“Agama adalah suara keluhan orangorang tertindas, jiwa dan dunia
yang tak berperasaan, semangat dari kemandegan yang tak berjiwa. Agama adalah
candu masyarakat.” (Karl Marx-Enggels, Works)
Agama itu satu dan yang lainnya hanyalah penafsiran. Dan dari tafsir
inilah kita membangun keyakinan hingga iman. Dengan kata lain, iman adalah
urusan yang tidak sematamata teologis tetapi juga sosiologis. Di dalam yang
sosiologis inilah agama yang satu berkelindan dan membangun diri. Dari yang
satu menjadi padu.
Padu berarti ada dialog, berarti ada pertukaran antara perbedaan
dari yang banyak. Padu mirip dengan sebuah iringan musik; bebunyian yang saling
timbul tenggelam, ganti bergantian dari alat musik yang berbeda, tetapi justru
di dalamnya membangun keselarasan. Berpadu berarti harus tahu di mana
batasbatas, kapan harus membunyikan alat musik, kapan harus dinaikkan nadanya,
dan kapan harus berhenti. Dengan begitulah berpadu berarti mengikutkan yang
lain dalam sebuah irama. Ini berarti padu adalah sebuah sikap atas keberadaan
yang lain untuk diterima sebagai bagian.
Agama yang padu adalah agama yang sosiologis. Keimanan yang dibangun atas keberagaman yang lain. Agama yang sosiologis adalah agama yang diimani bersamaan diantara iman yang lain. Sebab di dalam tubuh masyarakat, kejamakan adalah wajah yang kerap kita hadapi, dunia yang tak mungkin bisa sama.
Tetapi di waktu yang lain, di luar yang padu selalu muncul hasrat
untuk murni. Saat inilah yang murni adalah sikap yang membangun tapal batas.
Dengan tapal yang telah berdiri, yang murni siap untuk sigap terhadap yang
berbeda. Itulah sebabnya, yang murni identik dengan sikap yang antik: kukuh
atas iman yang tunggal.
Ada yang sepertinya jadi soal: manakah agama yang otentik? Dari
pertanyaan yang demikian, yang murni menyeleksi iman yang beragam. Agama yang
sosiologis dirusak untuk memadatkannya menjadi yang teologis. Mereka barangkali
lupa, bahwa memadatkan berarti membikin jadi satu, bukan padu. Itulah mengapa
yang murni tak menginginkan perbedaan, sebab yang jamak sama artinya
mengaburkan kesatuan. Tetapi apakah itulah yang benar?
Yang murni sepertinya lupa, dunia tak selamanya bisa ditekuk oleh
sebait pemahaman. Dunia adalah budaya yang berbeda, kehidupan yang purnaragam,
tradisi yang berlainan, sejarah yang tidak sama, atau dengan kata lain, dunia
adalah kehidupan yang sulit kita masukkan dalam satu batas defenisi. Disinilah
biasanya justru gerakan yang murni, dalam membangun agama yang otentik justru
malah membangun yang identik.
Barangkali ada yang salah dari keinginan untuk murni, bahwa agama
yang identik tak selamanya otentik. Begitu juga sebaliknya agama yang otentik
bisa jadi hanya identik, tidak murni, bukan sejati. Dan biasanya sesiapa
yang menghendaki pemurnian selalu tampil dengan mengeyahkan dialog; membangun
monolog. Saat ituah, iman akhirnya menjadi keyakinan yang berdiri di atas tepi
dan juga sepi. Iman semacam itulah sebenarnya iman yang ingin aman, iman yang
tanpa menyertakan pendapat yang berbeda. Sebuah iman yang selalu murung
dan gusar, sebuah iman yang emosional. Itulah mengapa agama yang demikian
dianggap berbahaya, sebabnya dia persis candu. Maka Marx bisa benar; agama
adalah candu masyarakat. Sesuatu yang mandeg, sesuatu yang merusak tatanan.