahuan
yang sering dipropagandakan melalui institusi kesehatan. Program “dua anak
cukup” adalah cara pemerintah menguasai tubuh masyarakatnya melalui
pendisiplinan tertentu)
(Sekarang, coba je pikirkan juga melalui diskursus apakah
suatu wacana membangun pembedaan antara yang benar dan yang salah, yang layak
dan yang tak layak, yang harus dan yang tak harus? Otoritas pengetahuan apa
yang menentukan semua itu?)
Yang ketiga adalah pembalikan dari modus-modus sebelumnya.
Ini disebut Foucault sebagai “subjektifikasi”. Subjektifikasi adalah cara
seseorang mengubah atau mengembalikan dirinya menjadi subjek setelah sekian
lama mengalami objektifikasi. Proses ini hanya dimungkinkan jika si subjek
mengalami pelampauan atas dirinya melalui keinsafannya sendiri. Dengan kata
lain, si subjek berani menampilkan dimensi aktif dari dalam dirinya. Menurut
Foucault proses subjektifikasi dapat dilihat secara genealogis dalam sejarah
modernitas ketika manusia tampil dan berhasil keluar dari kekuatan eksternalitas
budaya dan gereja yang selama berabad-abad mengalienasikan dirinya.
Subjektifikasi juga dapat dipahami dalam dua pengertian.
Pertama ketika subjek menemukan otonomi kesadarannya dalam menentukan
kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukannya secara bebas. Atas otonomi ini, subjek keluar dan menjadi
tuan bagi dirinya sendiri.
Kedua, subjektifikasi berarti “kembalinya” secara tersirat
“ke-aku-an” subjek melalui relasi yang saling terhubung yang memberikannya
“keterhubungan kebermaknaan” di dalamnya. Dengan kata lain, “ke-aku-an” subjek
bukanlah ditemukan dengan sendirinya dari dalam dirinya, melainkan dari
keterhubungan relasi dengan “yang lain” di luar dirinya.
Eike kembali kepada peristiwa belakangan yang marak
dibicarakan, mengenai pemutaran kembali film G30S/PKI yang kemudian dimunculkan
pula film tandingan besutan Joshua Oppenheimer. Dari kemunculan dua film ini,
terbuka kemungkinan terjadinya subjektifikasi melalui relasi pemaknaan yang
menyandingkan dua pemahaman besar yang dikandung dari kedua film. Dengan kata
lain, akan terbuka kemungkinan baru melihat dengan cara lain dalam memahami
sejarah G30S/PKI bagi generasi sekarang.
Walaupun begitu, subjektifikasi dari contoh di atas tidak
akan terjadi dalam konteks waktu yang singkat. Hal ini akibat subjektifikasi
bukanlah pendasaran semata-mata terhadap subjek itu sendiri secara substansial,
melainkan merupakan rangkaian proses terus-menerus di antara relasi struktur
kompleks ideologi, politik, budaya, ekonomi, dan juga agama.
Itu berarti, untuk menjadi manusia yang sebenarnya di negeri
ini adalah proses yang masih sangat panjang.
---
Terbit sebelumnya di Kalaliterasi.com