KEUNIKAN buku ini adalah semuanya lahir dari keluarga. Yang menulis, menyunting, sampai ilustratornya.
Tema-temanya digali dari pengalaman
keluarga. Entah dari proses mengasuh anak hingga mengasah anak. Dan juga, tentu mengasihi
anak. Bisa dibilang dari saling asuh, asah, dan asih inilah buku ini
menopangkan dirinya.
Di tulisan yang sedang eike
persiapkan untuk buku ini, ada satu peran utama yang menjadi benang merah dari
esai-esai literasi parenting ini: ibu.
Ya, dari pengalaman seorang ibu-lah
buku ini akhirnya bisa sampai ke tangan pembaca. Tentu perlu digarisbawahi,
kata pengalaman yang eike maksud di sini adalah jenis peng-alam-an yang
betul-betul pengalaman. Suatu tindakan yang terlibat dan dilibati
lingkungannya. Pengalaman yang mengikutkan rasa, pikiran, emosi, dan intuisi
seorang ibu.
Dengan kata lain, suatu pengalaman
yang lahir dari dalam. Yang memangkas jarak dan waktu. Yang intim sekaligus
fenomenologis.
Itulah mengapa, esai parenting ini
begitu hidup dan gamblang. Ia lahir dari orang pertama. Dari pelaku langsung.
Seorang ibu, kiwari agaknya dinilai
sebelah mata. Dia hanyalah elemen masyarakat nomor dua. Sebagai perempuan ia
dipandang tidak memiliki sumbangsih apa-apa. Ia pasif dan bukan sebagai agen
perubahan.
Bahkan banyak fenomena
memperlihatkan komunitas ibu-ibu yang berkumpul hanya untuk bersenang-senang.
Berbelanja dan bergosip secara berjamaah. Kadang, di akhir pekan mereka bertemu
hanya sebagai ajang katarsis. Hanya bersuara akibat menjadi “korban” dunia
laki-laki.
Yang paling fenomenal adalah
dieksploitasinya dunia ibu-ibu oleh tarik ulur politik. Di kancah nasional ada
salah satu capres memanfaatkan emak-emak sebagai kekuatan politiknya. Nampak
dari permukaan ini seolah-olah kekuatan baru dalam kancah perpolitikan. Tapi
sebenarnya fenomena itu tetap saja menjadi bamper politik.
Kaum perempuan atau ibu-ibu tetap
saja masih diimajinasikan melalui kebutuhan laki-laki.
Semua fenomena itu terjadi karena
perempuan tidak mampu mendayagunakan protein bahasanya. Saking lemahnya,
protein bahasa yang memproduksi kata-kata hanya dimanfaatkan untuk mewacanakan
hal-hal di seputar dunia belanja, dapur, dan kasur. Kata-kata perempuan hanya
tercecer di pelataran gosip belaka.
Tapi buku ini sebaliknya. Melalui
kata-kata (hasil penelitian ahli linguistik menyebutkan perempuan menghasilkan
20.000 kata perharinya dan kaum lelaki hanya 7000 kata saja perhari) seorang
ibu malah berjuang dari dalam, dari ruang domestiknya dengan menulis. Suatu
pekerjaan para begawan kebudayaan.
Dengan kata lain, dari ruang
domestiknya perempuan sebenarnya adalah benteng terakhir peradaban. Di ruang
domestiknyalah ia semestinya juga dapat mengembangkan peran sosialnya.
Melibatkan diri dari balik pintu rumah ikut membentuk masyarakatnya.
Berbeda dari cara pandang Barat
meletakkan peran perempuan dalam skema dinamika masyarakatnya.
Perempuan-perempuan Timur dengan adat budayanya justru banyak mendayagunakan
ruang keluarganya sebagai basis perubahan. Dengan cara mendidik anak-anak
menyiapkan pelanjut-pelanjut generasi bangsanya.
Itulah sebabnya perlu kaca mata
lain untuk melihat kebiasan perempuan-perempuan Timur dalam konteks gendernya.
Bagi Barat perempuan mesti menerobos dinding domestiknya untuk berperan di
ranah publik. Itu adalah cara mereka mengekspresikan kebebasan dan perannya.
Sementara perempuan-perempuan
Timur, tidak ada distingsi antara ruang domestik dan ruang publik. Tidak ada
pemisahan antara rumah dan masyarakatnya. Meski demikian berjarak dari segi
ekonomi dan politik, namun dari segi budaya, dua ranah ini adalah satu
kesatuan. Dia berbagi dimensi yang sama.
Di masyarakat Bugis-Makassar,
misalnya, di balik kepemimpinan seorang laki-laki justru dilegitimasi oleh
keberadaan seorang perempuan. Ada anekdot lucu untuk menggambarkan kedudukan
perempuan di masyarakat Bugis: jika gagal memengaruhi pendirian seorang
pemimpin, maka cobalah datang melalui ibu atau istrinya. Niscaya melalui
pengaruh “di balik layar”, permintaan halus seorang ibu atau istri kepada
pemimpin laki-laki akan mengubah keputusannya.
Demikian sentralnya peran
perempuan, masih dari tanah Bugis-Makassar, jika ada permintaan atas sesuatu
yang sifatnya umum kadang dimediasi melalui datang bertandang langsung ke rumah
sang pemimpin. Di rumah, sang pemimpin laki-laki, akan turut ikut kepada
kemauan sang istri atau ibunya. Di rumah, sang perempuanlah pemimpinnya.
Buku ini adalah salah satu contoh
bagaimana perempuan mengelola rumah tangganya dengan protein bahasanya.
Mengumpulkan dan menjadikannya sebagai benda budaya. Sebuah buku untuk
disejajarkan sebagai pekerjaan pemberdayaan masyarakat. Terutama bagi ranah sel
terkecil masyarakat: keluarga.
Islam menyebut masyarakat atau
bangsa dengan istilah khas: umat. Sepadan dengan kata asalnya, “um” yang
membentuk kata “umi” atau ibu. Kata umat dari kata “amma-yaummu” yang berarti
“menuju”, “menumpu”, “meneladani”.
Kata “imam” juga mengasalkan akar
katanya dari asal yang sama dengan kata “umat” dan “umi”. Seorang imam mesti
memiliki sifat-sifat seorang ibu: menjaga, mengasihi, mengayomi, melestarikan….
Bahkan, seorang ibu adalah imam.
Seorang pemimpin.
Buku ini merekam jejak kepemimpinan
seorang ibu. Lebih jauh lagi menunjukkan bagaimana seorang ibu memimpin
masyarakatnya. Dari rumah sekalipun.
Data buku:
Judul Buku : Metamorfosis Ibu,
Sehimpunan Literasi Parenting
Penulis : Mauliah Mulkin
Penyunting : Sulhan Yusuf
Ilustrasi isi : Nabila Azzahra
Desain sampul: Ambena Akkin
Penerbit :
Liblitera
Tahun terbit : Agustus 2018
Tebal halaman: 270 halaman
---
Telah tayang di Kalaliterasi.com