Catatan
kali ini tidak panjang. Hanya menyinggung niat Ilyas membukukan
cerpen-cerpennya. Ilyas memang rajin membuat cerpen. Ilyas memang banyak
mengikuti perlombaan penulisan cerpen.
Beberapa buku antologinya sudah terbit. Beberapa sudah dia sumbangkan ke
Paradigma Institute.
Sebelumnya
sudah ada yang seperti Ilyas. Berniat menerbitkan buku. Tapi sampai sekarang
belum aktuil. Mungkin banyak kendala. Modal, misalnya.
Hajir
pernah bilang, seandainya ada yang berbaik hati memberikan suntikan dana, dia
siap menerbitkan tulisannya menjadi buku. Tentu yang Hajir maksud berupa
esai-esai yang tersimpan di blognya.
Menerbitkan
buku sebenarnya resolusi yang diniatkan sejak KLPI bagian 2 dibuka. Ini adalah
program kolektif. Caranya setiap minggu kawan-kawan menyicil tulisan lewat
setiap pertemuan. Satu bulan empat minggu, empat karya tulis. Empat karya tulis
dikalikan duabelas bulan, empatpuluh delapan karya tulis.
Itu
bisa bertambah duakali lipat jika kawan-kawan KLPI memiliki semangat semacam
Ilyas. Mampu menyelesaikan naskah minimal 2 selama seminggu.
Selain
Ilyas, Ishak juga memiliki semangat yang sama. Ketika pertama kali ikut
bergabung di KLPI, Ishak sangat rajin memosting tulisannya via dunia maya. Saat
itu semua di KLPI bersepakat; Ishak sedang belajar mati-matian.
Hasilnya,
selang beberapa bulan, karya tulis Ishak mejeng di beberapa media cetak. Juga
beberapa tulisannya diterbitkan di beberapa media online. Sekarang Ishak
diberikan amanah mengelolah salah satu website dari bersama teman-temannya di
tanah Ambon.
Imbas
giat belajar, kawan-kawan KLPI pasti masih ingat ketika pertama kalinya tulisan
Vivi nangkring di media cetak ternama Sulawesi. Poin penting saat itu, walaupun
Vivi masih terbilang baru di KLPI, dengan tulisannya yang terbit di media
cetak, menjadi bukti siapapun yang belajar giat akan menuai hasil kemudian.
Masih
banyak kawan-kawan di KLPI yang seperti tiga orang di atas. Syarif misalnya,
dan juga pernah ada Salman yang sekarang domisili di Kalimantan, adalah
prototype orang-orang yang mau mengasah dan mengembangkan keahlian menulisnya.
Satu dua tulisan hingga mungkin puluhan telah mereka hapus dan tulis kembali,
bergelut dengan kekurangan dan berkeinginan kuat mengubah diri menjadi pribadi
pembelajar.
Seperti
Salman yang telah dahulu pamit dari KLPI, Syarif secara diam-diam juga sudah
berada di Seram, kampung halamannya. Tanpa ingin membuat situasi menjadi
“termehek-mehek,” Syarif pergi dengan bekal yang sudah dikeruknya banyak-banyak
selama di KLPI. Di Seram, tinggal menunggu waktu, apakah Syarif membuat
dentuman di sana?
Begitulah,
hampir setahun ini banyak yang bertahan dan juga tidak sedikit yang pergi.
Tapi, KLPI harus tetap berjalan. Ibarat “perahu” Nietzsche, sudah berlabu dan
membakar dermaga di belakangnya. Tidak ada jalan pulang.
Pekan
kemarin, memang tidak banyak yang datang lagi. Tapi, seperti yang dikonfirmasi
Jusnawati, visi dan misi KLPI-lah yang penting. Kehadiran boleh saja absen dari
kelas, tapi di manapun itu visi dan misi KLPI harus tetap digelorakan.
Apa
visi dan misi KLPI? Mungkin banyak yang sudah lupa, tapi sederhana, KLPI hanya
mau membangun tradisi literasi dan menyadarkan masyarakat betapa pentingnya
kesadaran literasi. Lumayan muluk. Namun kalau tidak muluk, untuk apa cita-cita
mesti ada?
Cita-cita di atas hanya bisa direalisasi jika kawan-kawan KLPI melengkapi dirinya dengan perangkat pengetahuan yang mapan soal literasi. Apa itu literasi? Apa hubungannya dengan kesadaran masyarakat? Relevankah gerakan literasi dengan tipikal masyarakat kekinian? Bagaimanakah menggunakan media sosial sebagai sarana gerakan literasi? Masih pentingkah tradisi literasi dibangun via komunitas? Dsb adalah pertanyaan yang sudah fix di dalam pemahaman kawan-kawan KLPI.
Cita-cita di atas hanya bisa direalisasi jika kawan-kawan KLPI melengkapi dirinya dengan perangkat pengetahuan yang mapan soal literasi. Apa itu literasi? Apa hubungannya dengan kesadaran masyarakat? Relevankah gerakan literasi dengan tipikal masyarakat kekinian? Bagaimanakah menggunakan media sosial sebagai sarana gerakan literasi? Masih pentingkah tradisi literasi dibangun via komunitas? Dsb adalah pertanyaan yang sudah fix di dalam pemahaman kawan-kawan KLPI.
Satu
hal penting dari visi dan misi KLPI terhadap kawan-kawan adalah seberapa
strategiskah waktu luang yang ada selama ini untuk membangun praktik-praktik
literasi. Indikator praktik literasi bukan saja aktivitas tulis menulis belaka,
juga bukan sekadar membaca referensi sebanyak-banyaknya. Dari segi ekonomi,
misalnya, seberapa persenkah uang kawan-kawan peruntukkan membeli buku,
mengikuti seminar, diskusi publik dan semacamnya. Seberapa seringkah
kawan-kawan memperbanyak kopian selebaran yang berbau pencerahan di
kampus-kampus. Dan, relakah kawan-kawan menyisihkan beberapa persen persediaan
uang harian demi sumbangan di bidang baca-tulis?
Tapi,
indikator yang paling sederhana adalah sudahkah kawan-kawan memiliki bank
literasi? Semacam blog pribadi yang dikelola dengan ketat?
Jika
semua itu belum sempat dilakukan, yakin dan percaya semua kemampuan menulis
kawan-kawan masih sebatas angan-angan belaka.
Pekan
43 merupakan pekan terakhir 2016. Perlu juga disampaikan di sini, KLPI perlu
“gelombang kecil” di awal tahun nanti. Semacam kegiatan kolektif untuk
menyimpul kembali capaian-capaian yang sudah dan akan direalisasikan nanti.
Tentu, ini tidak lahir dari sekadar perbincangan satu dua orang. KLPI adalah
kita.
Selamat
merayakan pergantian tahun.