Media massa banyak mengubah dunia,
juga membuat manusia bisa takjub. Tapi sebenarnya dunia tidak berubah
sepenuhnya, yang sebenarnya berubah adalah persepsi tentang dunia. Dan
ketakjuban atas itu, dari dampak media yang memperpanjang jangkauan manusia,
ditunjukkan Luther berabadabad lalu saat pembaharu kristen itu dibincang hampir
di sudutsudut Eropa.
Ketakjubannya ia tulis;
"Adalah suatu misteri bagiku, bagaimana tesisku...tersebar ke banyak
tempat. Padahal semuanya khusus ditujukan bagi kalangan akademik kita di
sini.."
Begitulah ia takjub dan barangkali
juga heran.
"Di sini" dalam tulisan
Luther saat itu adalah sepetak tanah atau ruang tempat lingkungan akademik
gereja menghabiskan waktunya, dan "kita" adalah batas yang ia
tujukan kepada kelompok yang akrab dengan debat teologi dan kosmologi. Tapi
dalam ungkapan yang sama ada yang melompati batas, ada yang jebol saat itu.
Dalam keheranannya itu makna "di sini" juga berarti di manamana.
"Di sini" juga bermakna "menyebar ke manamana."
Tulisan itu sebenarnya ia tujukan bagi Paus saat itu. Suatu surat yang tak menyangka dan diduga sebelumnya atas menyebarnya pemikiranpemikirannya. Barangkali ada kekhawatiran dalam benak Luther, sebab karyanya yang merupakan 95 tesis tentang ajaran kristiani, yang ia tulis untuk kalangan terdidik, justru menyebar tanpa bisa dikontrol. 95 tesis yang awalnya digantung di pintu gereja itu tibatiba jadi konsumsi massal. Dari sudut pintu gereja Wittenberg akhirnya menjelma hampir seluruh Eropa.
Kesaksian Luther ini adalah penanda
betapa cepatnya penyebaran informasi saat seorang bernama Johannes Gutenberg
berhasil menemukan sebuah alat yang disebut mesin cetak saat itu. Ķala itu arti
mesin tidak sama jika kita menyebut mesin saat ini, tapi di tahun 1455
Gutenberg sudah mampu menciptakan 42 line bible dengan mesin sederhananya.
Sebab itulah, melalui Gutenberg Bible tak lagi berupa kumpulan perkamen yang
ditulis tangan. Di tahun yang sama Gutenberg membuat Bible pertama yang
dicetak.
Hingga Eropa pelanpelan mulai
menemukan keyakinan baru. Gereja sebagai institusi yang hak terhadap ilmu
pengetahuan menjadi surut dan luntur. Temboktembok gereja mulai kehilangan arti
sebagai batas yang ilahi. Sontak, yang di anggap ilahi bukan saja milik gereja.
Yang jebol akhirnya tak dapat dibendung, yang akademik jadi milik umum. Sejak
saat itu, saat di mulai dari Jerman hingga ke negerinegeri lainnya, Luther
menjadi semacam mentari di ufuk jauh; membawa iman baru di manamana.
Dan dalam sejarah akhirnya kita
bisa tahu, sebuah mesin cetak bisa menerbitkan dua hal; kegamangan dan
pembaharuan.
Padri agama di saatsaat Eropa beranjak
naik, barangkali juga tak menyangka. Seperti Luther, mereka akhirnya harus
menerima keadaan yang selama ini dijaga akhirnya harus lancung; merebaknya
kontroversi. Saat itu, dari 95 tesis yang ditulis Luther, tradisi kristiani
mulai guyah. Banyak iman yang mulai menyelisih seperti perdebatan menyakngkut
dosadosa yang bisa ditebus atau tidak. Juga kritikannya terhadap John Tetzel,
teolog saat itu yang menghimpun pundipundi melalui surat aflat. Syahdan, sontak
kegamangan itu menuai pembaruan disudut lainnya.
Tapi itu di abadabad 16 saat mesin
cetak merombak tatanan informatif masyarakat Eropa. Kegamangan padri agama
akhirnya berubah menjadi hilangnya kharisma gereja, dan munculnya kaum
intelektual baru. Pengetahuan di sini juga ternyata tak selamanya kukuh di atas
otoritas teologi. Bukan saja sabda tuhan yang bisa membangun iman yang tanpa
cela, mesin cetak justru jauh lebih dahsyat, bukan saja menggetarkan iman yang
lama dipugar sejarah, tetapi juga menjadi pemicu suatu gerakan baru saat itu;
humanisme.
Humanisme inilah yang sepertinya
jadi sesak bagi teolog saat itu. Sebab manusia justru adalah hamba yang harus
melayani tuhan dalam kolonikoloni. Sejarawan Swiss, Jacob Burckhard, menukil
suatu keadaan sejarah saat itu ketika manusia yang hidup dan mengenali dirinya
sebagai ras, rakyat, keluarga atau kolektif. Dan di tengahtengah itulah seraut
iman disusun atas sabdasabda yang membangun kehidupan religi. Tapi kemudian
humanisme itu datang, individu sebagai segenggam kesadaran beriringan waktu
menghancurkan ikatan yang terbina berabadabad lamanya. Dogma terganti rasio dan
kolektifisme menjadi individualisme.
Sampai di sini, memang media banyak
mengubah dunia, tapi sebenarnya tidak sepenuhnya benar. Yang berubah adalah
persepsi tentang dunia. Seperti padri agama yang gamang dan akhirnya harus
mengubah persepsinya bahwa selain tuhan ada yang samasama dahsyat. Luther boleh
takjub dan barangkali sampai terheranheran, seperti itu juga kita, atau bahkan
sebenarnya saat ini lebih mirip kerisauan.